Catatan, --- Datang dari kota yang secara garis politik kekuasaan tidak terlalu diperhitungkan, Supardi mampu menerabas segala aral dengan sigap. Kini, dia berdiri di tempat tertinggi, sembari mengemasi masa lalunya yang penuh kegetiran.
Tiga periode menduduki kursi DPRD Sumbar, satu periode di DPRD Payakumbuh, sudah cukup membuktikan kalau Supardi bukan politisi abal-abal. Dia diusung kelompok komunal di sudut-sudut Kota Payakumbuh, di seluk-seluk Kabupaten Limapuluh Kota. Payakumbuh dan Limapuluh Kota memang dua daerah yang tak pernah ditinggalkannya, baik secara fisik atau alam pikir.
Dia dipercaya karena tak pernah melepaskan pegangan dengan para pemilihnya. Di periode ketiga ini, Supardi diberi tugas untuk menjadi Ketua DPRD Sumbar, posisi politik tertinggi, yang pasti diharapkan orang-orang yang bergerak di ranah politik.
Jabatan ketua DPRD tidak membuatnya lupa asal. Supardi, jika sedang berada di Payakumbuh atau Limapuluh Kota bisa ditemui di warung-warung kopi pinggiran, atau di surau-surau tersuruk. Supardi sejak muda memang ditempa di surau. Persisnya Surau Rao-Rao di Labuan Baru. Di surau itulah dia diasuh berkehidupan secara islam.
Belasan tahun silam, saya dipertemukan dengan Supardi. Dia di tahun-tahun akhir pengabdian sebagai anggota DPRD Payakumbuh, saya jurnalis muda yang baru mencoba merangkak di dunia kata-kata. Pertemuan itu digagas Nur Akmal, wartawan senior di Payakumbuh, yang “memaksa” saya jadi jurnalis. Padahal, ketika itu saya tak pernah berpikir akan menjalani hidup dengan menulis. Nur Akmal kakak ipar saya.
Kami berdiskusi layaknya orang yang sudah lama kenal, padahal baru sekali bersua. Supardi memang demikian, dia tidak berjarak dengan siapa saja. Tak memandang usia, latar, atau status. Saya masih ingat impian yang disampaikan Supardi; Dia ingin Payakumbuh menjadi kota sentral kuliner, kota berbasis teknologi, yang anak mudanya berkreasi secara positif. Sampai sekarang, impian itu perlahan diwujudkannya.
Supardi, bagi saya adalah antitesis politikus kekinian, yang kebanyakan terjun ke dunia politik dengan modal uang banyak, lalu baru membangun branding dirinya. Supardi berakar dari bawah. Membangun langkah politiknya dari titik nol, dengan modal selembar ijazah Sekolah Tekhnik Menengah (STM) Payakumbuh.
Dia memang lulusan STM jurusan bangunan air, yang kini berganti nama menjadi Sekolah Kejuruan Menengah (SMK) 1 Payakumbuh. Sekarang, Supardi kembali kuliah, dan sebentar lagi menyandang titel sarjana. Dia memang tak pernah mau dihalangi usia untuk menuntut ilmu.
Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini seolah membuktikan kalau ruang politik itu bukan sekadar ruang kreasi bagi orang-orang berpendidikan tinggi semata. Ini ranah pengabdian, ranah menjaga amanah. Setinggi apapun pendidikan, jika tak amanah, akan ditinggalkan pemilih, dibuang dari sejarah pengabdian.
Sejak pertemuan itu, saya dan dia tak pernah berjarak. Apalagi setelah menuntaskan pengabdiannya di DPRD Payakumbuh tahun 2009, Supardi naik kelas menjadi anggota DPRD Sumbar. Kami sama-sama berkegiatan di Padang, kota yang berajak 120 kilometer dari Payakumbuh. Diskusi kami kian intens.
Saya jarang bertemu dengan politisi yang benar-benar berakar kuat, dan mampu menjaga basis suaranya secara konsisten. Supardi satu dari politisi itu. Dia dicintai pemilih dengan segala kesederhanaannya. Namanya harum di sudut-sudut Luak Nan Bungsu. Supardi politisi yang setiap langkahnya diperbincangkan penghuni kawasan-kawasan sempit, dan daerah tersuruk. Kedatangannya selalu disambut dengan derai tawa, dan harapan-harapan baik.
