Oleh : Rizka Meilina
IMPIANNEWS.COM
Menyeruaknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa akhir-akhir ini menunjukkan buramnya sistem pendidikan di Nusantara dibawah asuhan sekulerisme. Baru-baru ini, seorang mahasiswa PPDS Anestesi Undip bunuh diri karena diduga tidak kuat atas perilaku bullying yang ia alami. Adapun deretan kasus bunuh diri bukan hanya terjadi pada tahun ini saja. Berikut rangkuman kasus bunuh diri yang terjadi pada mahasiswa sepanjang 2023—2024. Agustus 2023, mahasiswa berinisial MFSP Fakultas Hukum Undip meninggal dengan cara gantung diri di pojok Lapangan Tembak Kodam IV Diponegoro, Semarang. Bulan September 2023, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM) bunuh diri dengan melompat dari lantai enam gedung parkir kampus. Pada Oktober 2023, dua kasus bunuh diri mahasiswa terjadi di dua kampus yang berbeda. Salah satunya bunuh diri lantaran terjerat utang pinjol. Satu lagi seorang mahasiswi berinisial NJW Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang melompat dari lantai empat Mall Paragon, Jalan Pemuda, Kota Semarang. Dan pada Agustus 2024, dua mahasiswa nekat bunuh diri berasal dari dua kampus berbeda. Satu mahasiswa baru IPB, satunya lagi dari UGM. Di IPB, sejak 2015, setidaknya ada lima kasus mahasiswa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, terdapat 971 insiden bunuh diri di Indonesia sepanjang Januari hingga 18 Oktober 2023. Jumlah tersebut melebihi angka bunuh diri sepanjang 2022 yang mencapai 900 kasus. Bukan tidak mungkin angka ini akan terus meningkat seiring bertambahnya pemberitaan kasus bunuh diri mahasiswa.
Banyaknya Kasus bunuh diri pada mahasiswa, juga berbagai persoalan yang menimpa mahasiswa menggambarkan kompleksnya persoalan yang dihadapi. Kasus bunuh diri mahasiswa seperti fenomena gunung es. Angka bunuh diri yang tidak terlaporkan bisa jadi lebih banyak, mengingat banyak korban bunuh diri tidak diautopsi atas permintaan keluarga sehingga penyebab pasti kematian hanya berdasarkan analisis kejadian. Di sisi lain, kampus cenderung menutupi kasus bunuh diri pada mahasiswanya dengan dalih aib atau menjaga perasaan keluarga.Meningkatnya kasus bunuh diri di lingkungan kampus memang harus mendapat perhatian serius. Fenomena sosial yang tragis lagi miris ini dipengaruhi banyak faktor. Apalagi kasus ini menimpa orang-orang terpelajar. Mengutip laman Kompas (21-11-2023), pakar Psikologi Unair Dr. Nur Ainy Fardana menyebut ada lima faktor yang membuat mahasiswa bunuh diri, seperti masalah kesehatan mental, tekanan dan tuntutan tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian karena tidak adanya dukungan sosial, masalah finansial yang serius, dan perasaan traumatis atau mengalami pelecehan. Lima faktor tersebut sejatinya merupakan masalah kompleks yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme.
Masalah kesehatan mental. Di antara masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa antara lain depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, insomnia, dan kurangnya bersosialisasi. Banyaknya gangguan kesehatan mental sejatinya tidak bisa dilepaskan dari paradigma kehidupan yang dimiliki generasi muda (mahasiswa). Sistem kehidupan sekuler telah mereduksi pandangan hakiki manusia sebagai hamba Allah Taala, di antaranya dari mana ia berasal, untuk apa ia diciptakan, dan akan ke mana setelah kematian. Dalam pandangan kapitalisme sekuler, tujuan hidup manusia sekadar meraih sebanyak-banyaknya materi dan kesenangan dunia sehingga ketika hal itu tidak tercapai, ia merasa gagal dan mudah menyerah dalam hidup. Di sinilah munculnya gangguan cemas, stres, depresi, dan sejenisnya yang memicu seseorang berniat bunuh diri. Tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga. Beban akademik yang banyak kerap menjadi pemicunya. Sebagai contoh, kasus bunuh diri mahasiswa PPDS Undip diduga lantaran ia tidak sanggup mendapat beban kerja dan tugas berlebih, ditambah dengan dugaan bullying senior ke junior. Selain itu, tuntutan dan harapan orang tua kepada anak yang terlalu ambisius juga mendorong keluarga memaksakan kehendak dan mengharuskan anak memperoleh prestasi akademik yang bagus. Alhasil, rasa takut mengecewakan keluarga mendominasi dalam dirinya yang membuatnya tertekan dan merasa terbebani. Seiring laju digitalisasi, generasi