Oleh : Halimah
IMPIANNEWS.COM
Pasukan Israel mengubah “zona kemanusiaan aman” di Jalur Gaza menjadi tumpukan puing-puing dan abu. Per Agustus 2024, entitas Zionis Yahudi hanya menyisakan 9,5% wilayah yang disebut “zona aman” bagi warga sipil yang mengungsi.
Saat invasi darat Israel ke Gaza awal November 2023, pasukan Israel mengusir ratusan ribu warga sipil dari Gaza utara ke Gaza selatan dan mengeklaim area tersebut sebagai “zona kemanusiaan yang aman”.
Awalnya zona tersebut seluas 230 kilometer persegi atau 63% dari total wilayah Gaza, termasuk lahan pertanian dan fasilitas komersial, ekonomi, serta layanan yang tersebar di wilayah seluas 120 kilometer persegi. Namun, ketika serangan militer Israel berlanjut, ukuran zona aman tersebut menyusut drastis. (Antaranews.com , 25/8/2024)
Berkurangnya zona aman yang terus berlangsung itu memperburuk krisis kemanusiaan di Palestina, karena warga sipil memiliki tempat yang lebih kecil untuk melarikan diri kekerasan yang terjadi.
Blokade yang berlangsung menyebabkan kelangkaan pada bahan makanan, air bersih dan obat2an yang disebabkan kehancuran pada sebagian wilayah di Palestina.
Meski krisis di Palestina semakin buruk, tidak ada upaya dari negri muslim untuk membantu melawan zionis yahudi Israel, seperti Arab Saudi, Mesir enggan membuka perbatasannya, apalagi memberi bantuan. Negara arab lainnya malah menormalisasi hubungannya dengan Israel, sedangkan Turki hanya bisa mengecam dan mengutuk tanpa ada langkah yang lebih meyakinkan untuk membantu masyarakat Palestina.
Ini semua menunjukkan bahwa sikap abai negara-negara islam akibat sentimen kebangsaan. Ikatan akidah sesama muslim tidak dikedepankan dalam menyikapi kris kemanusiaan di Palestina. Ide nasionalisme yang sudah mengakar di negri muslim telah menjadi racun politik yang menyebabkan negri muslim tidak berkutik untuk membela saudara muslim di Palestina.
Cinta kekuasaan juga menghalangi para penguasa negeri muslim untuk bersatu atas nama akidah Islam. Meski sebagian negeri muslim mengirimkan bantuan kemanusiaan, mereka melakukan itu semata-mata untuk meredam kemarahan rakyatnya yang kecewa terhadap penguasanya karena tidak pernah mengambil langkah yang kongkrit dalam rangka membantu menggempur zionis Israel.
Padahal rasulullah telah berpesan bahwa " perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal hal saling mencintai, menyayangi dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya). (H.R. Bukhari dan muslim)
Sistem kapitalisme yang di antaranya negri muslim membuat mati rasa, ketidak pedulian mereka menegaskan sikap individualis. Padahal Palestina membutuhkan perkara yang lebih tinggi dari sekedar kepedulian mereka, karena krisis di Palestina adalah genosida.
Lebih dari itu, krisis Palestina tidak hanya berupa krisis kemanusiaan. Krisis Palestina adalah wujud perang ideologi. Di sana terjadi pertarungan antara ideologi kufur kapitalisme dan ideologi sahih, yakni Islam. Israel yang sangat jemawa dengan dukungan negara adidaya AS merasa aman-aman saja meski selalu menjadi sorotan dan kecaman masyarakat internasional.
Demikian pula negeri-negeri muslim yang mengemban ideologi kapitalisme, mereka pun membebek AS dan Barat. Pada akhirnya, mereka gagal menerjemahkan ikatan dengan negeri dan penduduk Palestina sebagai ikatan akidah dan keimanan. Negeri-negeri muslim tetap bergeming tanpa menurunkan bantuan strategis seperti pengiriman pasukan militer.
Parahnya lagi, kepemimpinan dunia berada di tangan negara-negara kapitalis, suara solidaritas dari seluruh penjuru dunia atas Palestina bisa begitu mudah diabaikan. Pada saat yang sama, bantuan berupa perlawanan militer selalu nihil diterjunkan dari negeri-negeri muslim.
Sejatinya, pengiriman militer menjadi solusi praktis yang semestinya dilakukan oleh negara-negara terdekat Palestina, yaitu negara-negara Arab. Bantuan lain yang seharusnya mereka wujudkan adalah membuka perbatasan sehingga arus bantuan logistik bisa dengan mudah disalurkan kepada warga Palestina, baik itu makanan, pakaian, selimut, maupun obat-obatan.
Sayang, ideologi Islam sebagai lawan yang sepadan bagi kapitalisme, baru diemban oleh individu dan belum diemban oleh negara. Berhubung Israel adalah negara kafir harbi fi’lan (negara kafir yang sedang memerangi umat Islam secara riil), maka lawan yang seimbang adalah negara pengemban ideologi Islam, yakni Khilafah.
Dalam menghadapi entitas Zionis Yahudi, Khilafah memiliki kebijakan politik luar negeri berupa dakwah dan jihad. Serangan Israel yang telah menumpahkan darah kaum muslim Palestina, khususnya di Gaza saat ini, membuatnya halal untuk diperangi.
Banyak sekali perundingan maupun resolusi PBB, tidak terkecuali upaya gencatan senjata, yang selama ini dianggap solusi, sungguh tidak akan mampu menghantam kebrutalan dan kebebalan Zionis. Yahudi hanya paham dengan bahasa perang. Ini juga terbukti dalam sejarah bahwa dengan banyaknya Nabi yang membersamai bangsa Yahudi, seharusnya mereka menjadi bangsa yang saleh dan bertakwa. Namun sebaliknya, mereka ingkar, bahkan menjadi kaum yang selalu memusuhi para Nabi.
Atas dasar ini, satu-satunya solusi bagi krisis di Palestina adalah dengan tegaknya Khilafah. Dengan politik luar negerinya, Khilafah akan berperan menjadi perisai bagi kaum muslim. Ini sebagaimana tercantum dalam sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ‘alaih).
Wallahualam bissawab.
0 Comments