Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam
Prihatin, itulah ungkapan yang tepat untuk mencermati kondisi saat ini. Kondisi yang sulit, membuat rakyat dan bangsa ini makin terhimpit dan menjerit. Ironi, pada saat rakyat sedang kelabakan memperjuangkan kehidupannya untuk mengatasi dampak domino kenaikan BBM, para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat (DPR) sibuk mencari pasangan kontestasi. Mereka berburu kursi di pesta demokrasi pada tahun 2024. Benarkah mereka berjuang atas nama rakyat dan untuk rakyat?
Meskipun pilpres masih jauh, tetapi sejumlah nama bakal calon presiden (capres) sudah bermunculan, hal ini menunjukkan betapa ambisiusnya mereka.
Berdasarkan survei versi Poltraching Indonesia, diperoleh nama-nama capres dan elektabilitas yang berpotensi menjadi Capres 2024, dengan urutan elektabilitas tertinggi adalah Ganjar Pranowo 22,9 %.
Prabowo Subianto 22,5 %. Anies Baswedan 16,8 %. Agus Harimurti Yudhoyono 3,6 %. Urutan seterusnya Ridwan Kamil, Erick Thohir, Sandiaga Salahuddin Uno, Khofifah Indar Parawansa, Airlangga Hartarto, dan Puan Maharani menempati posisi kesepuluh dengan elektabilitas terendah1,2 %.(Kompas.com, 12/6/2022)
Selanjutnya masing-masing capres dan partai pengusung capres aktif menjalin koalisi yang dipandang menguntungkan agar dapat mengerek suara. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan capresnya Puan Maharani yang saat ini menjabat Ketua DPR RI, pada Minggu 4/9/2022, berkunjung ke Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Keduanya menyatakan akan terus membangun komunikasi politik, tidak lain untuk kepentingan rakyat dan demi kemajuan Indonesia. Benarkah? Faktanya justru kebalikannya.
Padahal, sebelumnya Ketum Gerindra Prabowo Subianto sudah mendeklarasikan koalisi dengan Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Mereka ingin berjuang bersama untuk memenangkan Pilpres 2024.(Tribunnews, 13/8/2022)
Sementara, Anies Bawesdan dan Ridwan Kamil sibuk mencari kendaraan politik. Demikian pula dengan Ganjar Pranowo, meskipun menjadi anggota PDI-P dan elektabilitasnya tertinggi, tapi posisinya terdepak oleh putri mahkota Puan Maharani yang elektabilitasnya terendah. Tidak heran, apapun bisa terjadi.
Di sisi lain, ada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang terdiri dari Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Partai Amanat Indonesia (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharto Monarfa, menggelar pertemuan di Surabaya (14/8/2022). KIB sedang mengidentifikasi dan menginventarisir nama-nama kandidat capres dan wapres di Pilpres 2024.
Kemungkinan masih ada koalisi lagi, misalnya Nasdem, Demokrat, dan PKS. Inilah wacana persiapan menjelang Pemilu 2024 membutuhkan persiapan yang menguras seluruh perhatian, baik waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang tidak sedikit hingga melalaikan amanahnya.
Demokrasi, Biaya Politik Tinggi
Sebagaimana pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil akan mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2024. Beliau mengungkapkan untuk menjadi pemimpin di Indonesia syaratnya tiga, yakni:
Pertama, elektabilitas dan kesukaan. Kedua, ada logistik. Ini bisa mencapai Rp8 triliun. Nah, duit dari mana? Ketiga, capres harus diusung oleh partai politik, sesuai sistem demokrasi di Indonesia, kata Emil dalam acara Fisipol Leadership Forum: Road to 2024 yang diadakan oleh Fisipol UGM (2/12/2021).
Dalam demokrasi, sah-sah saja jika mau ganti haluan berkoalisi dengan siapa pun tidak dipermasalahkan karena semua cara dihalalkan. Meskipun elektabilitasnya rendah bukan masalah, sebab dalam sistem demokrasi suara bisa dibeli, bahkan dengan berkoalisi akan ada solusi. Tidak punya kendaraan politik pun tidak diambil pusing, yang penting mampu membayar mahar. Walhasil, uang adalah panglima yang bisa memengaruhi pemenangan.
Dampak Koalisi
Oleh karenanya, jika tidak ada uang akan menggandeng dan berkoalisi dengan pemilik modal. Terjadilah dil-dil politik atau kongkalikong di antara penguasa dan pengusaha, maka lahirlah pemerintahan oligarkhi, yakni kekuasaan dimana kebijakannya dipengaruhi oleh para pemilik modal (kapital). Wajar, jika UU yang dibuat berpihak pada pemilik modal asing dan aseng. Contohnya, UU Omnibus Law, UU Penanaman modal, UU Migas, dan lainnya.
Selain itu, koalisi dalam demokrasi adalah penyebab terjadinya kesepakatan jahat karena adanya lobi-lobi kepentingan yang berasaskan manfaat sehingga terjadilah simbiosis mutualisme. Inilah penyebab lahirnya korupsi berjamaah dan bagi-bagi kursi.
Buah Pahit Demokrasi Sekuler
Sebagaimana kita ketahui, demokrasi melahirkan pemimpin
seperti yang bisa kita lihat saat ini. Tidak ada rasa empati, meski kenaikan BBM mencekik dan rakyat menjerit, para pemimpin dan wakil rakyat diam membisu. Bahkan, sibuk kontestasi dan mencari pencitraan diri untuk menarik simpati. Sungguh, telah mati hati nuraninya.
