Ombudsman dan Peranannya dalam Peningkatan Pelayanan Publik
Oleh: Wilson Lalengke
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan Pelayanan Publik tertentu, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (1). Ombudsman Republik Indonesia secara struktural memiliki Kantor Pusat di tingkat nasional, dan kantor-kantor perwakilan di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Berdasarkan UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, lembaga ini dibentuk dengan satu tugas utama, yakni mengawasi kinerja para penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat. Dalam hal terjadi perselisihan atau sengketa antara lembaga pelayan publik dengan warga yang tidak puas dengan layanan publik yang diterimanya, maka menjadi tugas dan kewenangan Ombudsman untuk menyelesaikannya, baik melalui mediasi, ajudikasi, konsiliasi, maupun penetapan rekomendasi penyelesaian bagi instansi terkait (2).
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (3).
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan, usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya (4). Lebih lanjut, dalam UU No. 25 tahun 2009 tersebut juga disebutkan bahwa dalam pelayanan publik yang terkait dengan barang dan jasa, dititik-beratkan pada proses pengadaan dan penyaluran barang dan jasa oleh para penyedia layanan publik yang anggarannya dibiayai oleh APBN maupun APBD. Sementara, pelayanan administratif meliputi tindakan administratif pemerintah dan non-pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara (5).
Menilik betapa pentingnya pemenuhan pelayanan publik oleh pemerintah dan penyelenggara negara serta lembaga penyedia layanan publik lainnya kepada setiap warga negara dan penduduk yang ada, maka penyusunan standar minimal layanan publik sudah semestinya ditetapkan dan diterapkan di setiap item pelayanan publik. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018 menyatakan bahwa standar pelayanan minimal meliputi jenis dan mutu pelayanan dasar yang wajib disediakan atau diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal (6).
Ombudsman sebagai sebuah lembaga negara, sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, pada hakekatnya harus menjadi back-bone atau tulang punggung bagi rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak mereka mendapatkan pelayanan publik yang terbaik dari pemerintah dan penyelenggara negara ini. Untuk itu, diperlukan sebuah mekanisme pengawasan yang handal melalui sebuah sistem informasi yang memungkinkan Ombudsman mengetahui segala gerak langkah pelayanan yang diberikan pelayan publik kepada masyarakat di seluruh wilayah NKRI.
Dari berbagai survey tentang kepuasan publik atas layanan publik yang disediakan pemerintah, hampir dipastikan bahwa tingkat kepuasan publik masih berkisar antara 40 hingga 50 persen populasi menyatakan puas. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas layanan publik yang diterima masyarakat masih belum memadai. Lebih daripada itu, penyediaan layanan publik yang baik masih belum merata bagi setiap warga negara dan penduduk di negeri ini.
Pada konteks inilah sesunggunya, peran Ombudsman perlu dimaksimalkan dalam memainkan peranannya memastikan bahwa setiap warga masyarakat mendapatkan haknya, yakni menerima pelayanan yang terbaik dari pemerintah dan penyelenggara negara serta pihak lainnya yang ditugaskan oleh undang-undang. Ombudsman sudah pada tempatnya untuk bergerak lebih progresif dalam memantau, mengamati, meneliti, mengontrol, dan mengawasi setiap penyelenggara pelayanan publik. Ombudsman juga diharapkan dapat mengambil inisiatif dalam membantu masyarakat mendapatkan haknya atas layanan publik minimal yang seharusnya mereka dapatkan.
Pada sisi lain, masyarakat juga perlu menyadari bahwa mereka mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan publik yang terbaik dari pemerintah dan penyelenggara negara. Secara internasional, hak mendapatkan pelayanan publik yang terbaik dari pemerintah telah ditetapkan dalam Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005. Artinya, setiap warga negara dapat menuntut haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang terbaik dari pemerintah pusat maupun daerah dan/atau dari setiap lembaga serta perorangan yang diberi tugas oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pelayanan publik.
Sebagai pembayar pajak, setiap orang sudah sewajarnya memperjuangkan haknya mendapatkan imbal balik dari negara, yakni berupa pelayanan publik yang baik, setidaknya sesuai standar layanan publik minimal. Tanpa perjuangan yang serius, tidak jarang para pelayan publik itu justru memberikan layanan yang seadanya, yang tentu saja berakhir pada ketidak-puasan penerima layanan publik.
Ketika terjadi pengingkaran para pelayan publik atas tugasnya memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan publik minimal, maka setiap warga masyarakat semestinya menginformasikan pengalaman buruknya itu kepada lembaga Ombudsman. Terutama terkait dengan maladministrasi yang sering sekali dialami oleh masyarakat.