Pekan lalu, saya bertemu Supardi di ruang kerjanya, DPRD Sumbar, Padang. Jika biasanya kami bercerita tentang harapan, dan langkah politik ke depan, pekan lalu itu tidak. Supardi membuka lembaran hidupnya. Dia menyelami masa lalu, mengulangi kisah hidupnya yang penuh liku. Sempat terdampar di kehidupan yang agak jauh dari agama, Supardi juga lama menjadi ustaz di Pesantren Alkautsar, Tanjung Pati, lalu mendirikan sekolah islam. Saya tercengang-cengang dengan kisahnya.
Nakal di Pasar, Juara di Surau
Lahir dan besar di jantung Payakumbuh, persisnya di kawasan Labuah Baru, Kecamatan Payakumbuh Utara, Supardi menjalani hari sebagai anak pasar. Labuah Baru memang berada di sudut pasar sarikat Payakumbuh. Jarak rumah Supardi dan pasar itu hanya sepelemparan batu. Masa kecilnya seimbang, nakal sebagai anak pasar, tapi juara sebagai santri surau. Belum lagi tamat sekolah dasar, Supardi sudah berulangkali khatam Alquran. Dia juga berkali-kali juara lomba pidato, dan mewakili Payakumbuh ke tingkat nasional.
Memulai pendidikan formal di SD negeri 07 Payakumbuh, Supardi telah ditempa hidup mandiri. Bapaknya, Almarhum Yasri Tarumun, pegawai negeri sipil di Kompi Militer (Kodim), emaknya, Hajjah Aisyah, ibu rumah tangga tulen. Gaji pegawai negeri sipil waktu itu tak seberapa, pas-pasan menghidupi keluarga. Apalagi Supardi beradik kakak enam orang.
Tak mau menyusahkan orangtuanya, sepulang sekolah, Supardi kecil menjajakan roti malabar berkeliling kota. Roti diambil dari induak samang di kawasan Bunian, agak jauh dari rumahnya, lalu dijajakan. Lain waktu, dia juga mengampas rokok di terminal angkot Payakumbuh. Sore dan malam, Supardi mengaji di Surau Rao-Rao yang dikelola Supriadi, abang kandungnya. Kehidupan anak-anak dilaluinya dengan riang-riang saja. Tanpa sungkan.
Setamat sekolah dasar, Supardi lalu menuntut ilmu di Sekolah Teknik (ST) Payakumbuh, di Labuah Basilang. ST itu sekarang sudah tidak ada, berganti SMP Negeri 8 Payakumbuh. Titik balik kehidupan Supardi sebenarnya di mulai di sini. Sejak duduk di ST, Supardi muda sudah mulai berjarak dengan kitab suci dan pendidikan surau, tenggelam dalam dunia mudanya. Banyak kerja yang tidak-tidak dilakukannya.
Masa muda, masa mencari jati diri. Supardi di persimpangan. Kehidupan pasar, yang keras menggodanya untuk jerumus, sementara jiwanya sebagian masih terlilit pituah surau. Dia gamang dalam menapak hidup. “Ketika gamang itulah Uda saya datang, menyuruh saya kembali ke surau. Di sini titik balik hidup saya,” tutur Supardi.
Supardi disuruh lagi mengaji, sebagai anak yang dua kali khatam alquran, biasanya tentu tidak akan banyak lupa pada kaji. Tapi Supardi tidak, dia lupa segalanya. Bahkan dia tak ingat alif, ba, ta. Kaji dasar. “Uda marah, beberapa kali dipukul. Mungkin dia merasa gagal mendidik saya. Waktu itu, sama benar-benar lupa kaji,” ujarnya.
Oleh udanya, Supardi kembali disuruh mengaji dari Iqra. Dari bawah, bersama anak-anak lainnya. Dia yang paling besar. Pepatah lama berlaku; Lanca kaji dek baulang. Supardi dalam hitungan pekan kembali bisa melafazkan Alquran dengan baik. Bahkan, dia menjadi guru. Anak-anak pasar, kawan sepermainannya yang tidak bisa mengaji dibawanya ke surau. Diajarinya. Supardi menjadi guru bagi mereka. Tapi, layaknya remaja, walau terus mengaji, kenakalan-kenakalan muda tetap dijalaninya.
Menceburkan Diri ke Dunia Aktivis
Pertengahan menuntut ilmu di ST, sekitar tahun 1987, Supardi dipaksa Udanya masuk ke organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi ini sarat sejarah, yang melahirkan banyak tokoh besar. Sebut saja, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Muhajir Efendym Kivlan Zen dan sederet lainnya.
PII lahir dari pemikiran Yoesdhi Ghozali yang sedang melakukan iktikaf di masjid, Yogyakarta dan pada 25 Februari 1947. Kala itu dualisme dalam sistem pendidikan terhadap umat Islam Indonesia sedang berkecamuk. Ada pertentangan pola pendidikan antara pesantren dan sekolah umum. Pesantren dianggap memiliki orientasi esakatologis sementara sekolah umum dituduh berorientasi pada duniawi.
