Baru-baru ini dunia maya dihebohkan dengan berita bocornya data registrasi kartu seluler prabayar. Data ini disebut-sebut diperjualbelikan di internet.
Dikutip dari Detik.com pada Jum'at (2/9), Ketua Komisi 1 DPR RI Meutya Hafid mengungkapkan pemerintah dalam hal ini Kementrian Kominfo perlu menjelaskan secara terbuka mengenai informasi kebocoran data tersebut. Dia juga mengimbau Kominfo memberitahu pemilik data bocor tersebut agar tidak terjadi kepanikan. (Detik.com, 2/9/2022).
Melalui keterangan resmi, Kominfo mengaku telah melakukan penelusuran internet, terkait dengan bocornya sekitar 1,3 miliar data yang mencakup Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor telepon, nama penyedia atau provider, hingga tanggal pendaftaran kartu SIM.
Padahal beredar informasi tentang Bjorka sosok ("hacker bertopeng"). Yang berhasil meretas data pribadi beberapa pejabat negara.Terlebih sang hacker mengaku bisa melakukan banyak hal termasuk membongkar pelaku kasus kriminal, bahkan ia mengklaim telah berhasil meretas surat-surat yang dikirimkan pada presiden Jokowi dan meretas dokumen rahasia dari BIN.
Bahkan pada realitanya kebocoran data sebenarnya tidak terjadi kali ini saja tetapi menyangkut data pribadi masyarakat, lembaga pemerintahan, maupun Badan Usaha Milik Negara. Beberapa kasus kebocoran besar yang pernah terjadi antara lain kebocoran data pelanggan Tokopedia, kebocoran data lebih dari 200 juta pengguna wattpad, 17 juta pelanggan PLN, dan 26 juta data pelanggan internet IndiHome.
Kominfo menelusuri bahwa Bjorka menjual data sebesar 87 GB itu dengan harga 50.000 dollar AS atau setara dengan Rp743 juta.
Bjorka menyebutkan, data yang didapatkannya merupakan hasil dari kebijakan Kominfo yang mewajibkan semua pengguna kartu SIM prabayar untuk mendaftarkan nomor teleponnya sejak Oktober 2017. Sebagaimana diketahui, dalam proses pendaftaran, masyarakat perlu menyertakan NIK dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Kenapa ini bisa terjadi?
Alasannya adalah bahwa sistem kapitalis bisa mencetak manusia yang haus akan materi, dan menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan.
Mereka bisa saja menghalalkan berbagai cara untuk bisa meraup uang dengan sebanyak-banyaknya. Tak peduli meskipun itu merugikan berbagai pihak. Maka tak heran kasus kebocoran data untuk kepentingan politik dan bisnis bisa saja terjadi. Karena semua pihak mementingkan kepuasan pribadi, kelompok atau lembaganya. Mereka tidak melihat lagi standar yang benar dalam menilai suatu perbuatan.
Sungguh sangatlah miris ketika rakyat mengharapkan pemerintah menjadi perisai dan pelindung. Tapi justru mereka gagal untuk menjaga data pribadi rakyat. Padahal kebocoran data ini sudah pasti disalahgunakan oleh pihak yang berkepentingan.
Ini sekali lagi menunjukan bahwa kebijakan penguasa tidak memiliki kesiapan yang matang. Pasalnya ketika pemerintah menetapkan bahwa pendaftaran SIM Card wajib memasukan NIK dan KK, pemerintah seharusnya menyiapkan serangkaian sistem penjaganya.
Nyatanya tidak ada sama sekali. Alhasil, data pribadi rakyat tergadaikan.
Namun inilah watak pemimpin dalam sistem Demokrasi. Negara abai terhadap pengurusan urusan rakyatnya. Tak ayal jika masyarakat berpandangan bahwa pejabat negara bertindak amatir dalam urusan rakyatnya, termasuk dalam memberi jaminan penjagaan data pribadi.
Betapa tidak, selama ini penguasa alih-alih berupaya dengan berbagai cara untuk memperkuat pertahanan digital demi menjaga wibawa negara sekaligus menjaga warganya. Penguasa justru sibuk mengurus hal-hal yang kontradiktif dengan upaya-upaya menyelidiki hubungan dengan rakyatnya. Terkait keamanan digital misalnya, pihak stakeholder justru fokus ke arah proyek penanggulangan isu radikalisme di dunia maya.
Oleh karena itu, umat seharusnya segera kembali kepada sistem Islam yang berasal dari Pencipta. Yakni Allah SWT yang menjamin keberkahan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebab negara dalam Islam benar-benar bertindak sebagai pemegang sejati kepemimpinan. Sebagai pengurus sekaligus pelindung dari semua hal yang membahayakan rakyatnya.
Negara akan melakukan apapun yang halal demi memastikan fungsi kepemimpinannya berjalan sempurna. Keamanan atas pertanggungjawaban di akhirat benar-benar begitu melekat hingga para pejabat pun bertindak hati-hati agar tidak melanggar syariat dan tidak mengkhianati semua amanah yang ada di pundak.
Hal ini sejalan dengan penerapan syariat Islam kafah yang akan menutup celah kelemahan di semua bidang kehidupan.
Sebab Islam bukan hanya agama ruhiah tetapi Islam adalah ideologi yang dibawa oleh Rasullullah saw. di muka bumi ini. Kemudian penerapan sistem Islam dilanjutkan oleh kaum muslimin selama kurang lebih 13 abad lamanya.
Dalam bentuk negara yang bertanggung jawab melahirkan "rahmatan Lil 'alamin". Hal tersebut menjelaskan bahwa seorang kepala negara adalah sebagai pengatur atau ra'i dan perisai/pelindung/junnah bagi seluruh rakyatnya baik muslim maupun non muslim.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya al-imam (Khalifah) itu (laksana) perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya). Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah 'Azza wa jalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain).
Imam (Khalifah/penguasa) dengan segala kekuatan akan mencegah musuh dari perbuatan yang mencelakai kaum muslimin. Dan mencegah sesama manusia melakukan kezaliman, memelihara kemurnian ajaran Islam. Rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya. Termasuk melindungi rakyatnya dari data pribadi yang tidak boleh disalahgunakan, hingga memberi sanksi kepada pihak-pihak yang telah membocorkan dan memperjualbelikan data pribadi.
Mudah bagi negara menutup segala akses informasi yang merusak. Tanpa mempertimbangkan kerugian materi yang bisa dibayar tinggi oleh pihak-pihak kapital.
Karena keberadaan kepala negara adalah pengatur dan pelindung rakyatnya dengan menerapkan aturan yang telah Allah SWT turunkan di dalam Al Qur'an dan As-sunah.
Negara membutuhkan infrastruktur dan instrumen yang menunjang pelaksanaan keamanan data pribadi setiap warga. Ditambah dukungan SDM yang mumpuni seperti para ahli dan pakar di bidang teknologi informasi.
Perlindungan privasi tidak boleh bersifat reaktif, artinya negara hanya fokus kepada antisipasi dan pencegahan. Bukan bergerak ketika muncul masalah.
Negara memberikan sistem keamanan total, artinya seluruh lembaga informasi harus bersinergi dengan baik. Yakni melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan jelas, aturan tidak tumpang tindih atau bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dengan infrastruktur, instrumen hukum, serta tata kelola yang terintegrasi dengan baik, keamanan data pribadi warga negara terjamin. Inilah tugas negara sesungguhnya, yang hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan aturan Islam kafah, Khilafah Islamiyyah.
Wallahu'alam bishawab
0 Comments