Penyalahgunaan Kekuasaan Akan Terus Berulang dalam Demokrasi


Oleh Ulfah Alawiyah
(Muslimah Pemerhati Umat)

IMPIANNEWS.COM

Jelang pemilu, ramai-ramai pejabat ikut jadi capres dan cawapres. Padahal beban tugas dari tanggung jawab jabatannya belum selesai. Lalu bagaimana dengan rakyat yang diurusinya? 

Dikutip dari Tribunnews.com, Menteri Koordinator Politik, Hukum,dan Keamanan Mahfud MD menjadi pasangan dari Ganjar Pranowo.

Demikian pula, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang akan berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. Kedua menteri tersebut masih menjabat di kabinet pemerintahan yang dibentuk Jokowi. 

Tentu saja aktivitas kedua pejabat tersebut menjadi sorotan dari para pakar. Kemungkinan untuk menggunakan posisinya dan fasilitas negara sangat besar. Hal tersebut senada dengan pernyataan pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi. Dia berharap para menteri di pilpres 2024 termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres. Untuk itu, seharusnya mereka segera mundur dari kursi pemerintahannya. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan fasilitas negara pada pilpres 2024.

Seperti diketahui bahwasanya dari tiga pasangan bakal capres dan cawapres yang telah diumumkan saat ini,  hanya dua nama figur yang sudah non aktif sebagai pejabat.

Yaitu Anies Rasyid Baswedan, yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Kemudian, Ganjar Pranowo eks Gubernur Jawa Tengah dua periode yang aktif sejak 27 Agustus 2023-5 September 2023.

Penyalahgunaan fasilitas negara termasuk penggunaannya untuk keperluan kampanye, rawan terjadi. Tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan pilpres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena sejatinya dalam demokrasi, ketika kita ingin mencalonkan diri maka harus bersiap untuk menggelontorkan dana sebanyak mungkin. Hal itu menjadi pemicu bagi segelintir orang untuk menggunakan kekuasaan yang mereka punya. 

Namun, anehnya KPU sendiri merilis pernyataan bahwa capres dan cawapres yang masih berstatus menteri tidak usah mundur dari jabatannya.

Seperti dikutip laman Antara bahwa Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti.

Aturan yang telah di keluarkan oleh KPU justru telah memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan juga fasilitas negara dan anggaran.

Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas, dan abai terhadap hak rakyat.

Karena para pejabatnya yang terus disibukkan untuk persiapan pemilihan maka mereka akan fokus pada tujuan utamanya untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Di samping itu, mereka tidak sadar bahwa ada tanggung jawab dan hak rakyatnya yang diabaikan.

Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Apalagi didukung regulasi yang ada.

Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia, yakni kapitalisme demokrasi.

Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemegang tertinggi kedaulatan.  Manusia dengan bebas bisa membuat aturan mereka sesuai keinginan. Mereka bebas melakukan apapun meskipun menyalahgunakan kekuasaan ataupun menggunakan fasilitas negara. Itulah kapitalisme demokrasi yang sedang bercokol di dalam kehidupan ini. Para pejabat dengan bebasnya bertindak sesuka hati, mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus umat demi kepentingan individu ataupun sekelompok orang saja.

Tidak pernah terbesit oleh para penguasa, bagaimana mereka akan diminta pertanggungjawaban segala amanah yang telah diberikan. Karena mereka lahir dari didikan kapitalisme sekuler. Sehingga keuntungan materi merupakan prioritas utama meskipun harus menyengsarakan rakyat nya, melanggar norma-norma agamanya. Asalkan titah tuannya terlaksana.

Tidak pernah terbayangkan dalam sistem sekarang lahir para penguasa seperti sayyidina Umar bin Khattab yang begitu peduli dengan rakyatnya. Sampai-sampai beliau sendiri yang memanggul beras untuk rakyatnya.

Dalam sistem kapitalis sekarang sangatlah mustahil melahirkan para penguasa yang jujur dan amanah menjalankan tugasnya. Dalam kapitalisme sekuler yang ada justru para pejabat dijadikan sebagai boneka. Mereka yang menjalankan pemerintahan dan membuatkan peraturan yang bisa menguntungkan para pemilik modal. Karena sesungguhnya para penguasa bisa berkuasa berkat para pemilik modal yang mau menggelontorkan uangnya untuk berinvestasi di jenjang berikutnya.

Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa  kedaulatan ada di tangan syari' (pembuat hukum) yakni Allah Swt. bukan di tangan manusia (penguasa). Sedangkan kekuasaan ada di tangan umat yang diwakili oleh khalifah terpilih. Oleh karena itu, untuk pencalonan pemimpin bagi negara harus memenuhi persyaratan yang sesuai syarak juga. Syarat in'iqad harus dipenuhi yaitu laki-laki, muslim, baligh, merdeka, berakal, adil dan mampu. Selain itu, calon tersebut harus diberhentikan dulu dari jabatannya dan ditunjuk pengganti sementara hingga pemimpin negara terpilih. Itupun dengan waktu pemilihan tidak boleh lebih dari dua hari tiga malam. Hal ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan (ijma) sahabat. 

Cara pemilihan calon pemimpin dalam Islam, dapat dilakukan dengan menghadirkan dua orang calon yang memenuhi syarat in'iqad. Hal ini dapat dilakukan oleh representasi umat atau disebut ahlul ahdi wa aqdi atau bisa juga oleh anggota majelis umat yang muslim. Atau dipilih 6 orang calon dan di antara mereka dipilih hanya 2 saja yang diajukan ke masyarakat. Setelah itu, petugas pemilihan mendatangi rumah warga untuk dimintai pilihannya. Hanya saja tidak boleh sampai berlarut-larut waktunya. Karena hanya dua hari tiga malam saja, harus sudah terpilih seorang pemimpin negara. Selanjutnya ada proses baiat yang mensahkan kepemimpinan di tangan orang terpilih tersebut. Dan pejabat sementara berakhir tugasnya diambil alih pemimpin terpilih. 

Kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sehingga Keadilan Islam dapat dirasakan. Ditambah pula adanya pertanggungjawaban di akhirat, dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada aturan Allah dan rasul-Nya.

Pemimpin negara terpilih atau disebut khalifah ketika menjabat harus mengadopsi hukum-hukum Islam tertentu untuk diterapkan negara secara kafah. Tentu hukum yang bersumber dari Al Qur'an dan as sunnah serta ijma sahabat dan qiyas. Kemudian Khalifah juga akan mengangkat struktur pemerintahan di bawahnya. Seperti muawin tafwid dan wuawin tanfidz, para gubernur atau wali, para hakim atau qadhi, amil, pengurus baitul mal, amirul jihad (komandan militer), kepala polisi. Oleh karena itu, tidak ada pilkada untuk pemilihan pejabat daerah. Sehingga mekanisme tersebut akan meminimalisir biaya dan waktu. Serta tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pejabat. Sedangkan rakyat akan langsung mendapatkan pengurusan urusannya secara sempurna tanpa ada pengabaian hak-haknya oleh negara.

Partisipasi partai politik Islam dan umat terus mengawal dari awal sampai akhir pemerintahan agar sesuai Islam. Sehingga kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan syariat akan segera tercium dan dapat dicegah. Kemudian langsung ditindak oleh qadhi mazalim. 

tersebut sangatlah praktis, cepat, mudah dan begitu bermakna. Karena umat Islam bukan hanya mengangkat pemimpin di dunia tetapi mengangkat pemimpin yang akan menentukan masa depannya. Begitu pula di akhirat kelak khalifah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah ia pimpin (umat Islam).

Sehingga di dalam negara Islam tidak akan ada para penguasa yang dikuasai oleh para korporasi. Karena pada diri mereka telah tertanam keimanan yang kuat agar bisa menjalankan Al Qur'an di dalam setiap aspek kehidupan. Dan pemimpin yang seperti itu hanya jika khilafah ditegakkan di muka bumi. Dari penerapan sistem Islam kafah tersebut  akan lahirlah para Khalifah yang terbaik yang begitu didambakan oleh umat Islam.

Wallahu'alam bishawab

Post a Comment

0 Comments