Perhelatan pesta demokrasi akan digelar serentak di seluruh Indonesia tanggal 9 Desember 2020. Menurut Menteri Dalam Negeri Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian,
"Untuk jadi kepala daerah, bupati, kalau tidak punya Rp30 miliar, tidak berani. Gubernur bisa lebih besar lagi.
Sementara dilihat pemasukan dari gaji Rp200 juta × 12 (bulan) = Rp2.4 miliar. Lima tahun Rp12 miliar. Keluar Rp30 miliar. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali."
Ujarnya dalam rapat bersama Komite I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (18/11/2019).
Bukan rahasia lagi. Bahwa menjelang pemilihan apapun, selalu tercium kabar di telinga masyarakat praktik politisasi agama, politik uang, dan lainnya. Itulah yang menyebabkan biaya politik tinggi.
Dalam upaya menarik suara pemilih (kampanye), para politisi atau parpol pengusungnya sering menarik politik ke wilayah agama. Modus yang dilakukan bermacam cara yakni merangkul pemimpin/tokoh agama, bersilaturahmi ke pondok pesantren (kiai) minta didoakan dengan salam tempel, memberi cendera mata, iming-iming jabatan dan materi. Semua itu bertujuan mendulang suara pemilih umat Islam. Agar menjadi pemenangnya. Bukankah itu merupakan bagian dari sogok (suap) yang diharamkan dalam agama?
Namun, dalam sistem demokrasi demi meraup suara terbanyak, apa pun dihalalkan. Terjadilah deal-deal politik, transaksi-transaksi politik atau lebih tepatnya terjadi kongkalikong. Menjadi wajar jika negara kacau, karena diatur oleh orang-orang yang dijauhkan dari agamanya, yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Betul apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, mengingatkan bahwa politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata, untuk mendapatkan kekuasaan. Tentu
berdampak buruk dan berbahaya. Apabila sudah berkuasa tidak menerapkan sistem agama.
Fakta menunjukkan bahwa ulama dan politisi Islam yang terjerat dalam politisasi agama, tentu merapat dalam kekuasaan. Mereka diperalat atau dijadikan stempel kebijakan rezim, yang justru bertentangan dengan Islam.
Hal tersebut sudah disampaikan jauh sebelumnya oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Juz 2 halaman 238 sebagai berikut:
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”
Wajar jika sistem demokrasi justru menyuburkan politisasi agama. Menjadikan ulama suu' (jahat) yang sesat dan menyesatkan. Seharusnya tugas ulama itu mengontrol dan menasihati penguasa. Semua itu disebabkan negara mengadopsi sekularisme sebagai asas negara. Yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dilarang mengatur kehidupan di ranah publik, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Oleh sebab itu, syariat Islam tidak boleh diterapkan dalam institusi negara.
Dampaknya sungguh luar biasa, terjadi kerusakan di semua lini kehidupan. Sulit untuk mendapatkan pemimpin yang jujur dan amanah. Ketika terpilih sebagai pemenang, yang dipikirkan adalah bagaimana bisa balik modal dan balas budi. Akibatnya terbentuklah pemerintahan demokrasi oligarki. Artinya, penguasa diatur dan dikendalikan oleh cukong-cukong asing dan aseng. Tidak lagi mau memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Bagaimana dengan Politik Agama (Islam)?
Politik agama (Islam) berbeda dengan Politisasi agama yang diharamkan dalam Islam. Adapun politik agama adalah kekuasaan (politik) diatur oleh syariat Islam. Penguasanya menerapkan aturan Islam kafah. Jadi politik tidak dipisahkan dengan agama. Justru politik merupakan bagian integral dari agama.
Hal ini sesuai dengan
definisi politik (as-siyasah) adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan luar negeri berdasarkan syariat Islam.
Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh Negara Islam (khilafah) yang diawasi oleh rakyat (Lihat: Kitab Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, hal.1/Syaikh Taqiyuddin an-Nabhni).
Dalil nas-nas lain tentang pengaturan dan pengurusan umat, di antaranya sabda Nabi saw.
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
"Dulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sangat gamblang, bahwa pemimpin umat yang dimaksud adalah khalifah. Khalifah inilah yang mengatur urusan umat berdasarkan syariat Islam. Oleh sebab itu, wajar jika ulama menyebut bahwa politik dan agama adalah ibarat saudara kembar atau seperti dua sisi mata uang.
Menurut Imam al-Ghazali, "Agama adalah pondasi (asas), dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang." (Lihat: Kitab Al-Iqtishad fi al- I'tiqad, hal. 199 oleh al-Ghazali)
Jadi jelas, bahwa politik agama (Islam) adalah sistem khilafah.
Sebagai umat Islam harus meyakini, bahwa khilafah akan tegak kembali karena janji Allah Swt. dan bisyarah Rasulullah saw.
Khilafah yang dipimpin oleh khalifah inilah, yang akan menerapkan Islam secara kafah (total/sempurna), yang merupakan solusi bagi problematika umat manusia.
Khilafah tidak akan membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap syariat Islam, termasuk politisasi agama. Sebab, semua bentuk pelanggaran ada sanksinya sehingga masalah akan terselesaikan. Bagaimana dengan parpol? Semua parpol harus berasaskan akidah Islam. Jadi jauh berbeda dengan sistem demokrasi-sekuler, kejahatan dan tindak kriminal tidak bisa terselesaikan bahkan semakin bertambah. Sebagai akibat politik dipisah dengan agama.
Saatnya demokrasi sistem kufur kita campakkan, kembali ke sistem Islam (khilafah).
Allah Swt. berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Maidah [5]: 50)
Wallahu a'lam bishshawab.
0 Comments