muda, terutama mahasiswa, cenderung banyak berinteraksi dengan dunia digital atau dunia maya. Kesibukan dan keasyikan mereka di dunia maya memicu interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar berkurang. Apalagi kehadiran media sosial seakan menjadi obat bagi mereka yang kesepian dan tidak memiliki dukungan sosial. Jadilah generasi muda kita menjadi generasi yang jiwa sosialnya terisolasi dengan mencukupkan diri dalam pertemanan dunia maya. Masalah finansial yang serius. Masalah ekonomi kerap menjadi pemicu seseorang bunuh diri. Sistem sekuler kapitalisme telah menjadikan segala aspek menjadi tujuan bisnis, seperti biaya UKT mahal mendorong mahasiswa nekat melakukan pinjol, judol, atau tindak kriminal. Sudah banyak kasus bunuh diri karena pinjol dan judol, tetapi negara hanya menindak sekenanya dan belum serius memberantas perjudian dan pinjol yang meresahkan. Lebih parah lagi, Menko PMK Muhadjir Effendy malah mendukung mahasiswa memanfaatkan pinjol untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) jika kesulitan ekonomi, selama pinjol yang digunakan resmi dan tidak merugikan. Peristiwa traumatis akibat kehilangan orang terdekat atau mengalami pelecehan. Kita tentu masih mengingat kasus bunuh diri NW, seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang yang meninggal di samping makam ayahnya setelah menenggak minuman bercampur potasium. Diketahui motif bunuh diri yang ia lakukan lantaran depresi karena dipaksa melakukan aborsi oleh sang pacar. Ini membuktikan sistem sekuler menciptakan kehidupan serba bebas pada generasi muda. Pacaran hingga zina membudaya, lalu muncul masalah gangguan mental, dan ujungnya bunuh diri menjadi solusi keluar dari masalah.
Dari lima faktor di atas, tampak bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal membentuk kepribadian generasi muda yang memiliki keimanan kuat, mental yang sehat, serta visi hidup yang jelas. Sistem pendidikan sekuler pada dasarnya memang tidak diformat menghasilkan output pendidikan yang memiliki karakter mulia. Dasar akidahnya saja menjauhkan seorang hamba dari aturan Allah. Bagaimana mungkin akan terbentuk generasi beriman dan berkepribadian Islam, sedangkan kurikulumnya tidak merujuk pada visi penciptaan manusia, yaitu sebagai hamba yang taat pada Tuhannya?. Sistem pendidikan sekuler juga menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak manusiawi. Semisal bullying atau rasa superioritas senior terhadap junior akan tetap menjadi borok dalam pendidikan sekuler. Pasalnya, sistem sekuler kapitalisme membentuk kesenjangan nyata yang memicu aksi bullying. Yang kaya menindas yang miskin. Yang pintar menghina yang lambat menerima pelajaran atau pengetahuan. Di sisi lain, tujuan pendidikan hanya berkutat pada target menjadi lulusan berprestasi yang sifatnya materi dan mengejar kesenangan duniawi. Bukan untuk menuntut ilmu dan menjadi manusia beradab serta berakhlak mulia.
Kondisi ini jauh berbeda tatkala sistem Islam diterapkan. Penerapan sistem Islam kaffah mewujudkan generasi berkepribadian Islam, cendekiawan yang cerdas, dan berperadaban mulia. Pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan dikaitkan dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan setelahnya, serta kaitan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya akidah Islam. Asas ini menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan, dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan. Semua ini berjalan dengan baik karena peran besar negara dalam mengatur setiap aspek kehidupan agar sesuai dengan asas pendidikan tersebut, yaitu berbasis akidah Islam. Dalam mendukung sistem pendidikan ini, negara melakukan berbagai kebijakan berbasis syariat Islam, di antaranya dengan menerapkan politik ekonomi Islam, negara menetapkan Kebijakan pendidikan gratis untuk semua peserta didik, dan yang terakhir negara melakukan pembinaan Islam secara komunal.Suasana iman akan lebih terasa dalam kehidupan masyarakat karena negara membangun sistem pergaulan yang berlandaskan Islam. Pintu-pintu maksiat akan ditutup rapat. Negara menerapkan sanksi yang membuat jera para pelaku maksiat. Dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh, generasi muda akan terselamatkan dari sekularisme yang merusak sendi-sendi kehidupan. Wallohualam bishowab.
0 Comments