Lihatlah! Potret kemiskinan yang ada di negara ini, menurut Badan Pusat Statistik ada 26,16 juta rakyat miskin dengan pendapatan di bawah Rp472.525 per bulan. (Liputan6.com, 15/7/2021). Mayoritas penduduk 65 % berpendidikan kurang dari SMP dan yang mencapai jenjang pendidikan tinggi hanya 8.5 % (4/2/2021). Utang pemerintah sebesar Rp7.123,6 triliun pada Juni 2022. (Tempo.co, 4/8/2022). Siapa yang membayarnya? Tentu rakyat dengan cara dipalak melalui pajak.
Betapa sengsara dan merananya rakyat Indonesia, sudah dimiskinkan dan dibodohkan lagi. Lihat kasus Sambo! Cermin pemimpin yang keji, bengis, hingga viral istilah "Kekaisaran Sambo dan Konsorsium 303". Semua itu sebagian bukti betapa bobroknya sistem demokrasi yang menafikan agama. Wajar, jika melahirkan pemimpin zalim dan kerusakan di semua lini kehidupan.
Seharusnya rakyat sadar bahwa demokrasi sekuler melahirkan sosok pemimpin pengabdi kursi yang abai dan tidak empati. Saatnya diganti dengan sistem Islam, yakni khilafah.
Khilafah Lahirkan Pemimpin Empati
Sejak Islam diturunkan untuk semua umat manusia, Nabi Muhammad saw. tidak hanya sebagai Nabi dan Rasul, melainkan juga menyandang predikat sebagai Kepala Negara Islam yang pertama kali didirikan di Madinah. Memimpin dengan aturan-aturan Allah yang bersumber pada Al-Qur'an dan Sunah. Selanjutnya digantikan oleh khulafaur Rasyidin, dan kepemimpinan setelahnya hingga kekhilafahan Ustmaniyah.
Negara khilafah berasaskan akidah Islam, karenanya mendorong semua individu-individu muslim memiliki akidah yang kuat dan taat syariat sehingga hanya tunduk patuh pada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Dalam pandangan Islam pemimpin merupakan tugas yang mulia, yakni mengatur dan mengurusi rakyatnya dengan hukum-hukum Allah Swt. dan syariat mewajibkan agar memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya akan barang dan jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Oleh sebab itu, keberadaan pemimpin (khalifah) sangat penting. Ketika Rasulullah meninggal dunia, para sahabat tidak menyegerakan pemakaman beliau, melainkan menyibukkan diri dalam membaiat Khalifah Abu Bakar ra. ketika umat Islam tidak mempunyai pemimpin.
Syariat menetapkan jika jabatan khilafah kosong, apa sebab dan musababnya meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan, maka hanya ada masa toleransi tiga hari bagi kaum muslimin untuk mengangkat khalifah yang baru.
Oleh karena itu, masa kampanye tidak memakan waktu lama seperti pada demokrasi yang akhirnya menguras dana negara maupun individu. Begitu pun dengan masa jabatan khalifah tidak dibatasi 4-5 tahun.Tetapi, jabatan khalifah tidak berbatas waktu, selama tidak ada pelanggaran hukum syarak. Di dalam Islam juga tidak dikenal adanya koalisi, haram hukumnya. Sebab, semua perbuatan terikat dengan hukum syarak.
Adapun untuk mengangkat khalifah dengan cara membaiat. Sebab, baiat adalah metode satu-satunya. Istilah lain baiat adalah akad (kontrak) politik di antara dua pihak: (1) umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut Ahlul halli wa aqdi atau Majelis Umat di satu pihak. (2) Seorang kandidat khalifah di pihak lain. Baiat mengandung komitmen dari pihak umat untuk menaati khalifah yang dibaiat. Adapun khalifah yang dibaiat berkomitmen untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya di tengah-tengah umat (Abdul Qodim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam. Beirut: Darul Ummah, 2002, hlm.56).
Telah terbukti hanya sistem Islam yang dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mencintai, dan dicintai rakyatnya. Contohnya, Umar bin Abdul Azis salah satu khalifah pada zaman Bani Umayyah. Banyak keistimewaan yang dimilikinya, di antaranya:
1. Ketika diangkat menjadi khalifah, beliau menangis tersedu dan merasa sedih, takut tidak dapat mengemban tugas mulia yang dibebankan pada pundaknya, yaitu tanggung jawab memimpin umat Nabi Muhammad saw.
2. Umar bin Abdul Azis adalah cucu Umar bin Khaththab ra. sehingga dalam memimpin dan memerintah umat mengikuti jejak kakeknya. Termasuk melakukan blusukan untuk memastikan keadaan masyarakatnya tidak kelaparan.
3. Usai dibaiat langsung menerapkan zakat sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Selama kurun waktu 30 bulan, orang kaya sulit untuk menemukan orang fakir miskin yang berhak menerima zakat darinya.
4. Hidupnya sederhana, sesederhana rakyatnya dan rela berkurban jiwa dan harta demi menyejahterakan rakyatnya.
Telah tercatat dengan tinta emas kejayaan Islam selama 13 abad memimpin dunia. Semua itu tidak lepas dari sistem kepemimpinan dalam Islam, yakni khilafah yang terbukti mampu melahirkan generasi cemerlang dan pemimpin-pemimpin amanah yang punya empati dan berhasil menyejahterakan rakyatnya.
Wallahu a'lam bishshawab.
0 Comments