Jembatan Ratapan Ibu
IMPIANNEWS.COM
Catatan Fajar Rillah Vesky Payakumbuh, - Jembatan Ratapan Ibu di Kota Payakumbuh punya sejarah yang panjang. Sepanjang aliran Batang Agam: sungai yang mengalir tenang di bawahnya. Tapi terkadang juga bisa meluapkan amarah, dengan menghanyutkan segala yang melintang dari hulu.
Dibangun kolonial Belanda hampir dua ratus tahun silam, jembatan Ratapan Ibu, tidak hanya menjadi bukti adanya mobilisasi tenaga kerja pribumi yang serba gratis di zaman cultuurstelsel. Tapi juga menjadi penanda, kawasan sekitar Gunung Sago nan subur, pernah menghasilkan kopi dan tembakau yang diangkut lewat jembatan tersebut.
Bukan itu saja, jembatan Ratapan Ibu, diyakini pernah menjadi tempat eksekusi mati bagi pribumi dan 'mata-mata' China yang melawan Jepang, setelah Belanda hengkang dari negeri ini. Paling tidak, pahlawan nasional China bernama Yu Dafu, dipercaya warga Tionghoa Payakumbuh, dibunuh Kempetai dari atas jembatan tanpa rangka besi itu.
Sejarah berlanjut. Setelah Jepang hengkang, lalu Belanda kembali dengan Agresi Militer II-nya, jembatan Ratapan Ibu, menjadi bukti betapa sulitnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di atas jembatan itu, pada akhir Februari 1949, mereka yang meminjam istilah penyair Taufik Ismail "tidak masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa, maupun versi partikelir atawa swasta", menyerang Agresor II Belanda.
Serangan terhadap Belanda di atas jembatan yang hanya direkat dengan kapur dan semen ini, merupakan serangan yang dirancang berdasarkan 'rapat heroik' pejuang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Lurahkincia, Situjuahbatua, 15 Januari 1949. Serangan itu, jelas mendahului serangan umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol Soeharto di Jogjakarta.
Sayang, sejarah bangsa ini, seakan luput mencatat "serangan umum" di atas jembatan Ratapan Ibu. Padahal, akibat serangan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu, banyak nyawa meregang. Tak sedikit wanita yang menangis karena kehilangan anak, suami, kakak, adik, dan kekasih yang dicintai.
Tangisan kaum ibu itu, lantas diabadikan dalam monumen Ratapan Ibu yang dibangun di samping jembatan. Pembangunan monumen yang diresmikan pada 18 November 1980 itu dirancang Arby Samah dan Sabri Djamal, dengan pembuat relief Syahrial Djamal dan Bodi Dharma. Sedangkan biayanya, dibantu Pemko Payakumbuh semasa Wali Kota Masri MS dan didukung perantau Haji Marlis. Sedangkan peresmiannya dilakukan Gubernur Sumbar Azwar Anas.
Pada 18 Juli 1998 atau semasa Payakumbuh dipimpin Fahmi Rasyad, jembatan Ratapan Ibu, direnovasi sebagai monumen bersejarah. Lalu, pada zaman Wali Kota Josrizal Zain, di dekat jembatan tersebut, dibangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tanah masuknya merupakan hibah dari pengusaha Haji Desra. Sedangkan pada zaman Wali Kota Riza Falepi, RTH Ibuah dikemas lebih paripurna.
Di RTH Ibuah, kini terdapat taman bermain yang didatangi masyarakat hampir setiap sore dan malam hari. Banyak juga wisatawan yang singgah ke tempat ini, karena aksesnya yang dekat dengan pusat kota Payakumbuh dan Pasar Ibuah, serta dengan Taman Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V atau Taman Batang Agam. Bila pembaca datang ke Payakumbuh, tak ada salahnya singgah dan menjemput senja di jembatan Ratapan Ibu. (rel)
0 Comments