Ketahanan Air dalam Cengkeraman Asing

Oleh: Indria Sari Kusumawanti

IMPIANNEWS.COM

Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang besar dengan tinggi curah hujan rata-rata 2.500 mm yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, ketahanan air di Indonesia masih perlu diperhatikan. Peningkatan penduduk menyebabkan perubahan tata guna lahan sehingga berdampak langsung pada peningkatan timbulnya bencana, peningkatan kebutuhan air dan menurunnya kualitas air. Sumber daya air yang melimpah di tanah Indonesia merupakan anugerah yang sangat patut kita syukuri. Kita memiliki kurang lebih 2,7 triliun m3 yang merupakan air permukaan per tahun. Merujuk pada ketersediaan air ini, maka jika dibagi secara kasar dengan jumlah penduduk Indonesia (270 juta jiwa), maka rata-rata per kapita berhak mendapatkan 10.000 m3 per tahun, yang mana jauh di atas dari kebutuhan air minimum. Jika dilihat dari perhitungan ini, artinya jumlah ketersediaan air di Indonesia berlimpah.

Benarkah ketersediaan air di Indonesia yang melimpah berbanding lurus dengan ketahanan air yang kuat? Sangatlah disayangkan, faktanya tidak demikian.

Ditinjau dari aspek kelangkaan air, meskipun sumber daya air pada umumnya melimpah di Indonesia, namun penyebarannya tidak merata. Diperkirakan permintaan air akan meningkat sebesar 31 persen antara tahun 2015 dan 2045. Dari aspek kualitas air, lebih dari separuh sungai di Indonesia mengalami pencemaran yang cukup parah, dan dua sistem sungai utama di Indonesia termasuk dalam sungai yang paling tercemar di dunia. Kualitas air tanah memburuk, dengan lebih dari 4/5 (93 persen) sampel air tanah melebihi ambang batas polutan. Dari aspek potensi bencana, Indonesia merupakan salah satu negara rawan bencana alam di dunia. Setiap tahun, lebih dari 1 persen tutupan hutan Indonesia hilang, dengan dampak yang signifikan terhadap keseimbangan air, fungsi penyimpanan air, dan kualitas air.Dari aspek penyediaan air bersih, layanan penyediaan air bersih sangat jauh di bawah standar untuk pembangunan Indonesia. Hanya 23 persen masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke air perpipaan. Hanya 9 persen dari total kebutuhan air domestik yang disediakan oleh PDAM. Dari aspek sanitasi dan pengolahan air limbah, Indonesia memiliki tingkat akses sanitasi dasar yang rendah. Sambungan saluran pembuangan tersedia hanya untuk kurang dari 2 persen populasi dan 17 persen masyarakat pedesaan masih membuang air besar sembarangan. Secara nasional, hanya 7,4 persen air limbah kota yang dikumpulkan dan diolah dengan aman; 92,6 persen sisanya dibuang tanpa melalui proses pengolahan ke badan air. Dari aspek irigasi, pertanian menggunakan 80 persen dari persediaan air di Indonesia, namun hampir setengah (46 persen) dari sistem irigasi diklasifikasikan ‘dalam kondisi buruk’. Hanya 12 persen dari irigasi yang mendapatkan pasokan air dari waduk (irigasi premium), sehingga kekurangan air musiman dapat sangat mempengaruhi tanaman.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 pemerintah telah menempatkan unsur ketahanan air sebagai salah satu kebijakan dalam pembangunan. Pemerintah memilih untuk menjalin kerja sama dan kemitraan dengan beberapa lembaga dan negara asing. Upaya yang telah dilakukan Indonesia terkait diplomasi air dan ketahanan air, di antaranya menjadi tuan rumah perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 pada 18-24 Mei 2024 di Bali. Indonesia mengangkat tema Water for Shared Prosperity, sebagai bentuk atas tantangan respons global terhadap ketahanan air serta potensi kerusakan akibat meningkatnya jumlah populasi dan perubahan iklim. Forum tersebut telah membukukan kesepakatan untuk 113 proyek air senilai USD 9,4 miliar atau setara Rp 150,7 triliun (kurs Rp 16.033 per dolar AS). Proyek tersebut antara lain proyek percepatan penyediaan air minum bagi 3 juta rumah tangga dan proyek pengelolaan air limbah domestik bagi 300 ribu rumah tangga. (msn.com)

Keterlibatan pihak asing semakin mendapat justifikasinya ketika UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) telah diundangkan. Lahirnya UU SDA ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah yang terkait dengan pengelolaan atau privatisasi air. Privatisasi tersebut ditujukan agar pihak asing dapat masuk sebagai penanam modal atau saham sekaligus menanamkan pengaruhnya pada skala ekonomi nasional. Mulanya gagasan diterbitkan UU SDA pada tahun 2004 tersebut didasarkan pada alasan bahwa UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat juga menjadi alasan sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.

Dilihat dari sisi kedaulatan negara atas air, UU SDA membatasi peran negara hanya sebagai pembuat dan pengawas regulasi (regulator). Hal ini merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya kesejahteraan dan kualitas pelayanan bagi setiap hak pengguna air. Negara tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok-kelompok yang tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang cukup, sehat, dan terjangkau. 

Hilangnya kontrol negara akibat intervensi asing sudah pasti menimbulkan bahaya karena pihak asing atau perusahaan air asing yang menginvestasikan modalnya akan mendistribusikan air kepada daerah yang dapat membayar biaya-biaya untuk pelancaran distribusi air, dan tentu akan berdampak bagi daerah yang kesulitan dalam mengakses air tersebut. Perilaku usaha yang dilakukan oleh perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) demikian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan hanya berdasarkan keuntungan semata (profit oriented) dan berbeda dengan esensi dari air itu sendiri.

Peran negara tersebut tidak dapat digantikan oleh pihak perusahaan PMA di sektor air yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan utama, walaupun realitasnya pelayanan sektor air negara (oleh PDAM) saat ini tidaklah gratis. UU SDA juga memberi peluang yang luas untuk penanam modal asing untuk menguasai sumber-sumber air (air tanah, segala bentuk permukaan, dan sebagian badan sungai). Instrumen Hak Guna dalam Pasal 7-10 menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumber-sumber air kepada perorangan dan badan usaha juga terutama pada pihak asing atau jalan masuk privatisasi pengelolaan sumber daya air.

Menyerahkan pengelolaan sumber daya air yang sangat vital kepada pihak asing bukan hanya menzalimi rakyat dan berbahaya, tetapi juga bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk salah satu kepemilikan umum yang haram untuk dikapitalisasi dan diswastanisasi, apalagi diasingisasi. Kedudukannya sama dengan sumber daya alam lainnya seperti barang tambang, migas, hutan/padang gembalaan, dan lainnya.

Negaralah yang wajib mengelola semua kepemilikan umum ini dan memberikan manfaatnya kepada rakyat. Terkait hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).

Wallahu alam bishawab.

Post a Comment

0 Comments