Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menyoroti 23 penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) antara pengusaha Indonesia dan China. Kesepakatan yang terjadi saat acara One Belt One Road (OBOR) atau belakangan dikenal Belt Road Initiative (BRI), dinilai berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik negara.
Ia memaparkan, kerja sama yang melibatkan swasta atau BUMN dari Negara Tirai Bambu itu berdalih menggunakan skema business to business.
"Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi. Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari pemerintah, dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya," kata Fadli dalam pesan tertulisnya, Senin 13 Mei 2019.
Fahri yang juga politikus Partai Gerindra, merujuk pada Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Di mana, pada Pasal 10 secara khusus mengamanatkan, pengesahan perjanjian internasional terkait masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara termasuk pinjaman, serta hibah luar negeri perlu dikonsultasikan ke parlemen.
"Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta. Sebab, ada isu geopolitik, geostrategis, dan isu pertahanan keamanan di dalamnya," tuturnya.
Fadli memahami, saat ini Republik Rakyat Tiongkok kini menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, ia juga mewanti-wanti, proyek tersebut dapat mewakili China yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
"Inisiatif BRI (OBOR) masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka. Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini,” ujarnya.
sumber : viva.co.id