Ironi Krisis Air Bersih di Negara Maritim, Kok Bisa?

Oleh: Restu Febriani

IMPIANNEWS.COM

Fenomena el nino atau kemarau panjang diperkirakan akan berlangsung sampai Agustus 2023. Bahaya kekeringan maupun krisis air bersih pun mengancam kota-kota di Indonesia, tak terkecuali Bandung Raya yang meliputi Kota/Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, serta Kota Cimahi. Potensi krisis air bersih ini diperparah dengan penurunan muka tanah yang berlangsung dari tahun ke tahun. Selain itu, jumlah warga yang bisa mengakses air bersih ke Perusahaan Dagang Air Minum (PDAM) masih terbatas. Di Kota Bandung, misalnya, produksi air bersih PDAM Tirtawening hanya 2.200 liter per detik atau 3,2 juta kubik per bulan. Angka ini masih jauh di bawah kebutuhan air masyarakat Kota Bandung yang mencapai 7.000-8.000 liter per detik atau 7-8 juta kubik per bulan. (Bandungbergerak.id, 30/6/2023)

Ironis, Negara Maritim Krisis Air Bersih

Ironis, krisis air bersih dan darurat kekeringan akut selalu melanda hampir seluruh wilayah Indonesia apalagi setiap kali musim kemarau panjang datang, padahal Indonesia memiliki sumber daya air melimpah. Bagaimana tidak, Indonesia adalah negara maritim, yang mana 77% wilayahnya terdiri dari laut. Sekitar 21% total sumber air di wilayah Asia-Pasifik berada di wilayah Indonesia disertai dengan ratusan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan cekungan.

Dilansir dari situs World Health Organization (WHO), air kotor dan sanitasi yang buruk meningkatkan risiko penyakit kolera, diare, disentri, hepatitie A, tifus, dan infeksi. Menurut data WHO, pada tahun 2017 sekitar 829.000 orang meninggal karena diare akibat mengonsumsi air kotor. Lalu, mengapa Indonesia sebagai negara maritim bisa mengalami krisis air bersih?

Paradigma Kapitalisme

Jika kita melihat realitas problem krisis air di Indonesia, tampak bahwa paradigma yang ada pada diri pemerintah adalah paradigma pedagang alias paradigma Kapitalisme. Sudahlah gagal mencukupi kebutuhan air bagi rakyatnya, negara justru menjadikan kegagalan itu sebagai lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. 

Negara seolah berlepas tangan dari kewajiban menyediakan air layak bagi rakyat. Mengundang investor menjadi “jalan ninja” pemerintah untuk menyelesaikan krisis air layak. Inilah praktik swastanisasi atau privatisasi air. Air yang seharusnya barang publik diposisikan sebagai barang ekonomi.

Seharusnya, ancaman krisis air bersih akibat el nino ini disikapi secara serius. Namun dengan paradigma pembangunan kapitalistik, memang solusi yang diberikan tidak akan mampu mengatasi persoalan tersebut, seperti menyediakan/menyiapkan mobil-mobil tangki yang akan didistribusikan ke wilayah-wilayah rawan kekeringan. Apalagi karena keterbatasan PDAM, akhirnya menggandeng pihak swasta untuk mengatasi krisis penyediaan air bersih, yang pastinya akan mengarah kepada pelayanan profit oriented bukan nonprofit.

Dalam kacamata Kapitalisme, air sebagai sumber daya vital manusia, tentu dipandang sebagai komoditas ekonomi. Tak jarang para pemodal tak segan menempuh berbagai cara demi menguasai area yang mengandung sumber daya komersial. Upaya ini juga acap kali ditempuh melalui berbagai kebijakan zalim. Maka tidak heran, jika Indonesia sebagai negara maritim, bisa mengalami krisis air bersih.

Solusi Islam

Sebagai sumber daya milik umum, sejatinya air yang juga ciptaan Allah ini haram untuk dikapitalisasi. Maka upaya-upaya pembisnisan air minum memang tidak dibenarkan oleh Islam. Terlebih adanya rencana pemerintah untuk mengundang investor asing dalam pengelolaan sumber daya bersih, sudah pasti berujung pada pada kapitalisasi sumber daya air, padahal semua upaya ini jelas diharamkan. Maka, negara tidak boleh lepas tangan terhadap pengurusan air, terkait pengambilannya, distribusinya, maupun penjagaan kebersihan dan keamanannya.  

Pada masanya, khilafah mampu mencukupi kebutuhan air bersih bagi rakyat. Khilafah membangun berbagai infrastruktur untuk menyalurkan air. Khilafah juga membangun banyak bendungan untuk mencegah krisis air. Sampai-sampai, ada seorang khalifah bernama Fannakhusru bin Hasan (324-372 H/936-983 M), tetapi lebih populer dengan nama Adud ad-Daulah, yang digelari Khalifah Pembangun Bendungan karena begitu banyak membangun bendungan untuk menjamin ketersediaan air.

Bahkan pada masa khalifah Umar bin Al Khaththab r.a., ketika terjadi masa kekeringan parah. Selama masa ini, hukuman hudud sampai dicabut akibat penderitaan dan kebutuhan manusia. Pemimpin juga menolak untuk makan selain dari apa yang tersedia untuk setiap warga negara lainnya. Dengan terstruktur kereta unta diorganisasi ke berbagai daerah untuk memastikan bahwa kebutuhan orang-orang terpenuhi.

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya terdapat konsep bagaimana mengelola sumber daya alam. Menurut aturan Islam, hutan, air, dan energi adalah kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara, yang diberikan secara gratis. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api" (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, "Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api" (H.R. Ibnu Majah).

Maka pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management), tetapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat.

Inilah sebabnya, Indonesia harus bersegera menjadi negara ideologis, yakni negara yang mampu mencari solusi bagi problem dalam negeri. Termasuk agar dapat lepas dari cengkeraman negara-negara kapitalis penjarah sumber daya alam, pun mampu memiliki posisi tawar yang seimbang demi melawan penjajahan dan kezaliman Kapitalisme itu. Maka mutlak adanya, ideologi yang diambil haruslah Islam, dan jelas, satu-satunya solusi mengatasi krisis air adalah dengan mengembalikan pengelolaannya berdasarkan aturan Sang Pencipta air itu sendiri, yakni Allah SWT. Demikian pula sistem pengelolaannya, harus diwujudkan melalui tegaknya negara pelaksana Islam kaffah, yakni khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam bisshawab.

Post a Comment

0 Comments