Benarkah ASN Pemerintahan Bisa Bersikap Netral dalam Pilkada 2024?

 *Benarkah ASN Pemerintahan Bisa Bersikap Netral dalam Pilkada 2024?* 

Oleh : Rizka Meilina 

IMPIANNEWS.COM

Deklarasi Netralitas di pilkada serentak tahun 2024, yang digelar di Gedung Moch. Toha Komplek Pemkab. Bandung, Soreang. Diharapkan agar secara terus menerus BKPSDM dan Inspektorat agar melakukan sosialisasi mengenai netralitas ASN dalam Pemilihan Kepala Daerah ini. ASN di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung berjanji bakal netral di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. Janji tersebut mereka tuangkan dalam dokumen deklarasi serta ditandatangani perwakilan ASN di Gedung Moch. Toha Komplek Pemkab. Bandung, Soreang, Senin (30/9/2024). Seperti diketahui Bupati Bandung Dadang Supriatna dan Wakil Bupati Sahrul Gunawan pada Pilkada, 27 November mendatang bersaing memperebutkan kursi Bupati Bandung. Sahrul Gunawan berpasangan dengan Gun Gun Gunawan dengan nomor urut 1. Sementara Dadang Supriatna menggandeng Ali Syakib dengan nomor urut 2. Deklarasi para ASN Pemkab. Bandung disaksikan Pjs. Bupati Bandung Dikky Achmad Sidik, Sekretaris Daerah (Sekda), Cakra Amiyana, Ketua KPU, Syam Zamiat Nursyamsi, perwakilan Bawaslu, dan para asisten, kepala dinas, kepala badan maupun para camat dan para ASN lainnya di lingkungan Pemkab Bandung.

Adapun tiga janji yang mereka ikrarkan dalam Deklarasi Netralitas ASN, yaitu: _Pertama_ , menjaga dan menegakkan prinsip netralitas pegawai ASN di instansi masing-masing dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik baik sebelum, selama, maupun sesudah pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024. _Kedua_ , menghindari konflik kepentingan tidak melakukan praktik-praktik intimidasi dan ancaman kepada pegawai ASN dan seluruh elemen masyarakat serta tidak memihak kepada pasangan calon tertentu. _Ketiga_ , bijak menggunakan media social, dan tidak menyebarkan ujaran kebencian serta berita bohong. _Keempat_ , menolak praktik uang dan segala jenis pemberian dalam bentuk apapun. 

Netralitas ASN merupakan wujud substansi pelayanan, terwujudnya profesionalisme birokrasi, yaitu ASN sebagai inti birokrasi yang melayani, terciptanya kenyamanan kerja ASN, dan tegaknya hukum yang berkeadilan. Serta pengukuran netralitas pada ASN dibagi menjadi empat indikator, yaitu netralitas dalam karier ASN, netralitas dalam hubungan partai politik, netralitas pada kegiatan kampanye, dan netralitas dalam pelayanan publik. Terkait netralitas pada kegiatan kampanye, salah satu yang seharusnya dilakukan ASN adalah penggunaan media sosial tidak mendukung aktivitas kampanye, tidak membuat berita hoax dan tidak ikut dalam kampanye.  ASN juga dituntut untuk menjalankan amanahnya sebagai abdi negara yang bekerja semata-mata demi kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu. Namun demikian, keterlibatan aktif PNS menjadi PPK, PPS, dan KPPS dimungkinkan, mengingatkan keterbatasan penduduk yang memiliki kualifikasi untuk dapat menjadi anggota panitia pemilu, tidak bisa dimungkiri akan memperngaruhi netralitas ASN dalam pilkada.

Disisi lain kebijakan menaikkan gaji ASN demi mendulang suara di pemilu adalah cara lama yang sudah berlangsung sejak Orde Baru. Saat itu, birokrasi menjadi mesin yang menjaga keberlangsungan kekuasaan presiden. Terlebih saat ini, jugak sekaligus menjelang akhir masa jabatan kepala negara. Tidak heran, penguasa hendak memanjakan para ASN dengan menaikkan gaji mereka. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS ke dalam Gaji Pokok PNS. Sejumlah ASN memang menyebut bahwa kenaikan gaji ini tidak akan menggoyahkan pilihan politik mereka saat hari pencoblosan. Meski demikian, realitas di lapangan sangat mungkin bertolak belakang. Bagaimanapun, kalangan ASN toh berpeluang untuk sangat mudah digerakkan agar memilih salah satu paslon tertentu. Secara jumlah, hasil akhir perolehan suara dari kalangan mereka pun sudah bisa diprediksi. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga sejalan dengan program bansos yang tidak kalah jor-joran. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut anggaran bansos naik drastis dari Rp20,5 triliun menjadi Rp493,5 triliun pada 2024 ini. Benarkah kalangan ASN layak disebut miskin? Demikian halnya dengan kebijakan akan kenaikan gajinya, tidakkah ini jelas-jelas lebih kental dengan unsur politis jelang pesta demokrasi?

