Oleh : Yani Maryani
IMPIANNEWS.COM
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Tak hanya kerugian ekonomi, Menurut dia, banyak makanan yang terbuang ini juga menciptakan sampah yang menumpuk. Mengutip dari United Nations Environment Programme (UNEP, 2021), Indonesia berada di peringkat keempat sebagai negara dengan pencetak sampah makanan terbesar di dunia. Melalui laporan UNEP, Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan per tahun.
Sementara itu, untuk mencegah potensi ekonomi yang hilang akibat susut dan sisa pangan, Bappenas telah meluncurkan peta jalan (roadmap) Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan, dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Makanan yang terbuang tersebut bahkan cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk.
Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup dengan penyelesaian pada aspek hilir seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, kita juga harus memperhatikan aspek hulu, yaitu penyebab banyaknya sampah makanan. Jika penyebab banyaknya sampah makanan ini tidak dihentikan, maka sampahnya juga akan terus diproduksi.
Melimpahnya sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Kapitalisme meniscayakan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar. Inovasi varian produk baru juga terus dilakukan, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar.
Seiring berjalannya waktu, produk yang tidak laku terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran. Lantas, produk makanan kadaluwarsa itu diapakan? Umumnya dimusnahkan alias dibuang. Ini sungguh suatu pemandangan yang menyedihkan, ketika di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, di tempat lain banyak anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi.
Ekonom kapitalis Adam Smith menyatakan bahwa sifat konsumerisme manusia memiliki sisi positif. Gaya hidup ini dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Inilah sebab, masyarakat kapitalistik sulit memilah yang mana kebutuhan, dan mana keinginan karena dalam pandangan kapitalisme, apa pun yang manusia butuh harus dipenuhi tanpa kecuali. Jika prinsip tersebut kita tarik dalam realitas peningkatan volume sampah makanan, konsumerisme yang kian menggejala jelas berdampak langsung pada membludaknya sampah makanan.
Allah SWT memerintahkan kita untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya. Karena dalam Islam makanan sebagai rezeki dari Allah SWT bagi manusia. Berkat adanya makanan, manusia bisa hidup dan beraktivitas dengan baik. Makanan juga penting untuk tumbuh kembang manusia dari janin hingga menjadi dewasa
Seorang muslim hendaknya senantiasa meyakini bahwa makanan yang ia miliki akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan.
Dalam syariat Islam terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kaafah melalui tegaknya Khilafah. Khilafah akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan sehingga zuhud menjadi gaya hidup masyarakat. Masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan. Wallohualam bishowab.
0 Comments