Wali Kota Bogor Bima Arya Sebut Omnibus Law Permudah Investasi Tapi UU Cipta Kerja Cenderung Mengembalikan Kewenangan Daerah ke Pusat
IMPIANNEWS.COM (Bogor).
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto angkat suara perihal Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin lalu yang belakangan menjadi gaduh tingkat nasional.
“Ada semangat memberikan kemudahan investasi, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, pemberdayaan UMKM dan peningkatan investasi pemerintah serta percepatan proyek strategis nasional untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Bima Arya melalui pesan tertulisnya yang diterima Tempo, Ahad 11 Oktober 2020.
Bima mengatakan ada catatan dirinya selaku kepala daerah sebagai sudut pandangnya terhadap UU Cipta Kerja, yang mana dia ingin melihat ikhtiar yang baik dari Presiden tidak menimbulkan persoalan dalam hal pelaksanaan pemerintahan di daerah. Sebab dia menyebut karena pemerintah daerah tidak secara maksimal dilibatkan dalam proses pembahasan UU ini.
Beberapa hal pun dia sampaikan sebagai catatan penting, diantaranya ada kecendrungan terkikisnya kaidah-kaidah otonomi daerah yang sudah dibangun bangsa ini selama 2 dasawarsa sejak tahun 1999.
“Tanpa proses evaluasi atas pelaksanaan desentralisasi yang melibatkan berbagai pihak terutama pemerintah daerah, UU Cipta Kerja cenderung mengembalikan kewenangan daerah ke pusat,” kata Bima.
Padahal sejak awal, berdasarkan konstitusi, Bima mengatakan filosofi kewenangan tersebut dilaksanakan oleh daerah, karena pemerintah daerah adalah instansi negara yang paling dekat dengan masyarakat agar pelayanan publik terasa lebih efektif, efisien, cepat dan terjangkau.
Betul, Bima menyebut dalam UU Omnibus Law bahwa banyak persoalan terkait dengan pelayanan publik di daerah. “Tapi bukankah ini bagian konsekuensi otonomi daerah yang harus diiringi oleh proses reformasi birokrasi tanpa henti di pusat dan daerah,” kata Bima Arya sambil mengatakan re-sentralisasi ini terlihat pada : Pertama pada Perizinan Berusaha. Izin diberikan pada kegiatan usaha beresiko tinggi mengharuskan persetujuan pemerintah pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. Lalu pembagian kewenangan daerah dan pusat terkait perizinan berusaha berbasis resiko, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Kemudian hal krusial yang perlu mendapat perhatian penting dalam pemberian perizinan adalah pemanfaatan sistem elektronik yang terpusat, yang mana menurut Bima perlu memperhatikan kapasitas daya dukung aplikasi dan infrastuktur teknologi informasi di daerah. “Sejauh pengalaman penerapan Online Single Submission (OSS) sejak 2018, beberapa kali mendapatkan kendala yang berdampak pada terganggunya proses pelayanan di daerah,” ucap Bima.
Kemudian catatan penting lainnya dalam UU ini, Bima mengatakan perihal izin ruang. Yang mana untuk izin Pemanfaatan Ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang, diubah menjadi Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam digital dan sesuai standar sebagai dasar pelaku usaha mendapatkan konfimasi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk dapat mengajukan perizinan berusaha. “Itu tertuang dalam Pasal 14 UU Omnibuslaw,” ucap Bima.
Menurut Bima, dikutip impiannews.com dari Tempo.com, kewajiban ini seharusnya diikuti oleh kemudahan dalam prosedur penetapan RDTR oleh pemerintah pusat, sehingga banyak daerah belum dapat menyelesaikan produk RDTR. Catatan ini sebagai fakta atas tidak tercapainya target yang diamanatkan dalam PP 24/2018, bahwa dalam kurun waktu 6 bulan, Pemerintah Daerah wajib menetapkan RDTR. Karena sejak 2018 hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah belum dapat menyelesaikan produk RDTR.
Hal lain yang perlu mendapat catatan adalah kewenangan daerah mengatur wilayahnya sesuai tata ruang dan menjaga dampak dari aktivitas pemanfaatan ruang akibat adanya kegiatan strategis nasional dapat terabaikan. Hal ini dapat dilihat pada penambahan pasal 34 A dalam UU Penataan Ruang pasal 34 A. Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis belum dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan.
“Perubahan pasal 35 dalam UU 26/2007 pada UU Cipta Kerja ini, telah mengubah aspek pengendalian pemanfaatan ruang dengan menghilangkan aspek perizinan dan diganti dengan ketentuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,” kata Bima Arya menjelaskan.
Kemudian dalam ketentuan pasal 37 UU 26/2007 dirubah menjadi persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. “Hal ini kembali menarik kewenangan Pemerintah Daerah yang sebelumnya dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruangnya,” kata Bima.
Terakhir Bima mengatakan dalam catatannya utuk Omnibus Law ialah perizinan bangunan gedung, yang mana dalam UU Cipta Kerja Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang selama ini menjadi kewenangan daerah diganti menjadi persetujuan Bangunan Gedung yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja, yaitu dengan merubah pasal 6 dalam UU 28/2002 tentang Banggunan Gedung diubah dalam omnibus law seperti dalam angka dua bebunyi Fungsi bangunan gedung dicantumkan dalam Persetujuan Bangunan Gedung. “dan Perubahan fungsi bangunan gedung harus mendapatkan persetujuan kembali dari Pemerintah Pusat,” kata Bima
Bima mengatakan Pasal-pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja diatas memiliki semangat yang berbeda dengan Pasal 18 Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi Pemerintah Daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Lalu menyusun produk hukum turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja berupa 36 Peraturan Pemerintah dan 7 Keputusan Presiden bukanlah perkara mudah, perlu diawasi bersama oleh semua pihak untuk menjamin produk hukum tersebut sesuai dengan amanat konstitusi dan tidak menimbulkan masalah baru dalam implementasi di daerah.
Sehingga dalam menjamin UU itu bejalan sesuai dengan koridor konstitusi, Bima menyebut ada dua opsi yang bisa diambil.
Pertama menguji konsistensi UU Cipta Kerja ini dengan konstitusi kita dengan proses judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
“Lalu ke dua, membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden untuk memastikan aturan turunan memberikan kepastian terkait kewenangan daerah dan pembangunan yang berkelanjutan,” demikian Bima Arya.***
0 Comments