Peluk Rempang dalam Dekapan Islam


Oleh: Ummi Alif
(Ibu Rumah Tangga)

IMPIANNEWS.COM

Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Kezzaliman itu mereka tampakkan di depan rakyatnya sendiri. Warga Rempang yang dahulu ikut mengusir penjajah dari tanah air, saat ini mereka malah terancam diusir oleh bangsanya sendiri.

Rencana penggusuran sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) tidak jadi dilaksanakan. Ratusan aparat keamanan untuk pengosongan kampung-kampung di Rempang, Kepulauan Riau, disebut sudah ditarik kembali ke tempatnya.

Polda Kepulauan Riau menarik 200 personel Satuan Brimob Polda Riau yang sebelumnya dikirim untuk mendukung pengamanan unjuk rasa warga Rempang yang bertugas di bawah kendali operasi (BKO).

Pengembalian anggota Brimob Polda Riau itu kata dia, sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan permasalahan Pulau Rempang dilakukan secara humanis. "Jadi kami akan mengedepankan upaya-upaya yang lebih preventif dan humanis," kata dia. Bagaimanapun, ia mengakui masih ada anggota Polri di sekitar wilayah Pulau Rempang. "Bukan untuk mengintimidasi ataupun melakukan penekanan-penekanan tertentu," kata Zahmani mengklaim.

Sebelumnya diberitakan, Satuan Brimob Kepolisian Daerah Riau memberangkatkan 200 personel ke wilayah Pulau Rempang, Kota Batam untuk turut mendukung pengamanan unjuk rasa yang bertugas di Bawah Kendali Operasi sejak 14 September 2023 lalu.

Dikutip dari laman BP Batam, Rempang Eco-City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam PSN 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2023. Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia.

Proyek tersebut rencananya digarap oleh PT MEG dengan target investasi mencapai Rp 381 triliun pada tahun 2080. PT MEG merupakan rekan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam.

Nantinya, perusahaan itu akan membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal dalam pengembangan ekonomi di Pulau Rempang. Guna menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17 ribu hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Pemerintah juga menargetkan pengembangan Rempang Eco-City dapat menyerap sekitar 306 ribu tenaga kerja hingga 2080.

Namun, pembangunan proyek tersebut diprotes oleh warga Pulau Rempang dengan menghadang aparat gabungan yang akan mematok dan mengukur lahan pada Kamis (7/9/2023). Konflik yang diwarnai kekerasan hingga mengakibatkan korban luka-luka, bahkan trauma pada anak-anak setempat, itu dipicu oleh penolakan warga terhadap proyek yang mengharuskan sekitar 7.500 warga setempat direlokasi. Selain itu, proyek tersebut juga mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada di Pulau Rempang sejak tahun 1834. Mengapa demi memperjuangkan investor, pemerintah sampai tega mengusir warga Rempang yang notabene sudah tinggal di kampungnya berabad-abad.

Temuan Ombudsman soal relokasi warga pulau Rempang

Sementara, Ombudsman RI menemukan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) belum diterbitkan. Hal ini merupakan temuan sementara atas tindak lanjut penanganan masalah Rempang Eco City. 

Anggota Ombudsman Johanes Widijantoro menyebut Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Area Penggunaan Lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada 30 September 2023. Surat itu dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam. 

"Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat," kata Johanes dalam keterangannya pada Kamis (28/9/2023). Salah satu hasil dari investigasi Ombudsman, warga tetap menolak relokasi yang dilakukan oleh BP Batam. "Warga sudah turun temurun berada di Pulau Rempang, selain itu juga tidak adanya jaminan terhadap mata pencaharian warga,” terang Johanes. Temuan lain, Johanes mengatakan belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran baik itu terkait pemberian kompensasi dan program secara keseluruhan. 

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus Rempang Eco City sudah ditangani secara baik. Maka dari itu, ia meminta tidak perlu lagi dibesar-besarkan apabila ada kesalahan dalam penanganan di daerah Rempang, Kepulauan Riau. Menurut dia, pemerintah sudah berpengalaman menyelesaikan konflik lahan. Misalnya, kata dia, penanganan di Mandalika maupun di Kertajati, Bandung, Jawa Barat.

