Pinjol Untuk Pembayaran UKT, Apakah ini Solusi ?

Oleh : Euis Daniawati

IMPIANNEWS.COM

Menko PMK Muhadjir Effendi meyakini keberadaan pinjol di ruang akademik membantu mahasiswa yang kesulitan membiayai pendidikannya.

Ia menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik. Meski pemerintah tampak mencoba menawarkan sejumlah alasan seperti menerbitkan kebijakan kerja sama dengan lembaga pinjol resmi, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi aksi lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan rakyat. Menko PMK Muhadjir Effendy juga menyatakan dukungannya tentang wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa guna membayar uang kuliah tunggal (UKT). Saat ini, katanya, setidaknya sudah ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan mekanisme pembayaran uang kuliah menggunakan pinjol melalui kerja sama resmi. Ia bahkan menilai hal ini sebenarnya peluang bagus, hanya saja sering kali disalahgunakan. Untuk itu, sebagai catatan, pinjol yang ia setujui adalah yang resmi, legal, bisa dipertanggungjawabkan, transparan, serta dipastikan tidak akan merugikan mahasiswa.

Realitas ini menegaskan polemik UKT belum usai. Berbagai kasus mahasiswa gagal bayar UKT di berbagai kampus negeri, nyatanya tidak lantas membuat pemerintah terketuk hatinya sehingga membatalkan kenaikan UKT untuk seterusnya, bahkan jika perlu menggratiskannya. Pembatalan kenaikan UKT 2024 ini hanyalah sementara, sembari menunggu tahun depan.

Pernyataan Menteri terkait pembayaran kuliah dengan pinjol, sebagai bentuk inovasi teknologi, sikap pejabat yang demikian menunjukkan rusaknya paradigma kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalisme yang malah mendukung pengusaha pinjol, yang menghantarkan kerusakan dan merusak masyarakat. Juga membuktikan lepasnya tanggungjawab negara dalam tercapainya tujuan pendidikan

Di sisi lain, hal tersebut juga menggambarkan rusaknya masyarakat dan pragmatisme akibat kemiskinan dan gagalnya negara mensejahterakan rakyat.

Namun, menjadikan pinjol sebagai solusi pembayaran UKT jelas memosisikan pemerintah yang tidak memiliki empati pada kesulitan generasi. Hal itu makin menyakiti rakyat. Pemerintah bukannya berusaha empati karena rakyat sudah terlilit banyak masalah ekonomi, tetapi malah menambah beban masa depan dengan menyarankan pembayaran UKT melalui pinjol. Rasanya, semua orang juga mengetahui bahwa pinjol adalah pintu gerbang jerat ribawi. Pinjol pun tidak lebih baik daripada judol.


Perlu diketahui, penyaluran pinjol pada Maret 2024 masuk ke 9,78 juta akun penerima pinjaman. Jumlah peminjam tersebut naik 6,36% secara bulanan (mom). Sebanyak 7,3 juta akun peminjam berasal dari Pulau Jawa atau setara 75% dari total peminjam nasional. Dari total pinjaman Maret 2024, sebanyak Rp7,65 triliun di antaranya atau 33,61% masuk ke sektor produktif.

Sejatinya semua ini sangat erat kaitannya dengan cara pandang kapitalistik. Tingginya angka kemiskinan bersamaan dengan kibaran bendera komersialisasi kampus yang kadung menancap secara legal, baik itu melalui UU Dikti (UU 12/2012), pendahulunya yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maupun berbagai kebijakan turunannya.


Di antara kebijakan turunan tersebut adalah Permendikbudristek 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek. Pemberlakuan Permen ini dituding akan menyebabkan makin banyaknya mahasiswa baru—tidak terkecuali yang berprestasi—yang harus berguguran. Hal ini karena kebijakan tersebut bisa dikatakan sebagai biang keladi mahalnya UKT.

Untuk itu, upaya menaikkan UKT yang sempat muncul adalah cara paling instan bagi kampus untuk memperoleh dana segar. Ini masih belum termasuk biaya lain, seperti uang pangkal. Jadi wajar jika akhirnya UKT tidak makin murah, tetapi malah sebaliknya.


Pada titik ini kita layak untuk menyadari bahwa skema pinjol untuk pendidikan telah menjelaskan bahwa rakyat diminta untuk mengupayakan sendiri biaya pendidikan tinggi, bagaimanapun caranya. Meski pemerintah tampak mencoba menawarkan sejumlah alasan seperti menerbitkan kebijakan kerja sama dengan lembaga pinjol resmi, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi aksi lepas tangan dari tanggung jawab mencerdaskan rakyat.

Tidak berlebihan jika kita menilai bahwa kondisi ini justru menunjukkan pemerintah tidak berkontribusi apa-apa dalam menunaikan pendidikan sebagai hak rakyat. Sektor publik yang semestinya menjadi pelayanan dari pemerintah bagi rakyatnya, telah dikomersialkan. Sementara itu, sumber utama pemasukan negara malah berasal dari pajak hasil memalak rakyat. Lantas, apa yang bisa kita pertahankan dari sistem yang seperti ini?

Pemerintah semestinya menyadari bahwa pendidikan adalah investasi peradaban masa depan. Tidak akan ada ruginya jika saat ini pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembiayaan pendidikan. Hal ini demi menghasilkan barisan generasi terdidik, para calon pemimpin, dan SDM unggul pembangun peradaban. 

Negeri ini mayoritas penduduknya adalah muslim, hendaknya penguasa memahami dan memberi pemahaman pada umat, tentangvkeharaman riba. Allah Taala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”(QS Al-Baqarah [2]: 275).


Pendidikan tanggung jawab negara*


Drama pinjol untuk pembiayaan pendidikan ini adalah wujud nyata liberalisasi pendidikan. Hal ini harus dihentikan. Bahkan sistem sekuler liberal yang telah melahirkannya juga harus diganti dengan sistem sahih, yakni sistem Islam. Langkah pemerintah sekuler yang makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya juga jelas-jelas kezaliman karena telah merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berdampak pada terancamnya kualitas SDM rakyat sehingga sulit bersaing di pentas dunia

Sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad).

Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan besar jumlahnya. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Di dalam Islam, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.

Bersamaan dengan itu, Islam tidak akan membiarkan adanya celah yang memungkinkan pendanaan pendidikan secara haram. Negara Khilafah dengan sistem ekonomi Islam memiliki banyak mekanisme sehingga harta yang masuk ke baitulmal adalah harta yang halal dan berkah.

Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki.

Selain pembiayaan, negara Islam juga menjamin keberlangsungan sistem pendidikan tersebut. Hal ini dalam bentuk jaminan dan realisasi pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka.

Islam juga menetapkan pejabat adalah teladan umat, pemimpin umat yang senantiasa taat syariat, dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat dan

solusi dari pinjol ini yaitu membuang sistem sekuler yang telah menghalalkan riba dan terbukti mengabaikan aturan Allah akhirnya mempersempit kehidupan. Kita harus mengganti sistem ini dengan sistem Islam kaffah yang memiliki aturan komprehensif dan solutif bagi semua permasalahan manusia. Wallohualam bishowab.

Post a Comment

0 Comments