Oleh: Restu Febriani
IMPIANNEWS.COM
Opini - Dilansir dari laman resmi kepresidenan, Presiden Jokowi resmi menyampaikan penyesuaian harga BBM karena subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran. “Harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian,” katanya di Istana Negara, Sabtu (03/09/2022).
Namun begitu, presiden jokowi meyakini bila ada beberapa BLT yang tak sampai target. Sebab jumlah BLT yang dibagikan sangat banyak. "Ya ini kan yang kita bagikan ini 20 juta 600 ribu, jumlah seperti itu enggak mungkin lah kita 100 persen benar," katanya usai menyerahkan BLT BBM di Lampung. (Merdeka.com, 03/09/2022)
Tepat Sasaran?
Pemerintah berdalih mengalihkan subsidi agar tepat sasaran. Konon katanya lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh golongan masyarakat yang mampu. Padahal itu semua hanya alibi pemerintah untuk mencabut subsidi BBM. Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Disusul, harga Solar subsidi dikerek menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter. Sementara itu, harga Pertamax non subsidi juga naik, dari Rp 12.500 per liter menjadi 14.500 per liter.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menyebut kebijakan ini tidak tepat dan salah sasaran. "Ini seperti targetnya menyembuhkan batuk, tapi yang diobati panu. Ini kan salah sasaran, dan kebijakan mencari gampangnya saja,” ucapnya kepada BBC News Indonesia, Senin (05/09/2022).
Kebijakan ini tidak ubahnya racun kecut lagi pahit yang menambah derita rakyat. Tentu saja, kelompok masyarakat miskin yang paling merasakan kenaikan BBM. Karena kenaikan harga BBM dipastikan menimbulkan efek domino diberbagai sektor. Terlebih lagi, harga produk yang terdampak kenaikan BBM akan tetap dibebankan pada konsumen kaya ataupun miskin. Bagaimanapun, rasio jumlah penduduk tidak dapat didustakan, penduduk miskin tetap jauh lebih banyak daripada penduduk kaya.
Pengalihan Subsidi Bukan Solusi
Pengalihan subsidi melalui bantuan sosial langsung hanyalah penawar racun sesaat. Faktanya, jumlah dana yang diperoleh dari kenaikan harga BBM jauh lebih besar dari bansos yang direncanakan akan dibagi. Belum lagi pembagiannya yang hanya bersifat temporer dan seringkali tidak tepat sasaran.
Efek domino kenaikan BBM pun tidak bisa diatasi dengan adanya bansos yang jumlahnya kecil dan cakupan penerimanya sangat terbatas. Karena seharusnya, kenaikan harga BBM akan menghasilkan tambahan dana yg seandainya dibagi ke rakyat miskin akan mendapatkan 1.5 juta rupiah/bulan/orang.
Tipu-tipu Rezim Kapitalis
Pengalihan Subsidi BBM untuk menekan beban APBN, tak ubahnya tipu-tipu rezim kapitalisme yang mengalihkan tanggung jawab kesejahteraan rakyat dan melakukan liberalisasi sempurna terhadap sektor migas.
Doktrin ideologi kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar, minim campur tangan negara. Dalam hal ini akan mengakibatkan munculnya liberalisasi ekonomi dalam sektor migas. Rakyat dipaksa untuk berjuang sendiri.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang menekankan bahwa rakyat adalah amanah yang harus diurus dan disejahterakan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Penguasa dalam Islam wajib sekuat tenaga memenuhi keburuhan rakyat dan haram menelantarkan mereka. Islam juga melarang penguasaan sumber daya alam oleh swasta asing maupun lokal seperti air, migas, dan minerba yang menyebabkan rakyat hanya mendapatkan keuntungan sedikit dan harus membayar mahal untuk mendapatkan semua itu.
Wallahu'alam bisshowab
0 Comments