Oleh: Een Aenirahmah
IMPIANNEWS.COM
Siapa yang tidak kenal Krisdayanti? Diva Indonesia yang beralih profesi menjadi anggota DPR - RI dari fraksi PDIP. Mimi panggilannya, kini menjadi topik perbincangan setelah ia blak-blakan bicara besaran gaji anggota DPR di kanal YouTube Akbar Faisal.
"Setiap tanggal 1 (dapat) Rp 16 juta, tanggal 5 (dapat) Rp 59 juta, kalau enggak salah," kata Krisdayanti dalam video tersebut.
Uang sebesar Rp 16 juta itu merupakan gaji pokok yang diperoleh Krisdayanti, kemudian uang Rp 59 juta lainnya merupakan uang tunjangan yang diterima setiap bulan. Selain itu ia juga menyebut ada dana aspirasi dan kunjungan dapil, besarannya sangat fantastis Rp 450 juta sebagai uang aspirasi yang akan ia terima 5 kali dalam setahun, sementara uang kunjungan dapil besarannya sekitar 140 juta yang ia diterima 8 kali dalam setahun.
Besaran Gaji para anggota DPR sebagaimana yang dilansir dari kompas com. mengacu pada surat Menteri Keuangan No S - 520 /MK, 02/2015 gaji anggota DPR RI sebesar Rp. 66.141.813
Hal tersebut belum termasuk tunjangan komunikasi intensif yang mencapai Rp 15-5 juta, http://kompas.com/nasional/read/2015/09/21/16531861/menkeu-hanya-rilis-sk-batas-maksimal-tunjangan-dpr-bisa-tak-menjalankan
Pantas saja banyak yang tergiur menjadi anggota legislatif; bergaji besar, bisa mendapatkan kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi. Ketenaran seorang artispun menjadi modal sosial yang tinggi, walaupun kemampuannya minim, kualitas kinerja buruk dan tidak ada pengalaman menjadi aktivis di partai.
Yang menjadi pertanyaan, apakah besarnya gaji yang diterima sudah sebanding dengan kinerja selama ini? Lucius Karus 'Penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia berpendapat, "jumlah gaji yang diterima oleh anggota dewan belum sebanding dengan kinerja yang mereka hasilkan".
Buruknya kinerja DPR RI bisa ditelusuri dengan melihat tiga fungsi dewan : legislasi, penganggaran dan pengawasan
Fungsi legislasi, selama dua tahun pertama masa jabatan baru 4 RUU prioritas yang di sahkan. Di saat pandemi dalam penanganan Covid-19 terkesan DPR tidak serius dalam mencari solusi agar persoalan Covid-19 di Indonesia segera teratasi, yang terjadi justru malah nekad melakukan pembahasan RUU KUHP yang tahun lalu diserbu unjuk rasa, RUU Pemasyarakatan yang nyata-nyata menampakkan ketidakadilan hukum " Tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Sementara dalam fungsi anggaran, kinerja DPR lebih memperjuangkan kepentingan para elite dan investor dari pada memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal ini nampak dalam pengesahan UU Cipta kerja yang sangat dipaksakan di tengah kondisi keuangan negara berada pada titik nadir dan kondisi ekonomi rakyat yang semakin terhimpit.
Begitu pula dalam bidang pengawasan. Kinerja DPR seolah tenggelam dalam mengkritisi dan penyeimbang eksekutif. Yang ada malah menyetujui apapun kebijakan pemerintah dan berkelindan tangan ke belakang, berjabat tangan berbagi kue kekuasaan.
Buruknya kinerja DPR dalam menyampaikan aspirasi masyarakat juga mengecewakan. Hal ini nampak ketika kenaikan BBM, TDL yang ditolak masyarakat tetap saja disetujui dan disahkan.
Blak-blakannya gaji dewan ala Krisdayanti ini pun mencerminkan minimnya sensitivitas dari anggota dewan terhadap masyarakat, yang ada semakin melukai hati rakyat.
Inilah bukti bahwa secara sistemik demokrasi telah melahirkan politik transaksional, yang menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa para dewan ini tersandera oleh uang para kapitalis. Bahkan sebagian besar wakil rakyat adalah para kapitalis itu sendiri. Maka bagaimana mungkin mereka akan konsentrasi dalam memikirkan dan memperbaiki nasib rakyat?
Mahalnya sistem demokrasi ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Di dalam struktur pemerintahan Islam ada juga perwakilan yang disebut Majelis Umat, pemilihannya sangat mudah, efesien dan tidak memerlukan biaya.
Majelis Umat dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan DPR dalam sistem demokrasi. Majelis Umat tidak memiliki wewenang untuk legislasi dan budgeting. Majelis Umat hanya melaksanakan fungsi pengawasan, sehingga bisa menutup politik transaksional.
Dalam pandangan Islam, jabatan pemerintah hukum tidak digaji hanya saja mereka mendapatkan tunjangan dari negara.
Para anggota Majelis Umat tidak termasuk jabatan hukam, mereka adalah wakil umat dari seluruh wilayah negara yang menjadi wakil untuk menyampaikan pendapat juga koreksi terhadap pemerintah sebagai aktivitas amar makruf nahi munkar, sehingga tidak ada ruang terjadinya politik transaksional sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi.
Adapun Undang-undang yang diberlakukan dalam sistem Islam bersumber dari Allah SWT. Pemerintah, pejabat dan rakyat tinggal melaksanakan berdasarkan hukum yang sudah jelas kehalalal dan keharamannya. Adapun untuk perkara yang belum jelas hukum Syara'nya misalnya, untuk perkara-perkara yang baru (di masa Rasulullah Saw belum ada) seperti persoalan jual beli online, kartu kredit, uang digital dan lain-lain, maka akan dilakukan ijtihad .
Para Mujahid diberikan ruang untuk berijtihad, apabila hasilnya berbeda satu Mujtahid dengan lainnya maka Khalifah akan mengadopsi salah satu hasil ijtihad yang paling kuat dalilnya.
Keunggulan utama sistem Islam adalah berpijak pada akidah " Laa ila ha illa Allah". Semua perbuatan yang menyandarkan terhadapnya bernilai ibadah. Ibadah artinya taat dan patuh serta berpegang teguh pada apa yang telah disyariatkan oleh Allah dalam agama-Nya.
Ketika semua perkara bersandar kepada akidah Islam, maka kehidupan akan damai dan sejahtera karena sifat dari Islam adalah Rahmatan Lil a'laamin.
Wallahu alam bis showab.
0 Comments