Peningkatan kualitas kinerja ASN sejatinya bisa diukur tanpa harus mengandalkan parameter berupa kenaikan gaji. Namun dalam kacamata sistem kapitalisme, kualitas kinerja seorang pegawai justru sangat bergantung pada besaran gaji, begitupun sebaliknya. Sering kali kita menemukan seorang pegawai bergaji rendah kendati pekerjaannya memiliki tingkat kesulitan tinggi atau memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Kondisi ini terjadi karena kapitalisme memosisikan gaji pegawai sebagai bagian dari faktor produksi. Sementara itu, kapitalisme sendiri adalah sistem yang fokus pada kegiatan produksi. Nyatanya konsep ini tidak hanya terjadi pada penggajian pegawai pabrik, tetapi juga pegawai pemerintah. Lebih parahnya lagi, kapitalisme juga berasas manfaat. Segala sesuatu yang dianggap bermanfaat, pasti akan diambil meski harus menghalalkan segala cara. Oleh sebab itu, jelas mustahil jika kebijakan kenaikan gaji pegawai pemerintah tidak ditetapkan berdasarkan asas manfaat pula. 


Sejatinya, deklarasi netralitas disusun karena realita di lapangan masih banyak praktik yang menjurus kepada penyimpangan. Sistem sekuler hanya akan melahirkan pemimpin yang relate dengan sistem yang cacat dari akarnya karena jauh dari agama (Islam). Demikian juga dengan pemilihnya pasti praktik menyimpang pun banyak terjadi untuk mengeluk-elukkan" pilihannya.  ASN adalah pegawai negara.  Tentu di negara manapun ASN harus tunduk, patuh menjadi abdi  negara. Di sisi lain, pilihan dalam menentukan siapa pemimpin yang ingin dipilihnya tentu menjadi hak sepenuhnya  setiap warga negara, termasuk ASN. Akan tetapi, ASN malah dituntut untuk netral (tak berpihak) pada salah satu partai ataukah harus berpihak pada partai pemenang pemilu disandarkan pada kepentingan. Dua hal yg saling kontradiktif. Intinya, akan sulit terlaksananya netralitas ASN pemerintah untuk tidak memihak pada salah satu pasangan calon.


Dalam sistem Islam, memilih dan mengangkat pemimpin bukan sekadar hak, tetapi kewajiban warga negara muslim, baik ASN atau non ASN. Tidak boleh netral karena netral artinya tidak memilih. Tidak memilih artinya tidak melaksanakan kewajiban. Hanya saja, memilih pemimpin dengan menjunjung tinggi nilai aqidah Islam. Prinsip memilih pemimpin pun dilihat dari sudut pandang Islam, yaitu ketaqwaannya  kepada Allah SWT dan memenuhi syarat in'iqod.

Mengutip buku Politik Ekonomi Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki, ajir (pekerja) adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan gaji, baik pihak musta’jir (pengontrak kerja) itu individu, jemaah, atau negara. Dalam hal ini, ASN termasuk kategori ajir bagi negara. Gaji/upah (ujrah) bagi ajir ini bisa diperoleh ketika dirinya telah mengerahkan tenaganya untuk ditukar. Dalam penentuan besaran ujrah bagi ajir, harus ada standar yang menentukan nilai tenaga yang akan ditukar. Sebagai contoh, jika seorang perajin mengambil upah, maka ia mengambilnya sebanding dengan harta yang ia hasilkan. Namun seorang insinyur, jika ia mengambil upah, maka ia tidak mengambilnya sebanding dengan harta yang ia hasilkan. Sebabnya, ia tidak menghasilkan harta apa pun, tetapi ia mengambil upah sebanding dengan manfaat yang ia berikan kepada musta’jir.

Dengan begitu, sesungguhnya transaksi jual beli berbeda dengan transaksi pengontrakan ajir (ijarah), dan harga berbeda dengan upah. Ini menunjukkan transaksi ijarah tidak dibangun berdasarkan transaksi jual beli, demikian pula sebaliknya. Sebabnya, mendasarkan penentuan salah satu atas selainnya, bisa berdampak pada harga barang/produk menurut upah yang dituntut ajir. Harga produk semestinya diputuskan oleh musta’jir (pemilik barang/produk yang mempekerjakan ajir), bukan oleh ajir (pekerja yang dikontrak untuk memproduksi barang). Jika penentuan harga dicampuradukkan dengan penetapan gaji ajir, maka hal ini bisa menyebabkan kesewenang-wenangan oleh seorang musta’jir kepada ajir. Akibatnya, musta’jir bisa menaikkan maupun menurunkan upah ajir dengan seenaknya atas dalih naik dan turunnya harga produk.

Untuk itu, penentuan upah ajir semestinya berdasarkan nilai manfaat (jasa) pada tenaga yang diusahakannya. Ini karena manfaatlah yang menjadi tempat pertukaran, sedangkan tenaga dicurahkan hanya untuk mendapatkan manfaat. Upah seorang ajir ditentukan berdasarkan kesepakatan antara ajir dan musta’jir, dengan besaran upah yang disebutkan (ajru al-musamma) sehingga keduanya terikat dengan upah tersebut. Jika keduanya tidak sepakat atas suatu besaran upah, maka besaran upah tersebut ditentukan menurut para ahli (khubara’) di pasar umum/bursa terhadap manfaat kerja tersebut (ajru al-mitsl). Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mempekerjakan seorang ajir sampai ia memberitahukan upahnya.” (HR An-Nasa’i). Wallahualam Bishowwab.

Post a Comment

0 Comments