(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Komunitas peduli generasi)
Nabi SAW bersabda: “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya (HR. Muttafaq alayh).
Warga Melayu di Rempang menjerit pilu. Lahan yang sudah mereka tempati sejak turun-temurun tanpa mereka ketahui, ternyata kepemilikannya sudah berpindah tangan. Kini mereka dihadapkan pada kebijakan penggusuran. Di atas tanah mereka akan dibangun Rempang Eco City. Di Kepulauan Rempang akan dibangun juga industri silika dan solar panel milik perusahaan China.
Meski Pulau Rempang batal dikosongkan pada kamis (28/9) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada. Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. (BBC News Indonesia, 28 September 2023).
Anggota Ombudsman Johanes Widijantoro menyampaikan beberapa temuan yang berkaitan dengan konflik lahan rempang. _Pertama,_ sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama BP Batam belum diterbitkan. _Kedua,_ belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran baik itu terkait pemberian kompensasi dan program secara keseluruhan. _Ketiga,_ Pemkot Batam belum menetapkan batas seluruh perkampungan tua di Batam. _Keempat,_ keluhan warga atas hadirnya kepolisian saat sosialisasi. Hal ini berdampak kepada tekanan psikis dan rasa khawatir warga. (Harianjogja.com, 29 september 2023).
*Sengketa lahan,* *merugikan warga*
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi ada 2.710 konflik agraria di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus Rempang Eco City sudah ditangani secara baik. Karena pemerintah sudah berpengalaman menyelesaikan konflik lahan. Padahal, kenyataan yang dirasakan warga Melayu Rempang masih merasa cemas dan waspada, karena ketidakpastian nasib lahan mereka. Tindakan tidak humanis dari aparat yang bertugas mengusir warga sangat berdampak terhadap trauma yang mereka alami. Selain itu, relokasi yang dijanjikan oleh pihak pengelola belum mendapatkan kejelasan secara hukum. Pemerintah lebih cenderung mengikuti programnya investor, meskipun rakyat yang menjadi korbannya.
Proyek Rempang Eco City masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi sebesar Rp 172 triliun. Pemegang hak ekslusif untuk mengelolanya adalah PT Makmur Elok Graha (PT MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha yang dimiliki Tomy Winata. Bekerjasama dengan Perusahaan kaca dan panel surya asal China, Xinyi Group. Perseroan tersebut mendapatkan sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 hektar selama 80 tahun dari Otoritas Batam dan Pemerintah Kota Batam. Sesuai rencana pembangunan yang dirancang PT MEG, Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata. Hal ini diharapkan bisa memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi Kota Batam khususnya, dan Indonesia umumnya.
*Kepentingan Korporat*
Sengketa lahan Pulau Rempang, menjadi ujian bagi kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini. Siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam kasus seperti ini. Permasalahan lahan atau agraria di Indonesia umumnya menghadapkan masyarakat setempat dengan kekuatan modal (korporat) dan atau instrumen negara. Bermula dari kebijakan monopoli kepemilikan oleh negara. Selanjutnya negara mengkomersialisasikan lahan tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Kompleksnya faktor pemicu permasalahan lahan, mulai dari aspek regulasi, pendataan, hingga kapitalisme menjadikan konflik pertanahan tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menyelesaikannya, membutuhkan sistem dan mekanisme yang sistematis.
*Syariah Islam, sistem penyelesaian masalah lahan yang adil*
Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan yang sempurna memiliki sistem dan mekanisme sistematis untuk menyelesaikan permasalahan lahan secara tuntas. Dalam hal regulasi Syariat Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan Negara Khilafah membagikan kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah SAW, misalnya pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al Harits Al Mazani. Syariat Islam juga menetapkan warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati.
Lahan yang sudah dimiliki warga hendaknya dikelola dengan baik agar tanah tersebut produktif. Jika terbukti pemilik lahan menelantarkan tanah yang dimilikinya selama tiga tahun. Maka, Negara Khilafah berhak mengambil kepemilikan tanah yang ditelantarkan tersebut dan diberikan kepada warga yang mampu mengelolanya. Sebagaimana contoh yang dilakukan Khalifah Umar ra. Pernah mengambil kembali lahan milik Bilal Al Harits al Mazani yang tidak sanggup dia kelola. Kepemilikan lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh negara sekalipun. Keabsahan kepemilikan lahan tidak sekedar selembar sertifikat, melainkan berupa tindakan pengelolaan. Sehingga pengelolaan lahan secara turun-temurun akan terhindar dari perampasan lahan secara zalim. Inilah gambaran sistem dan mekanisme Syariat islam dalam kepemilikan lahan yang memberikan keadilan bagi para pemilik lahan.
Penggusuran lahan warga Melayu Rempang oleh pihak BP Batam, merupakan tindakan kezaliman yang akan diberikan sanksi oleh Allah SWT di akhirat kelak. Penerapan sistem kapitalisme sekuler menambah kesempitan hidup yang dirasakan oleh rakyat. Kita perlu menyadari sistem alternatif yang mampu meyelesaikan permasalahan lahan secara tuntas dalam Syariat Islam.
0 Comments