Omnibus Law Disahkan, Phelim Kine: Bertentangan dengan Hukum dan Aturan Internasional, Jangan Indonesia Dijadikan Menjadi Brasil Kedua.
Phelim Kine, Direktur Senior Organisasi Kampanye Lingkungan yang berbasis di Washington D.C. /Get Real Post Philippines/
IMPIANNEWS.COM (Whasington).
UU Ciptaker ini turut menarik perhatian berbagai pihak dan media asing yang juga memberi pandangan terkait Omnibus Law.
Salah satunya adalah Phelim Kine, Direktur Senior Organisasi Kampanye Lingkungan yang berbasis di Washington D.C.
Dia mengatakan, kerusakan lingkungan jangka panjang akan menyabotase keuntungan ekonomi dari sektor agraris.
"Kerusakan lingkungan jangka panjang yang akan menyabotase keuntungan ekonomi dari sektor agribisnis," kata Phelim Kine,dilansir impiannews.com dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari The Diplomat pada Selasa, 20 Oktober 2020.
Omnibus Law mengandung ketentuan yang menghapus perlindungan hukum untuk hutan primer dan meningkatkan risiko deforestasi besar-besaran.
Moratorium deforestasi sebelumnya telah melindungi lingkungan dari kerusakan akibat industri, namun Omnibus Law yang memberi kelonggaran persyaratan untuk penilaian dampak lingkungan untuk proyek industri akan menghilangkan perlindungan yang ada.
Omnibus Law juga menghapus persyaratan resmi bahwa setiap lahan provinsi harus mempertahankan tutupan hutan sebesar 30 persen, namun dengan adanya Omnibus Law aturan ini diganti bukan lagi 30 persen, namun standar itu diganti dengan ‘secara proporsional’.
Hal ini berisiko meningkatkan terjadinya kabut asap regional dari kebakaran hutan dan atau perkebunan dengan mencabut tanggung jawab hukum yang ketat terhadap perusahaan yang menyebabkan kebakaran tersebut.
Ketetapan ini berpotensi adanya dampak bencana, termasuk kerusakan total tutupan hutan alam di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah selama tiga dekade mendatang.
Unsur hukum yang pro deforestasi ini tentu membahayakan hutan hujan Indonesia yang tersisa saat ini. Hal ini bertentangan dengan model pembangunan ekonomi ‘pertumbuhan hijau’ yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Elemen dalam Omnibus Law yang pro deforestasi ini secara efektif akan membalikkan pencapaian pemerintah Indonesia dalam perlindungan hutan selama beberapa tahun terakhir.
Padahal, sebelumnya Indonesia mampu mengurangi deforestasi selama dua dekade sejak 2020 melalui moratorium tentang perlindungan lingkungan.
Berbagai perusahaan minyak sawit di Indonesia, salah satunya Astra Agro Lestari, sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua di Indonesia bersama Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sangat mendukung adanya UU baru ini dengan alasan untuk kepentingan sektor minyak sawit nasional.
Phelim Kine menyatakan bahwa pemerintah Indonesia dan elemen-elemen ‘nakal’ dari sektor minyak kelapa sawit rupanya telah salah melakukan penafsiran.
Hal ini disebabkan ketentuan baru dalam UU tersebut cenderung menstigmatisasi Indonesia di kalangan investor dan importir yang saat ini sudah semakin sadar akan standar kelestarian lingkungan.
Koalisi Kelompok Lingkungan dan Masyarakat Sipil Indonesia pada bulan Juli memperingatkan melalui surat publik kepada investor domestik maupun internasional bahwa RUU Omnibus Law saat itu, dan yang saat ini telah disahkan, tidak lagi mematuhi hukum dan peraturan mengenai perlindungan lingkungan dan sosial yang diterima secara global.
Di bulan yang sama, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, bernama Satu Kahkonen, memperingatkan bahwa Omnibus Law akan menjauhkan Indonesia dari penerapan praktik terbaik dalam perlindungan lingkungan.
Pada 5 Okotber, sekelompok investor global yang mengelola aset sebesar 4.1 triliun dolar juga mengeluarkan surat kepada pemerintah Indonesia yang menyatakan keprihatinan mereka terhadap dampak negatif dari berkurangnya perlindungan lingkungan akibat Omnibus Law.
Sektor minyak sawit juga rentan terkena pukulan balik dari importir akibat ketentuan lingkungan yang salah dari UU Ciptaker tersebut.
Uni Eropa dan Inggris sebagai importir terbesar minyak kelapa sawit saat ini semakin menyadari dan memperketat standar lingkungan untuk impor bidang pertanian, termasuk minyak kelapa sawit.
Sebanyak 21 perusahaan internasional termasuk McDonald’s, Nestle, Tesco, dan Unilever juga mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah Inggris untuk memperpanjang aturan mengenai impor pertanian yang anti deforestasi sebagai akibat dari semakin maraknya deforestasi legal dan ilegal.
Pemerintah Indonesia dinilai telah membuat kesalahan strategis yang besar dengan menerapkan pemecahan masalah ekonomi yang didasarkan pada eksploitasi lingkungan yang kejam demi keuntungan ekonomi.
Pemerintah Indonesia dapat mengatasi kesalahan tersebut dengan merumuskan peraturan turunan atau aturan pelaksanaan khusus yang dilakukan melalui konsultasi dengan organisasi lingkungan dan masyarakat untuk mengurangi sampak buruk terhadpa hutan negara.
Sektor swasta, khususnya perusahaan minyak sawit, harus menahan diri untuk tidak memanfaatkan standar lingkungan yang rendah dalam Omnibus Law dan harus bersikap sebaliknya, yakni ketat terhadap kebijakan NDPE (No Deforestation, No Peat, and No Exploitation).
Kegagalan dalam menerapkan NDPE akan menyeret Indonesia menjadi Brazil nya Asia, yakni dengan sengaja menukar kekayaan lingkungan dengan abu dan kabut untuk pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang merusak diri sendiri.***
0 Comments