Pemberantasan Korupsi Ilusi dalam Sistem Demokrasi

Oleh: Rostati
(Muslimah Pemerhati Umat)

IMPIANNEWS.COM

Ironis, pemberantasan korupsi makin sulit terjadi. Bahkan lembaga seperti KPK juga tak terlepas dari jerat korupsi. Kejahatan korupsi terjadi karena ada niat, kesempatan dan sanksi tanpa efek jera.

Dilansir dari Kumparan.com, Direktur Penyidikan sekaligus Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur mengungkapkan terjadinya skandal pungli oleh pegawai Rutan KPK. Korbannya tidak sedikit bahkan ada puluhan orang dan mencapai angka empat miliar. Padahal semua tersangka yang ditahan dibatasi segala aktivitasnya. Dibatasi ruang gerak dan komunikasinya. Namun, karena mereka bekerja sama menjadi peluang terjadinya pungli. Ditambah kurang integritas oknum dari KPK. Diperkirakan korban, pelaku, dan nilai punglinya masih bisa bertambah. Sebab, penyelidikan akan dilakukan dari sebelum  tahun 2021-2022 yang disebutkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. (Kumparan.com,27/6/23)

Banyak pertanyaan muncul terkait korupsi yang makin menjamur ini. Mengapa korupsi di Indonesia seolah menjadi budaya kotor yang masih saja dilestarikan? Bahkan, lembaga yang terdepan memberantas korupsi kini mulai menjadi ladang korupsi. Mengapa korupsi tidak pernah terselesaikan tuntas? Padahal, sebagaimana tujuan awal dibentuknya KPK adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Namun, apa daya, sistem demokrasi sekuler bisa menggerus itu semua. Demi cuan, integritas tergadaikan. Demi uang, kejujuran dikorbankan. Demi nafsu kekuasaan, amanah pun bisa dikhianati. 

Nyatanya, sistem pemerintahan demokrasi memang melahirkan pejabat korup di semua sisi, diakui maupun tidak. Dari korupsi kelas teri, seperti pungli, hingga kelas kakap, seperti suap miliaran. Di sisi lain, sistem sekuler kapitalis tidak membentuk ketakwaan komunal. Sistem tersebut tak mampu menjadikan tiap individu dapat menjaga diri dari godaan harta dunia. Atau setidaknya saling menasihati antar individu jika ada yang berbuat curang atau menipu rakyat. Yang terjadi, mereka justru melakukan korupsi berjamaah tanpa malu dengan perbuatan maksiatnya.

Wajar korupsi terjadi di negeri ini. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan digunakan sebagai asas berpikir dan bertindak. Sehingga untuk urusan kehidupan termasuk ekonomi tak mau diatur agama. Sehingga mereka para koruptor tak takut berbuat korup.

Belum lagi, sistem politik yang diterapkan telah menghalalkan segala cara. Akhirnya suap dan menyuap menjadi hal yang biasa terjadi dalam memuluskan syahwat kepentingan. Sehingga, para kapitalis menjadi pihak yang dengan uangnya mampu berkuasa serta mengontrol jalannya perpolitikan.

Masyarakat juga sudah tak lagi merasa berkepentingan untuk mengingatkan ketika terjadi korupsi. Apalagi, korupsi tersebut dilakukan secara berjamaah dan saling menutupi satu dengan lainnya. Sangat sulit bagi masyarakat untuk mengadukan berbagai tindakan korupsi tersebut. Karena kejadian korupsi berada di lembaga resmi. 

Sanksi hukumnya juga sangat minimalis. Tak ada efek jera. Bahkan yang sudah menjadi tersangka juga tetap dapat meminta ringan hukumannya. Ditambah adanya upaya saling menutupi dan saling bantu antara pihak-pihak yang terlibat. 

Demikianlah, pemberantasan korupsi menjadi seperti ilusi dalam sistem demokrasi. Sehingga sudah saatnya sistem tersebut dicampakkan. Segera digantikan dengan sistem lain yang sudah jelas mampu memberantas korupsi hingga ke akarnya. Yaitu segera beralih kepada penerapan sistem Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan.

Cara Islam Berantas Korupsi

Islam memiliki mekanisme jitu dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, yaitu peran negara, masyarakat, dan individu. Mereka yang memiliki integritas dalam memberangus setiap kejahatan dan kemaksiatan, termasuk korupsi. Mekanismenya adalah sebagai berikut.

Pertama, penanaman mental dan kepribadian Islam pada tiap individu. Sistem yang baik akan melahirkan individu yang baik. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga turut andil menyuburkan korupsi, sedangkan Islam akan membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki. Dengan keimanan tersebut, ia akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa.

Kedua, lingkungan kondusif. Dalam Islam, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan diberlakukan. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh seperti ini akan tercipta seiring tegaknya hukum Islam di tengah mereka. Individu bertakwa dan adanya masyarakat yang berdakwah akan menjadi habit yang mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam.

Ketiga, negara menegakkan sistem sanksi Islam yang berefek jera bagi pelaku, termasuk kasus korupsi. Dalam demokrasi, lembaga pemerintahan sangat rentan korupsi karena perilaku korup yang sudah membudaya. Hukum pun bisa diperjualbelikan sesuai besaran suap yang diterima. Sedangkan Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Sebagai contoh, pasal pembuktian terbalik dalam hukum Islam, sebenarnya sederhana, yakni tinggal hitung kekayaan pejabat sebelum dan setelah menjabat. Jika terdapat kelebihan harta yang tidak wajar, si pejabat harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, inilah yang disebut korupsi.

Sistem sanksi Islam ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa dan efek jera. Untuk kasus korupsi, sanksi yang berlaku adalah takzir, yakni sanksi yang khalifah dan qadhi berwenang untuk menetapkannya. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disaksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati. Tergantung level perbuatan korupsi serta kerugian yang ia timbulkan.

Demikianlah, Islam mampu mewujudkan sistem antikorup. Yaitu penerapan Islam kafah dalam bingkai Khilafah. Pemberantasan korupsi dalam demokrasi itu ilusi. Sama mustahilnya menegakkan kebenaran dan kejujuran dalam sistem sekuler yang menggerus keimanan serta menjauhkan umat dari aturan Islam. Walahualam bisawab

Post a Comment

0 Comments