Part I, --- Akhirnya karena tidak dapat pinjaman beras ibu saya berurai air mata, dia pulang meminjam beras untuk makan malam 6 orang anaknya pada waktu itu. Sebenarnya kami 8 orang 2 orang lagi adik kami lahir belakangan.
Itu satu situasi yang sampai sekarang kalau saya ingat, saya pasti menagis, karena ibu saya menagis di dekat saya yang membantu dia memasak nasi saat itu. Air dan periuk besi besar sudah saya naikan ke tungku, api sudah nyala, tinggal menunggu beras yang akan dimasak, tapi pinjaman beras tidak dapat. Itu sekelumit kisah dari sekian banyak kisah hidup saya bersama ibu, ayah, kakak dan adik saya.
Saya lahir di Kota Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat, Kenagarian Koto nan Gadang, tepatnya di jorong Muaro, saat ini bernama kelurahan Ikua Koto Dibalai Payakumbuh utara. Saya dilahirkan di tempat dukun beranak, saya masih ingat namanya Muri, begitu ibu saya bercerita. Saya lahir disitu karena kebiasaan saat itu, kebanyakan orang melahirkan di rumah dukun beranak, hanya sedikit yang melahirkan di tempat kesehatan. Kemudian ayah saya dan ibu saya memilh tempat itu karena keterbatasan dana.
Ayah saya seorang tukang service sepeda dan juga service alat-alat rumah tangga lainya. Ayah saya pekerja keras dan juga seorang ulama kampung, ayah saya tamatan SGB, dia disiplin dan konon kabarnya pernah bergabung di kesatuan Tentara Pelajar. Tapi dia tidak melanjutkan ke tentara setelah perang kemerdekaan walaupun adiknya melanjutkan ke TNI dan pensiun di Jawah Tengah. Satu hal yang masih kami pegang bersama pesan ayah adalah, jangan tinggalkan sholat, jujur dan jangan kalian terpisah setelah ayah tiada nanti. Setiap kalian harus bertanggung jawab terhadap pendidikan adik-adik kalian. Satu lagi yang penting adalah sayangi ibu kalian, rawat dia dan antarkan dia keliang lahatnya ketika Allah Robbal Alamin memanggilnya. Pas malam ramadhan hari jum'at ayah dipanggil Allah tanpa sakit yang serus. Dia meninggal sebelum kemesjid untuk sholat isya dan taraweh juga malam itu dia bertugas sebagai imam dan pencermah, tapi ini tidak diperkenankan lagi oleh Allah SWT. Itulah akhir perjalanan ayah kami yang penuh kenangan bersama kami, 8 orang anaknya.
Ibu saya adalah seorang piatu. Ibunya meninggal ketika dia masih balita, umurnya kurang 1 tahun ketika ibunya meninggal karena ditimpa buah kelapa, ibu saya dibesarkan dirumah keluarga kakek saya, nenek saya sangat sayang pada ibu saya. Ibu saya adalah seorang gadis kampung yang sempat bersekolah di SKKP, satu sekolah yang didirikan untuk mendidik anak-anak perempuan untuk bisa hidup merawat anak, memasak dan lain-lain. Ibu saya sama dengan ayah saya disiplin dan sangat melindungi anak- anaknya, dia kuat dan tak pernah mengeluh, 8 orang anak diasuhnya, mencuci, memasak dan lain sebagainya dia kerjakan sendiri. Dia juga sebagai guru pertama kami.
Ibu saya perempuan hebat, dia besar dengan neneknya karena ibunya telah meninggal. Kasih sayang yang dia rasakan adalah kasih sayang dari neneknya. Ibu saya sangat adil pada anaknya. Ketika masa sulit, ibu saya pandai sekali membagikan makanan, dia hitung kacang rebus yang dia beli ke pasar, lalu dibaginya sebanyak anaknya, lebihnya 10 buah kacang rebus dia tinggalkan untuk ayah saya dan dia. Begitulah dia mengajarkan bagaimana bersikap dan berbuat adil. (bersambung)
0 Comments