Ada ancaman pidana penjara dan denda balik bermedia sosial. Ingin tahu ancamannya, baca tulisan saya di opini Padang ekspres, edisi rabu 31 Mei. Penting sekali dipahami...silakan dibaca:
Jangan Sembarangan Menebar Informasi di Media Sosial
Oleh YURNALDI
Wartawan Utama, Anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat
Tiba-tiba kita dikejutkan dengan berita penangkapan seorang berinisial AR, warga Keluarahan Silaing Bawah, Kota Padangpanjang, Sumatera Barat, oleh anggota polisi dari Direktorat Cyber Crime Bareskrim Polri, Minggu (28/5) petang. Padang Ekspres melaporkan, penangkapan AR yang dipimpin AKBP Purnomo Irawan, berkaitan dengan tindak kejahatan Informasi dan Transasksi Elektronik (ITE), karena menyebarkan informasi untuk menimbulkan permusuhan individu,suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) melalui media sosial.
Sebelumnya, kita juga dikejutkan oleh seorang perempuan dokter di Kota Solok, berinisial FL, membuat pernyataan maaf disaksikan sejumlah pihak, setelah pernyataannya di media sosial dikritisi masyarakat dan ormas dan berpotensi menimbulkan keributan. Ironiknya, pascapernyataan maaf secara tertulis itu, kini dihebohkan oleh pernyataan dan segala macam, bahwa dokter itu ditekan dan mendapatkan ancaman. Pro dan kontra pegiat dunia maya pun tak bisa dihindarkan, dikhawatirkan menimbulkan permusuhan individu atau golangan SARA. Mana informasi yang benar dan bohong (hoax) susah dibedakan, kecuali oleh orang yang cerdas bersosial media. Jika dokter FL tidak cepat minta maaf, ia bisa saja dipidanakan.
Media Sosial sebagai simbol kecanggihan berkomunikasi di era keterbukaan informasi sekarang ini, ternyata ibarat dua sisi mata uang. Jika dikeloka dengan cerdas, maka akan memberi manfaat kepada penggunanya. Akan tetapi, jika emosional dan sikap tendensius tidak mampu ditahan, maka ia akan jadi bumerang bagi penggunanya. Informasi yang disebar melalui media sosial bisa mendatangkan mudarat atau celaka bagi pengguna/pemilik akun media sosial.
Cerdas Bermedia Sosial
Setiap orang pasti punya argumentasi tersendiri dalam bermedia sosial. Bayangkan, ada sekira 140 juta penduduk Indonesia yang sudah melek teknologi komunikasi dan setiap waktu menggunakan gawai, android, telepon seluler untuk menyampaikan sesuatu dan atau meneruskan sesuatu pemikiran. Terlepas suka dan tak suka, informasi itu menembus batas-batas logika dan realita, serta masuk dan merasuki pikiran siapa saja yang membacanya.
Kemajuan dalam teknologi komunikasi juga dibarengi dengan kebebasan berkespresi dan keterbukaan informasi. Namun jika hal itu tidak disikapi dengan cerdas, maka kebebasan itu bisa mencelakakan dan memenjarakan.
Jika kita cermati media sosial seperti facebook, betapa banyak orang yang menggunakannya untuk sekadar bertegur sapa, melampiaskan hobi, mengemukakan pemikiran, menarik simpati. Akan tetapi, juga tak kalah banyaknya orang menggunakannya untuk menyiarkan kabar bohong, menebar fitnah, menebar pornografi, dan/atau menggunakannya untuk ajang mencaci maki. Setidaknya, saya berkesimpulan, apa yang Anda ungkapkan di media sosial, itulah karakter Anda yang sebenarnya.
Namun demikian, tanpa disadari di balik apa yang kita tulis, paparkan, dan apa sesuatu yang kita bagi-bagikan, jika tak paham dengan regulasi dan aturan yang berlaku, apalagi tak paham dengan substansi dari suatu informasi, maka akibatnya bisa fatal. Seseorang karena statusnya, komentarnya, dan atau foto-fotonya di media sosial, bisa berdampak hukum. Karena itu, dalam situasi kehidupan berbangsa yang kurang harmonis belakangan ini, kita jangan terburu-buru membuat tuduhan-tuduhan tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Jangan memposting sesuatu yang belum tentu bisa dipercaya kebenarannya, belum bisa diyakini akurasi datanya, belum bisa dipercaya sumber-sumbernya, dan tidak diketahui asal-usul informasi tersebut.
Ancaman Pidana
Euforia bermedia sosial kadang tak diikuti pemahaman tentang regulasi yang sudah mengatur tentang segala sesuatunya. Sadar hukum sangat perlu dan penting sebagai filter bagi kita supaya tak terjebak ke jurang kasus hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 28 ayat (2) disebutkan; “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Lalu pasal 45 ayat 2; “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Walaupun ada ketentuan pidana dala KUHP dan UU nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun pasal-pasal dalam UU ITE jauh lebih mudah digunakan terkait penyebaran kebencian berbasis SARA di dunia maya. Karena pasal 28 ayat (2) ITE merupakan pasal paling kuat bagi tindak pidana penyebaran kebencian di dunia maya di banding pasal-pasal pidana lainnya, maka tren penggunaan pasal 28 ayat (2) ITE di tahun-tahun mendatang pasti akan lebih meningkat. Ini karena elemennya lebih luas, dengan ancaman pidana yang lebih berat dan secara spesifik mudah menyasar penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya, dibanding UU lainnya.
Saya mendorong penggunaan pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 UU ITE secara lebih cermat dalam situasi kekinian. Penggunaan pasal-pasal ini haruslah lebih presisi dan tepat, sehingga dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi publik namun di sisi lain juga tidak membunuh kebebasan berekspresi warga negara.
Perlu diketahui, penerapan pasal 28 dan pasal 45 UU ITE ini telah memakan korban sebelumnya, seperti antara lain kasus Sandy Hartono yang diadili PN Pontianak tahun 2011. Ia terbukti membuat akun facebook palsu dan memasukkan gambar-gambar maupun kalimat yang berisikan penghinaan terhadap agama Islam. Ia dipidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kemudian kasus Alexander Aan si pemilik akun Group Atheis Minang, di Sijunjung, Sumatera Barat, tahun 2011. Ia dihukum 2 (dua) tahun dan 3 bulan serta denda Rp100 juta. Lalu, kasus Muhamad Rokhisun yang diadili di PN Pati tahun 2013. Ia divonis penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Ia terbukti membuat status atau kata-kata yang menyerang dan menista agama. Ada lagi kasus I Wayan Hery Christian di PN Palu. Ia juga terbukti bersalah dan dihukum sesuai pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 ayat (2) UU nomor 11 tentang ITE. Ia membuat status yang melecehkan di medoa sosial karena merasa terganggu suara takbir menyambut Idhul Adha.
Dan jika Anda menggunakan media sosial untuk menayangkan/menggunggah gambar-gambar/video porno, maka Anda bisa dijerat pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, emngekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dna paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
Pengguna media sosial juga harus paham UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena ada ancaman pidana juga kalau membuat dan menyebarkan informasi publik yang
Tidak benar atau menyesatkan.
Pasal 54 ayat (1) menyebutkan; “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (2) berbunyi; “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 55 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan; “Setiap orang yang dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Jadi berhati-hatilah membuat status, menyebarkan informasi/gambar/video agar Anda terbebas dari ancaman pidana penjara dan pidana denda.(yurnaldi66@gmail.com)
0 Comments