Kasus ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini. Sejatinya para kapitalislah yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah ataupun kasus agraria. Ini terjadi karena sistem kapitalis sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan diterapkan negeri mayoritas muslim. Sehingga, tanah-tanah rakyat Indonesia yang sudah ditempati turun-temurun dan dimilikipun harus digusur paksa. Semuanya mengatasnamakan pembangunan. 

Islam menetapkan kedaulatan di tangan syara dan umat sebagai pemilik kekuasaan

Kondisi rakyat Rempang yang terancam diusir dari tanahnya sendiri yang telah didiami selama berpuluh-puluh tahun menyisakan tanya bagi kita, siapa yang berdaulat di Rempang? Berdasarkan teori demokrasi, seharusnya “kedaulatan di tangan rakyat”. Namun, ternyata realitasnya tidak demikian. Rakyat  Rempang tidak berdaulat di tanahnya sendiri.

Kronologi kasus ini menunjukkan bahwa kedaulatan justru ada di tangan pengusaha kapitalis, bukan rakyat. Ombudsman RI mengungkap bahwa masyarakat Rempang telah berupaya untuk melegalkan tanahnya. Namun, pemerintah menggantung permohonan warga sehingga kini mereka tidak memiliki bukti legal kepemilikan.

Anehnya, dengan kondisi Pulau Rempang yang berpenghuni tersebut, pemerintah justru menetapkannya sebagai kawasan pengembangan proyek strategis nasional (PSN). Tentu saja masyarakat menolak kebijakan ini.

Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syarak. Tidak ada tawar-menawar dan kompromi. Semua permasalahan akan diselesaikan dengan syariat Islam sehingga terwujudlah keadilan. Tidak ada pihak yang dianak-emaskan sebagaimana para kapitalis di sistem demokrasi. Semua pihak setara di hadapan syarak.

Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat. Negara akan melindungi rakyat agar terpenuhi kebutuhannya dan mencegah siapa saja yang hendak mengambil hak rakyat. Negara tidak boleh berbuat zalim kepada rakyat dengan alasan pembangunan, apalagi demi kepentingan para kapitalis. 

Dalam QS Asy Syura ayat 42, Allah Swt. berfirman,

اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih.” 

Khalifah Umar bin Khaththab pernah menegur Wali Mesir, Amr bin Ash yang hendak menggusur seorang Yahudi yang rumahnya menghalangi proyek pembangun masjid. Umar ra. mengirimi Amr ra. tulang busuk yang berasal dari belikat unta.

Di tulang itu, Umar menggoreskan huruf alif sederhana dari atas ke bawah yang dipalang di bagian tengahnya. Ini adalah tamsil agar Amr bin Ash berlaku adil. Amr pun membatalkan rencananya. Demikianlah profil negara yang melindungi dan mengurusi rakyatnya, bukan justru mengerahkan militer untuk mengusir rakyat.

Khatimah

Dalam sistem kapitalis, terjadi perkawinan kekuatan modal dengan politik kekuasaan yang mendorong roda pemerintahan bergerak selaras dengan kepentingan ekonomi neoliberal. Ekonomi neoliberal mendukung kepentingan kapitalis dengan membangun perangkat pertahanan, keamanan, serta hukum, bahkan melalui praktik kekerasan jika diperlukan sehingga hak kepemilikan privat dan fungsi pasar dapat beroperasi.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Pembangunan tersebut harus dikelola negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.

Dari aspek jangka waktu pengadaannya, pembangunan infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air minum. Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya, misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dll. (Abdurrahman al-Maliki, (1963), As-Siyasah al-Iqtishadiyah Al-Mutsla).

Kedua, memproteksi dengan mengambil kemaslahatan dari beberapa aset yang termasuk milik umum, seperti pertambangan komoditas strategis (hutan, air, minyak bumi, gas). Rasulullah saw. pernah memproteksi sebuah lahan di Madinah untuk menggembalakan kuda dan itu untuk kepentingan negara. 

Ketiga, mengambil pajak (dharibah), hanya boleh dipungut jika diperuntukkan untuk biaya infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan sifatnya mendesak. Namun, yang dipungut hanyalah laki-laki kaya dan warga negara muslim.

Akibat berpaling dari sistem Islam dalam pembangunan infrastruktur, yang terjadi ialah proyek pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elite. Jauh dari fungsinya yang mulia, yakni sebagai sarana bagi para penguasa untuk menunaikan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat dan meraih rida Allah Taala. Wallahualam

Post a Comment

0 Comments