Sebagai konsekuensi dari dualisme sistem ini para siswa terpecah menjadi dua kubu dan saling mengejek. Para santri mengklaim sekolah umum sebagai sekolah sekuler yang tidak percaya pada Tuhan, sistem pendidikan warisan penjajah Belanda dan mengkafirkan para siswa yang belajar di sekolah umum. Pada sisi yang lain, pelajar dari sekolah umum mengejak santri sebagai pelajar yang tradisional, kuno, konserfatif dan ketinggalan jaman. Pada saat itu PII hadir.
Supardi awalnya merasa terpaksa bergabung dengan PII. Dia muda, ingin bebas, tidak terikat, dan bisa melakukan apa saja dengan hasrat mudanya. Namun, dia tak berani melawan kehendak udanya. Kehendak, yang kini terbukti benar, dan mengubah jalan hidupnya.
Di PII, mental Supardi dididik, ditempa dengan landasan keislaman yang kuat. Tempaan terus menerus itu membuat Supardi kembali percaya diri, bahwa kehidupannya memang di dunia aktivis. Beragam aksi dilakukannya selama di PII. Dia dalam hitungan yang cepat bisa menjadi mentor, dan tokoh muda sentral di PII Payakumbuh. Dia tenggelam di dunia barunya, hingga tamat ST, Supardi memilih masuk ke Sekolah Teknik Menengah (STM) Payakumbuh, dan memilih jurusan bangunan air. Meski demikian, gelagat aktivisnya tak padam.
Sewaktu di STM, terjadi bedol desa di Kapur IX dan Pangkalan. Tujuannya untuk membuat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang. Pembangunan itu mulai direncanakan dibangun tahun 1979, dengan menggunakan 33,320 miliar Yen dana pinjaman Jepang (Japan Internasional Cooperation Agency/JICA) dan Rp 102,05 miliar dana dalam negeri pemerintah Indonesia. Pembangunannya diiringi air mata. Sepuluh desa ditenggelamkan di masa orde baru itu. Dari 10 desa itu, dua desa, Tanjuang Balik dan Tanjuang Pauah ditenggelamkan. Warganya dipaksa pindah. Mereka terpaksa mengubur tanah, dan sejarah hidupnya di danau buatan yang jadi sumber air PLTA. Supardi dengan LSM Taratak hadir membela masyarakat yang terbuang, dan tak mendapatkan ganti rugi layak.
Aksi dan kecaman kerasnya itu membuat pemerintah berang. Sama tahu saja, di masa orde baru, kritik kepada pemerintah itu tabu. Supardi yang masih duduk di bangku STM dicari-cari aparat, dianggap menghambat pembangunan. Namun, semangatnya tak pudur, Supardi tidak takut karena yakin apa yang dilakukannya itu benar.
Setamat STM, Supardi bergabung dengan Sarekat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Organisasi ini, organisasi nirlaba yang tujuannya memperbuangkan kesejahteraan buruh. Paling heroik, Supardi terlibat aksi besar-besaran di Medan, Sumut sekitar tahun 1994-1995. Dia satu dari sedikit aktivis buruh yang turut berunjuk rasa di sana.
Dunia aktivis mempertemukannya dengan banyak tokoh. Bahkan, Supardi pernah satu angkatan pelatihan dengan Wiji Tukul. Dia sering terlibat diskusi dengan aktivis yang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya itu.
Menjadi Guru Kehidupan
Setelah melanglang buana di beragam organisasi, Supardi pernah “menghilang”. Dia tak pulang-pulang dalam waktu yang lama. Banyak yang cemas, dia dijapuik malam. Padahal tidak, Supardi berpetualang ke pelosok-pelosok Indonesia, menemui orang-orang terpapar kehidupan berat. Dia tinggal di lorong-lorong kota, di pedalaman Sumatera, mencoba mencari intisari kehidupan. Sebagai aktivis, Supardi menjauhkan hidupnya dari sikap hedonis. Dia ingin apa adanya, berteman dengan siapa saja.
Untuk menyambung hidup, Supardi bekerja serabutan. Selama menetap di Pekanbaru, Supardi menjual bakso keliling. Pakai gerobak. Dia bahkan pernah terlibat menjual barang-barang illegal. Ketika di Jakarta, Supardi menjadi satpam di salah satu hotel yang merupakan milik saudagar Minang, lalu berdagang kain seken di kawasan Senen.
