TUNTUTAN PENGHAPUSAN JILBAB DI PASKIBRAKA

Oleh: Nabia Husnul

IMPIANNEWS.COM

Diberitakan beberapa waktu lalu, bahwa sebanyak 18 anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) dilaporkan terpaksa melepas jilbab. Ini dilakukan karena mereka harus mematuhi aturan baru terkait seragam untuk mengibarkan bendera yang telah ditandatangani. Padahal, tahun-tahun sebelumnya penggunaan jilbab oleh Paskibraka tak pernah menjadi masalah. Bahkan, 18 anggota masih mengenakan jilbab mereka saat gladi bersih di halaman Ibu Kota Nusantara (IKN). (cnbcindonesia.com, 14/08/2024)

Tudingan terkait penghapusan jilbab dari anggota Paskibraka sontak mengarah kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang kini mengelola Paskibraka dari Kemenpora. Hal ini menyoroti latar belakang Ketua BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, yang memiliki pandangan kontroversial terhadap agama, termasuk pelarangan cadar di kampus dan pernyataan bahwa agama adalah musuh Pancasila.

Yudian kemudian mengklarifikasi bahwa BPIP tidak memaksa untuk melepaskan jilbab, tindakan tersebut adalah keputusan sukarela dalam rangka mematuhi peraturan selama pengukuhan Paskibraka dan upacara bendera. Di luar acara tersebut, Paskibraka putri bebas mengenakan jilbab. Meskipun ada indikasi kemungkinan dikembalikannya kebolehan berkerudung, kasus ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi, kebebasan beragama sering kali hanya sebatas kebebasan untuk memilih, bukan jaminan untuk melaksanakan kewajiban agama.

Dalam hal menutup aurat, ulama sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib, meskipun terdapat perbedaan dalam batasan aurat seperti tangan, kaki, dan wajah. Namun, mengenai kewajiban menutup kepala dengan kerudung atau hijab, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini sesuai dengan QS An-Nuur: 31 "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." 

Lantas mengapa Yudian, yang notabene memiliki latar belakang keilmuan berbasis agama, mengeluarkan kebijakan kontroversial ini? Mungkin ia beranggapan bahwa mengenakan kerudung tidak wajib karena beberapa tokoh Islam moderat liberal seperti Siti Musdah Mulia, Sumanto Al Qurtuby, dan lain-lain, berpendapat demikian. Mereka berargumen bahwa berkerudung tidak wajib karena ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hal ini.

Namun, orang yang memiliki niat buruk sering mencari pendapat yang paling mudah dari ulama untuk membenarkan keinginan mereka, bahkan terkadang dari sumber yang tidak ahli. Sulaiman at-Taimi mengingatkan kita, “Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172).

Dengan demikian, pernyataan Yudian bahwa anggota Paskibraka yang berhijab hanya akan melepas hijabnya selama bertugas, seperti saat pengukuhan dan pelaksanaan upacara 17 Agustus, sebenarnya sama saja dengan mendorong mereka untuk melakukan dosa. Hal ini berarti mereka harus meninggalkan hukum syara yang mereka yakini sebagai kewajiban. Meskipun hanya untuk sehari atau dua hari, tetap saja itu dianggap sebagai dosa.

Islam melarang keras untuk menaati perintah yang mengajak pada maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang haram. Rasulullah saw. bersabda, “Wajib atas muslim mendengar dan menaati (pemimpinnya), pada apa-apa yang ia senangi atau yang ia benci, selama ia tidak diperintahkan melakukan maksiat. Jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan menaati (pemimpin).” (HR Al-Bukhari, 1744; Muslim, 1839; Abu Dawud, 2626; Tirmidzi, 1707; An-Nasa`I, 7/160; Ibnu Majah, 2864. Hadits sahih).

Oleh karena itu, jelas bahwa menanggalkan kerudung saat menjadi Paskibraka adalah perbuatan haram. Mengikuti perintah atau aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam juga haram. 

Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

0 Comments