Pengesahan RUU KUHP menjadi KUHP menuai kegelisahan di tengah masyarakat. Sepertinya kritik dan saran dari rakyat akan terbungkam. Banyak pasal yang jadi topik perbincangan. Apalagi standar demokrasi yang digunakan lebih mengandalkan suara mayoritas di dewan.
Dikutip dari bphn.go.id pada Selasa (06/12/2022), Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP. (bphn.go.id, 06/12/2022)
Dikutip dari sumber yang sama, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini adalah momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk kolonial Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.
Namun demikian terdapat sejumlah materi yang menjadi sorotan publik. KUHP dinilai memuat pasal-pasal yang bermasalah. Pasal pengaturan unjuk rasa yang berpotensi menggerus hak konstitusional warga dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum. Pasal lain yakni larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila, tidak ada penjelasan rinci frasa tersebut sehingga dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi. Pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini pun berpotensi menjadi pasal karet, dan menjadi pasal antidemokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata ‘penghinaan'.
Selain substansi yang bermasalah, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, proses pembentukan dan pembahasan cacat formil karena tidak memenuhi syarat partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Hal ini disebabkan rapat paripurna pengambilan keputusan RUU KUHP hanya melibatkan 290 dari 575 anggota Dewan. Tercatat, sebanyak 18 anggota Dewan hadir secara fisik dan 108 anggota secara virtual serta izin sebanyak 164 anggota. (detik.com, 07/12/2022)
Pengesahan suatu perundang-undangan seharusnya dapat mewujudkan tujuan hukum. Gustav Radbruch mengungkapkan teori tujuan hukum berorientasi pada tiga hal, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kepastian artinya hukum berlaku dengan pasti dan ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu. Keadilan yaitu suatu kondisi dimana kasus yang sama diperlakukan secara sama.
Kemanfaatan diartikan memiliki manfaat dan kebahagiaan bagi orang banyak. Merujuk pada teori tujuan hukum tersebut semestinya KUHP yang baru diharapkan tidak menjadi alat penguasa untuk 'mengamankan' kepentingannya.
Apabila ditelisik, hukum dalam sistem demokrasi dapat menjadi alat kekuasaan untuk menjajah dan menindas. Dengan kata lain hukum bersifat refresif. Hukum refresif menyebabkan tujuan hukum tidak tercapai.Kenyataan ini menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem hukum demokrasi. Hal tersebut terjadi karena hukum dalam sistem demokrasi sekuler dibuat oleh manusia. Karenanya hukum akan sangat subyektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya. Subyektivitas dan konflik kepentingan tidak dapat dilepaskan ketika manusia diberikan hak sebagai legislator.
Merujuk pandangan Philipe Nonet dan Selznick hukum yang represif terjadi dalam rezim yang represif, yakni rezim yang menempatkan segala tindakannya dengan tujuan merawat kepentingan kekuasaan. Hukum represif ditujukan untuk melanggengkan keadilan kelas, terutama kelas yang berkuasa.
Berbeda halnya dengan sistem hukum Islam. Dikutip dari alwaie.id, legislasi sistem hukum Islam berpijak pada hal - hal berikut ini :
Pertama, hukum dalam Islam asasnya akidah Islam, artinya hukum berasal dari Sang Khaliq, Allah Swt. Karena berasal dari Allah Yang Mahasempurna dan Mahaadil, maka hukum yang diturunkan pun akan mengandung kesempurnaan, kebaikan dan keadilan untuk seluruh umat manusia, tanpa kecuali.
Kedua, hukum dalam Islam memiliki kejelasan sumber hukum. Sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Qur'an, as-Sunnah, ijmak sahabat dan qiyas syar’i. Adanya kejelasan sumber hukumnya, maka akan terhindar dari perselisihan, karena rujukannya jelas dan baku, yakni wahyu Allah Swt.
Ketiga, kejelasan pengertian kejahatan (jarimah) dan sanksinya. Sistem hukum Islam mampu mendeskripsikan perbuatan yang termasuk kejahatan dan sanksinya. Hal inilah yang tidak dimiliki sistem hukum sekular. Kejahatan (jarimah) dalam hukum Islam didefinisikan setiap perbuatan yang melanggar ketentuan hukum syariah sehingga berimplikasi dosa dan layak mendapatkan sanksi hukum (‘uqubat).
Keempat, hukum dalam Islam tidak bisa diintervensi. Ini keunggulan sistem hukum Islam, yakni siapapun tidak bisa mengintervensi hukum. Karena hukum berasal dari Allah Swt. tidak mungkin seorang pun bisa dan boleh mengotak-atik dan memanipulasi hukum. Karena di dalam Islam, jelas sumber hukumnya. Jelas perbuatan apa saja yang merupakan pelanggaran hukum syariah.
Dengan demikian kita bisa menilai mengapa keriuhan dalam pengesahan KUHP dapat terjadi. Dan tentunya kita berharap negeri ini hidup dalam keberkahan. Hanya hukum Islamlah yang membawa keberkahan. Sebab, Allah Swt. berjanji dalam Surat al-A’raf ayat 96 akan membuka berkah dari langit dan bumi kepada negeri yang penduduknya mau beriman dan bertakwa. Wallahualam bisawab.
0 Comments