Berbilang tahun tidak pulang, Supardi kembali menginjak Payakumbuh. Dia memang tak bisa meninggalkan kota itu sepenuhnya. Hatinya terpaut di sana. Kepulangannya ditunggu. Supardi memang sudah menjadi buah bibir oleh para tokoh, sebagai anak muda yang konsisten dalam langkah dan tindakan. Bahkan, dalam pergerakan, dia memupus harapannya sendiri untuk kuliah, dan memilih untuk berada di sisi masyarakat yang hidup melarat. Supardi lalu berkegiatan di Training College.
Sampai di Payakumbuh, Supardi ditawari Drs Dalius untuk menjadi guru di Pesantren Alkautsar, Tanjung Pati. Kala itu, Pesantren Alkautsar sedang dibelit persoalan terkait kenakalan santri-santrinya. Supardi awalnya menolak, dia memang tidak punya basic ilmu untuk mengajar di sekolah resmi. Tapi, orang-orang yang mengajaknya percaya Supardi bisa, karena walau muda tapi banyak makan asam garam. Dia akhirnya menerima tantangan itu.
Masuk Alkautsar, Supardi menemukan hal mengejutkan. Santri-santri di sana kelewat nakal. Banyak para guru, ustaz yang angkat tangan. Supardi lalu mempelajari pola pengajaran yang selama ini dilaksanakan. Ada beberapa yang tak tepat. Dia lalu masuk ke kehidupan anak-anak nakal itu. Tidur bersama para santri, dan perlahan mencoba mengubah hal buruk.
Supardi awalnya keras, santri yang bersalah dihukum. Tapi, setelah mendapat hukuman, dia berbicara seolah-olah teman dengan para santri. Pendekatan yang dilakukannya berhasil. Para santri perlahan berubah.
Di Alkautsar, Supardi diminta mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Dia kaget, dia tak pandai berbahasa inggris. Namun, kepalang tanggung, dia akhirnya mau mengajar. Caranya agak lucu. Sebelum mengajar di pesantren, Supardi terlebih dahulu les Bahasa Inggris di Training College. Apa yang dipelajarinya itulah yang diajarkannya pula kepada para santri. Apa yang didapatkannya dari guru di Training College, itu pula yang diberikan kepada santri. “Saya mengajar sambil belajar,” ucapnya sembari tertawa.
Tak sampai di situ, Supardi juga dipaksa mengajar Bahasa Arab. Dia kembali melakukan metode yang sama; belajar di Training College, lalu memberikan ilmu yang didapatnya itu kepada para santri Pesantren Alkautsar. “Bahkan, santri saya banyak yang lebih pintar dari saya. Mereka mencari ilmu-ilmu baru dari yang saja ajarkan. Itu terbukti ketika ada utusan Arab yang datang ke pesantren, saya yang diminta jadi penerjemah, padahal saya tidak fasih berbicara. Santri saya yang maju,” katanya.
Kedekatan yang dibangun Supardi dengan santri, menimbulkan tali asih. Para santri tidak sekadar menganggap Supardi gurunya, ustaz, tapi orang tua sekaligus kawan. Supardi tempat mengadu mereka, menimba ilmu, dan bercanda. Alkautsar perlahan menjadi besar.
Namun di tengah jalan, terjadi polemik, Supardi tiba-tiba diberhentikan sebagai guru di Alkautsar. Supardi dengan lapang menerima keputusan itu, karena dia merasa tugasnya sudah selesai. Supardi yang legowo, santrinya tidak. Ratusan Santri protes kepada pengurus pondok pesantren, bahkan berunjuk rasa besar-besaran. Mereka tidak mau Supardi pergi.
Bahkan, seratusan santri yang protes, tidak mau lagi melanjutkan pendidikan di Alkautsar, dan memilih ikut Supardi, yang ketika itu berkegiatan di Training Collage. Mereka berduyun-duyun datang ke sana, dan meminta Supardi mengajar mereka.
Membangkangnya para santri dan memilih ikut Supardi menjadi sejarah pendidikan di Payakumbuh. Ini baru pertama ada santri yang melawan. Supardi dituduh sebagai aktor yang memprovokasi para santri, padahal tidak, dia tidak melakukan apa-apa, dan sudah menyuruh para santri untuk kembali ke pesantren, tapi tidak mau. Mereka ingin diajar Supardi. Sempat disidang di Training Collage, Supardi akhirnya dianggap tidak bersalah. Memang santri yang mencintainya.
Setelah rapat mendadak dengan pengurus Training Collage dan Pesantren Alkautsar, akhirnya Training Collage diubah menjadi sekolah dadakan. Para santri kebanyakan ada di tahun akhir, dan mau lulus. Jika tidak belajar, mereka bisa tidak naik tingkat.
