Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Garut
Bisnis merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan sebesar-besarnya. Seorang pembisnis akan melakukan berbagai cara untuk membuat bisnisnya berhasil, dimulai dari merencanakan bisnis apa yang akan digeluti, memikirkan strateginya agar bisnis berkembang pesat, bahkan tidak sedikit yang rela sikut kanan kiri demi lancarnya bisnis yang dilakoninya.
Setiap hal bisa dijadikan objek bisnis contohnya pertanian, perumahan, perikanan sampai dengan perpolitikan, sama halnya dengan pemilu yang secara kasat mata adalah bisnis dalam demokrasi,
Dilansir dari beritasati.com (19/09/21) Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan anggaran sebesar Rp86,2 triliun untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu 2024. Usulan tersebut naik empat kali lipat dari anggaran Pemilu 2019 (Rp25,59 triliun). Sedangkan untuk pilkada, anggaran yang diusulkan mencapai Rp26,2 triliun.
Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin menyebutkan, “Biaya pemilu ke depannya pasti akan makin meningkat. Ini jebakan demokrasi liberal yang harus kita hindari. Sudah saatnya kita kembali mekanisme demokrasi Pancasila yang lebih berkualitas dan ekonomis,” kata Sultan dalam keterangannya, Minggu (19/9/2021).
Selain itu, dilansir dari Republika.co.id, wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin di Jakarta pada Ahad (19/9), dalam siaran persnya menyebutkan "biaya pemilu yang terlampau jumbo akan sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi jika ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres. Pemilu Langsung hanya jadi ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki."
Dalam sistem politik demokrasi pemilu diklaim sebagai metode baku pergantian kepemimpinan dan wakil rakyat. Pemilihan ini pun dipandang adil sebab seluruh rakyat dilibatkan secara langsung untuk memilih orang yang dipandang mampu menyalurkan aspirasi mereka.
Namun kenyataannya, praktis pemilu hanya dijadikan alat bagi industri bisnis oligarki kepentingan oligarki. Demokrasi telah dikangkangi. Maka sangat pantas jika demokrasi disandingkan dengan kata industri. Menjadi industri demokrasi Yaitu sistem politik yang dipenuhi transaksi kepentingan mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki bukan perwakilan rakyat. Maka tak heran oligarki atau perwakilannya sangat bersyahwat kepada eksekutif dan legislatif pihak manapun yang menguasai penguasa dan wakil rakyat tidak akan pernah terhalang untuk menumpuk kekayaan sebesar-besarnya pihak manapun yang memiliki modal besar pasti memiliki peluang besar memenangkan pesta demokrasi.
Sudah jamak diketahui alat yang digunakan industri demokrasi untuk mewujudkan tujuan politiknya adalah berita bohong hoax hingga bisnis konflik komunal antara suku, agama dan golongan. Money politik dan korupsi jadi core business industri demokrasi untuk meraih target kursi kekuasaan. Ini merupakan fakta kasat mata karena itu selogan demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya menjadi selogan manis yang disodorkan pada rakyat dan mustahil terealisasi.
Sebab pada faktanya demokrasi berslogan dari korporasi oleh korporasi dan untuk korporasi.
Mirisnya pemilu dalam politik demokrasi yang menyedot anggaran negara dalam jumlah yang besar justru berbanding terbalik dengan pemerintahan yang dihasilkan. Pemerintah yang dihasilkan nihil keberhasilan mengeraskan problem masyarakat, apalagi mewujudkan rahmatan Lil alamiin.
Berbeda dengan pemilihan seorang Khalifah selaku kepala negara dalam Islam. Islam secara dasar telah mendidikan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan Allah karena takut pertanggungjawaban akhirat. Islam telah menetapkan metode baku pengangkatan kepala negara yaitu baiat syar'i. Imam annawawi dalam kitabnya Nihayah Almuhtaj ila syarah Al minhaj (vll /390) telah berkata: akad imammah ( khilafah) akan sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari ahlul halli wal aqdi yang mudah untuk dikumpulkan. Seorang pemimpin yang akan dibaiat jika mendapat dukungan umat.
Dukungan ini tak harus dukungan langsung berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan yaitu rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat ini atau majlis umat memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu langsung dalam Islam bersifat langsung, namun pemilihan langsung bukanlah metode melainkan teknis yang bersifat opsional (mubah) namun metode bakunya tetap baiat.
Metode baiat ini bisa ditempuh dengan cara penunjukan seperti terpilihnya umar bin Khattab menjadi kepala negara, bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wa aqli sebagai mana pengangkatan Khalifah Usman bin Affan. Saat itu perwakilan rakyat yang berjumlah 6 orang bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Umar bin Khattab, panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada pemilihan dilakukan secara langsung. Namun meski hanya 6 orang mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.
Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan yaitu tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaiatan abu bakar radiallahhu anhu yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw, juga ketetapan Umar bin Khattab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi adalah tiga hari. Jika dalam kurun waktu tiga hari, 6 orang ahlul ahli wal aqdi ada satu orang yang tak kunjung sepakat maka satu orang tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi waktu kampanye. Sehingga tak perlu kampanye Akbar yang akan menghabiskan banyak uang dalam jumlah besar.
Teknik pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai. Inilah yang menjadikan pemilu dalam khilafah Islam berbiaya murah namun efektif menghasilkan pemimpin yang berkualitas, yakni pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah SWT dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam. (Lulu)
0 Comments