(Penulis dan Pengemban Dakwah)
IMPIANNEWS.COM
"Berhati-hatilah kamu dalam berhutang, sesungguhnya utang itu mendatangkan kerisauan di malam hari dan menyebabkan kehinaan di siang hari "(HR. Baihaqi).
Hadist tersebut bagi seorang Muslim bisa dijadikan pijakan agar berhati-hati dalam mengambil utang, namun rupanya hal itu tidak berlaku bagi pemimpin negeri ini.
Dikutip dari Kompas.com, 6 Agustus 2022, 09:33 WIB- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengakui bahwa " utang Indonesia terbilang besar mencapai Rp7000 triliun. Namun, menurutnya Indonesia masih mampu membayar utang tersebut melalui proyek-proyek yang bagus, bukan utang yang hilang, semua dibayar dengan Pembangunan".
Luhut menegaskan bahwa utang tersebut merupakan utang produktif. Menurutnya utang ini dipakai untuk proyek-proyek yang akan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Jika dipakai untuk membangun proyek tol maka simpul-simpul ekonomi akan timbul, artinya untung dan akan membayar sendiri utangnya. Masih menurutnya ULN Indonesia terbilang aman dibandingkan negara-negara lain di dunia karena hanya 41 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), utangnya masih terbayar dan masih bisa mempertahankan nilai tukar rupiah yang berkisar Rp14.000 terhadap dolar Amerika Serikat. Pernyataan tersebut ia sampaikan pada acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD di Sentul Internasional Convention Center di Bogor, sebagaimana disiarkan YouTube PPAD TNI, Jum'at (5/8/22).
ULN Merusak Eksistensi Negara
Melonjaknya utang negeri ini menunjukkan keuangan negara sedang tidak baik-baik saja, meskipun pemerintah berdalih utang tersebut digunakan untuk pembangunan.
Coba bayangkan seandainya sebuah rumah tangga terlilit utang. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, pembelian rumah, perkakas dan kendaraan semuanya didanai dengan berhutang, apakah layak disebut sebagai rumah tangga yang aman dan mapan? Uang dan semua yang dimiliki sejatinya milik orang lain yang suatu saat harus dikembalikan dengan pengembalian yang lebih besar. Lama kelamaan utang itupun semakin menggunung, tidak mampu terbayar, akhirnya disita hingga tak sedikitpun tersisa.
Membayangkan utang rumah tangga saja sudah sedemikian miris dan dimungkinkan berujung tragis. Lalu bagaimana dengan utang setingkat negara?
Mengutip pendapat Indra Fajar Alamsyah. Kandidat Ph.D Ekonomi, Internasional Islamic University Malaysia dalam rubric iqtishadiyah (al-wa'ie, Syaban 2021).
Menurutnya terdapat bahaya jangka pendek dan bahaya jangka panjang apabila sebuah negara masuk dalam jebakan utang.
Dalam bahaya jangka pendek, setidaknya ada dua bahaya yang akan dialami negara debitur, adalah :
1. Akan menghancurkan mata uang negara debitur dan terjadi kekacauan moneter.
Dimana pada saat jatuh tempo, ULN ini tidak bisa dibayar dengan mata uang debitur tetapi harus dibayar menggunakan US Dollar atau hard money lainnya. Sementara Hard money dalam kondisi tertentu sulit didapatkan, sehingga negera debitur terpaksa harus membeli mata uang ini dengan harga yang sangat mahal.
2. Nilai mata uang negara debitur akan turun drastis.
Ketika kondisi ini terjadi negara debitur harus mendatangi Internasional Monetary Fund (IMF). Hal ini berakibat mata uang negaranya dibawah kendali IMF yang akan memaksa negara yang terjerumus untuk menjual komoditi berharga yang dimiliki seperti barang tambang dengan harga yang murah.
Adapun dua bahaya jangka panjangnya lebih mengerikan dan mengintai negara debitur, adalah :
1. Akan memunculkan kekacauan APBN hingga merusak kedaulatan.
Ketika komoditi-komoditi berharga yang ada sudah tidak cukup untuk membayar ULN, maka akan menyeret aset-aset strategis negara sebagai alat pelunasan.
Dalam hal ini salah satu buktinya adalah BUMN yang diprivatisasi, seperti : PT Inti Persero, PT Sandang Nusantara Persero, PT Industri Gelas Persero, PT Semen Baturaja Persero dan PT Bank Tabungan Negara Tbk.
Pembangunan infrastruktur yang menyedot triliunan uang APBN dan dibiayai dari utang inipun akan dilelang ke asing. Seperti : Jalan Tol Solo - Ngawi, Jalan Tol pondok aren - Serpong, Jalan Tol Medan Kuala namu Tebing Tinggi, Jalan Tol Gempol Pasuruan dan sebagainya.
Walhasil rakyatpun patut bertanya bagi siapakah pembangunan infrastruktur ini? Nyatanya tidak memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat dan tidak dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat tetap harus membayar dengan harga yang tinggi.
2. Negara kreditur dapat mengintervensi semua kebijakan publik, Negara kreditur secara tidak langsung dapat mengatur negara debitur.
Maka kebijakan-kebijakan barupun akan lahir untuk memuluskan program negara kreditur, seperti lahirnya undang-undang SDA, UU Cipta Kerja, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU kelistrikan dan sebagainya.
Kapitalis-Sekular Biang Masalah
Setelah berakhir Perang Dunia I negara-negara Adikuasa memutar haluan gaya penjajahan terhadap dunia ke tiga (negeri kaum muslimin), meninggalkan penjajahan secara fisik dan menekuni penjajahan gaya baru (Imperialisme).
Dalam benak negara-negara kapitalis berfikir bagaimana agar mereka tetap bisa menguasai suatu negara dan kemudian bebas mengambil kekayaan sumberdaya alamnya serta menjadikannya sebagai tujuan pasar bagi produk-produk mereka.
Utang Ribawi adalah jebakan yang sempurna untuk menguasai sebuah negara, bahkan negara kapitalis akan memberikan pinjaman utang sampai negara tidak mampu membayar utang-utangnya.
Hegemoni Kapitalisme global telah merampas independensi suatu negara secara politik dan ekonomi. Apa yang terjadi pada negara Sri Langka yang masuk perangkap jebakan utang kepada Cina adalah bukti nyata.
Dengan bukti tersebut seharusnya mampu membukakan mata hati dan pikiran negeri-negeri kaum muslim untuk bersegera mencampakkan Sistem Sekuler menuju Sistem Islam.
0 Comments