Sesuai Peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017, setiap warga masyarakat dapat menyampaikan laporan kepada Ombudsman. Ombudsman menerima laporan yang disampaikan dengan cara datang langsung, surat dan/atau surat elektronik, telepon, media sosial, dan media lainnya yang ditujukan langsung kepada Ombudsman. Ombudsman juga dapat menerima laporan yang disampaikan oleh pihak lain sebagai kuasa pelapor dalam hal pelapor tidak dapat menyampaikan laporannya secara langsung kepada Ombudsman dengan menyertakan bukti surat kuasa (7).
Sebagai panduan dalam menelaah ada-tidaknya unsur maladministrasi dalam suatu pelayanan publik, maka setiap warga dapat menilai atau mengukurnya dari sisi pelaksanaan asas-asas pelayanan publik. Sesuai UU Nomor 25 tahun 2009 tengan Pelayanan Publik, ditetapkan bahwa asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah mencakup: kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, dan kecepatan, kemudahan, serta keterjangkauan (8).
Secara rinci, melalui Peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017, sangat jelas diterangkan beberapa bentuk maladministrasi yang sering terjadi dalam implementasi pelayanan publik di masyarakat, yang semestinya dilaporkan kepada Ombudsman, adalah sebagai berikut:
a. Penundaan berlarut, merupakan perbuatan mengulur waktu penyelesaian layanan atau memberikan layanan melebihi baku mutu waktu dari janji layanan;
b. Tidak memberikan pelayanan, merupakan perilaku mengabaikan tugas layanan sebagian atau keseluruhan kepada masyarakat yang berhak atas layanan tersebut;
c. Tidak kompeten, merupakan penyelenggara layanan yang memberikan layanan tidak sesuai dengan kompetensi;
d. Penyalahgunaan wewenang, merupakan perbuatan melampaui wewenang, melawan hukum, dan/atau penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari tujuan wewenang tersebut dalam proses Pelayanan Publik;
e. Penyimpangan prosedur, merupakan penyelenggaraan layanan publik yang tidak sesuai dengan alur/prosedur layanan;
f. Permintaan imbalan, merupakan permintaan imbalan dalam bentuk uang, jasa maupun barang secara melawan hukum atas layanan yang diberikan kepada pengguna layanan;
g. Tidak patut, merupakan perilaku yang tidak layak dan patut yang dilakukan oleh penyelenggara layanan publik dalam memberikan layanan yang baik kepada masyarakat pengguna layanan;
h. Berpihak, merupakan keberpihakan dalam penyelenggaraan layanaan publik yang memberikan keuntungan dalam bentuk apapun kepada salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya atau melindungi kepentingan salah satu pihak tanpa memperhatikan kepentingan pihak lainnya;
i. Diskriminasi, merupakan pemberian layanan secara berbeda, perlakuan khusus atau tidak adil di antara sesama pengguna layanan; dan
j. Konflik kepentingan, merupakan penyelenggaraan layanan publik yang dipengaruhi karena adanya hubungan kelompok, golongan, suku atau hubungan kekeluargaan baik secara hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan sehingga layanan yang diberikan tidak sebagaimana mestinya (9).
Kerjasama yang instens dan dinamis antara warga masyarakat dengan Ombudsman diyakini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan publik dari penyelenggara layanan publik kepada masyarakat. Informasi dan laporan masyarakat sangat diperlukan oleh lembaga Ombudsman dalam memonitor pelaksanaan tugas pelayanan publik di tengah masyarakat. Tanpa adanya suplai informasi, data, dan laporan dari masyarakat kepada Ombudsman, niscaya lembaga ini tidak dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Untuk mendorong terwujudnya tata kelola pelayanan publik yang baik di segala sektor, perlu dipikirkan untuk membentuk suatu jaringan kemitraan yang melibatkan semua stake holder, termasuk di dalamnya warga masyarkat luas secara individual, kelompok-kelompok masyarakat, Kementerian/Lembaga, serta kalangan media massa. Ombdusman yang diberi tugas dan wewenang pengawasan pelayanan publik oleh undang-undang, sudah pada tempatnya menjadi leading sector yang merupakan lokomotif perubahan paradigma pelayanan publik. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang ditugaskan undang-undang menyusun bentuk, jenis dan standar pelayanan minimal, harus menjadi partner utama Ombudsman dalam kolaborasi masif ini.
Pada akhirnya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, partisipasi masyarakat, sebagai pihak penerima manfaat pelayanan publik, dalam memberikan informasi dan laporan kepada Ombdusman akan menjadi penentu peningkatan kualitas pelayanan publik di tanah air. (*)
*Referensi:*
1. UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
2. UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.
3. UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
4. Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
5. Pasal 5 ayat (3) dan (4) UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM).
7. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2017.
8. Pasal 4 UU Nomor 25 tahun 2009.
9. Pasal 11 Peraturan Ombudsman RI 26 tahun 2017. (wls/tf)