Dengan dibukanya sekolah dadakan di Training Collage, santri bertambah ramai datang. Merasa Training Collage tidak cukup lagi menampung, Supardi dan dua orang kawannya, Fasril Arif dan Z Datuak Sipad Rajo Pulutan akhirnya mendirikan sekolah, yang diberi nama SLTP Plus Ibnu Kaldun. Sekolah yang didirikan itu ramai peminat. Sampai sekarang masih eksis. Supardi pendirinya.
Melangkah ke Ranah Politik
Tahun 1998, Partai Bulan Bintang (PBB) yang merupakan penerus Masyumi berdiri. Supardi yang memang berakar dari lingkungan Masyumi diajak masuk ke PBB Cabang Payakumbuh. Di Sumbar, sejumlah tokoh besar bergabung di sana, seperti almarhum H Thamrin Manan SH, almarhum H Saidal Bahauddin, almarhum Ir Djonimar Boer. Supardi masuk dan menjabat Wakil Ketua Bidang Kadernisasi DPC Payakumbuh. Dari PBB dia menjadi anggota Panitia Pemilihan Daerah (PPD) tingkat dua. PPD kini bertransformasi jadi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dulu memang sebagian diisi oleh wakil dari partai politik.
Perjalanan karir Supardi cukup mulus. Dia dekat dengan almarhum Chin Star, tokoh legendaris Payakumbuh, yang pernah menjabat Ketua DPRD Payakumbuh. Supardi seperti anak oleh Chin Star. Segala ilmu politik diberikannya.
Tahun 2004, Supardi menjabat Ketua DPC PBB Payakumbuh, di tahun itu pula dia terpilih menjadi anggota DPRD Payakumbuh, dan duduk di Komisi C. Kenangannya, ketika diambil sumpah, Supardi memakai tongkat. Dia lumpuh, karena terlibat tabrakan hebat di Silaiang. Waktu itu Supardi menjadi ketua tim pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, untuk Kota Payakumbuh. Ketika berkampanye di Padang, Supardi ikut. Sepulang dari sana dia tabrakan. Akibat kecelakaan, Supardi lumpuh setahun. Namun keterbatasan fisik itu tak membuatnya abai dalam mengabdi.
Setelah satu periode yang penuh peluh di DPRD Payakumbuh, Supardi mencoba peruntungan maju ke DPRD Sumbar, bersama PBB. Dia terpilih. Pengabdian dan pengalamannya membuat warga Payakumbuh, Limapuluh Kota mempercayakan amanah kepadanya. Di daerah lain, yang masih satu daerah pemilihan seperti Pasaman dan Pasaman Barat Supardi juga mendapat suara.
Sempat pindah partai ke Gerindra tahun 2013, yang sampai sekarang menjadi tempat naungannya, Supardi masih dipercaya sebagai wakil rakyat. Kini, dia menjabat sebagai Ketua DPRD Sumbar.
Politisi Petarung
Saya mencatat perjalanan politik Supardi, sekaligus mengenalnya sebagai politisi petarung, yang menepikan ego pribadinya, dan mendahulukan hajat hidup orang banyak. Karakter yang demikian ditempa pengalaman, sebagai politisi yang besar di surau dan di pasar. Hidup di surau membuatnya paham agama, besar di pasar menjadikannya paham bagaimana susahnya kehidupan rakyat kecil.
Untuk Ranah Minangkabau, Supardi bermimpi negeri ini kembali menjemput identitasnya sebagai negeri pelahir orang-orang hebat, negeri yang bisa mandiri dan tidak melulu bergantung pada pusat. Sumbar mesti bisa memanfaatkan segala keunggulan dengan baik, agar bisa sejajar dengan daerah lain. Jalan satu-satunya yang dilihat Supardi adalah sektor pariwisata, tidak yang lain. Dengan jabatannya sebagai ketua DPRD, dia mulai merancang impiannya agar ranah ini bisa mandiri.
Kini Supardi yang sudah memiliki dua putri mengancang langkah pengabdian baru untuk Payakumbuh, kota yang dicintainya semati-matinya cinta. Pengabdian yang bisa membuatnya lebih leluasa menumpahkan rasa cintanya. Tahun depan, langkah awal pengabdian akan dimulainya. Saya yakin, langkah Supardi akan disambut riang warga Payakumbuh, seriang hati warga kota yang terus mendampakan perubahan ke arah yang baik. Supardi akan terus berlari membawa impiannya, membawa harapannya. Berkenanlah…. (rel/014)
0 Comments