Goresan Gamawan Fausi, Uni Puan Membuka Lembaran Sejarah Bangsa ini, "Pancasila"
IMPIANNEWS.COM -- Pernyataan Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP Puan Maharani, yang juga Ketua DPR RI, agar Sumatera Barat menjadi provinsi pendukung negara Pancasila yang menuai protes keras dalam beberapa hari terakhir, bahkan kini berkembang menjadi bola liar, harus segera disudahi.
Demikian pandangan tokoh Minangkabau, Sumatera Barat, Dr H Gamawan Fauzi Datuak Rajo Nan Sati, yang juga mantan Menteri Dalam Negeri RI.
"Saya penghulu, datuak di kampuang halaman, sebagai ninik mamak harus bisa melihat dari sisi yang jernih. Manusia bisa salah, bisa lupa, itu sunatullah. Karena itu, kita lihat dari sudut lain soal Uni Puan.
Urang Minang itu tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang. Tak ado kusuik nan tak salasai," ujar Gamawan, Minggu (6/9).
Apalagi, dari banyak goresan tulisan yang mencuat beberapa hari terakhir, Puan Maharani, ternyata kental darah Minangnya.
"Kalau kedua pihak sudah merasa ba dunsanak, habis adaik jo bakarilahan. Kusuik-kusuik bulu ayam dalam keluarga, sesuatu yang biaso. Raso badunsanak kita bangun. Kuncinya raso. Untuk Uni Puan, sederhana saja.
Kalau salah langkah, dielo suruik. Kalaupun tak minta maaf, jelaskan apa yang dimaksud, supayo tarang bak hari," ujar Gamawan.
Pernyataan Puan memang menuai badai. Tak hanya politisi, tokoh Minang, niniak mamak hingga ulama angkat suara menentang. Di Sumbar sendiri pernyataan Puan berujung amat dahsyat, hingga PDIP pun menyatakan hengkang dari prosesi dan kontestasi Pilkada yang segera dihelat Desember mendatang.
Meski pernyataan Puan 'melukai' warga Minang, namun Gamawan yang memposisikan diri sebagai ninik mamak panghulu di kaumnya, berharap masyarakat Minang dapat menarik hikmah dari persoalan yang mengemuka ini. Dia berharap dengan mengedepankan rasa, memahami tak ada gading yang tak retak, maka hubungan yang harmonis dapat kembali tercipta.
Harapan itu bahkan ditorehkan Gamawan Fauzi dalam tulisannya, 'Memandang Uni Puan dari Sisi Lain'.
Berikut tulisan lengkap Gamawan Fauzi.
'Memandang Uni Puan dari Sisi Lain', Siapa yang menduga kalau ucapan Mbak Puan kali ini mendapat perhatian yang begitu luas. Bukan hanya di kalangan masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau, tapi dari berbagai suku bangsa dan dari banyak unsur masyarakat Indonesia.
Saya mencermati banyak tulisan dan pandangan di Youtube dan media sosial. Pendapatnya pun beragam. Ada yang geram, ada yang menyesali bahkan ada juga yang menggurui, agar mbak Puan belajar banyak tentang sejarah Indonesia.
Tapi seperti biasa, ada juga yang membela, menafsirkan, dan menggeser geser sedikit materi dan menyalahkan yang lain.
Seorang Ade Armando yang konon juga berdarah Minang justeru mempertanyakan, apa yang salah dari himbauan Puan?
Menarik bagi saya pandangan saudara Hasril Chaniago yang jernih, datar dan nyaris tanpa emosi
seperti dimuat lengkap di youtube.
Hasril sekedar bercerita tentang silsilah mbak Puan, tentang
karakter, kurenah, sikap dan filosifis orang Minang yang diperkaya dengan berbagai peristiwa masa lalu Bung Karno terkait Minangkabau dan optimismenya, bahwa semua ini pada gilirannya juga akan selesai dengan baik dan akan melahirkan kembali harmoni, "Biduak Lalu Kiambang Batawik ".
Saya sedikit agak merasa surprise, ketika Arteria Dahlan, seorang anggota DPR RI kader PDI
yang konon juga berdarah Minang, mengajak masyarakat Minang untuk menahan diri. Karena
yang saya tahu, dalam banyak diskusi yang saya saksikan di televisi justru dia sering tak mampu
menahan diri, terkesan emosi, bahkan pernah "menyerang" Pak Emil Salim dengan nada tinggi
dalam sebuah diskusi dalam acara Mata Najwa.
Saya pikir, mungkin kini dia sudah berubah. Saya percaya, bahwa dalam setiap peristiwa,
Tuhan mempunyai maksud dan tujuan yang tak selalu dapat dipahami manusia pada awalnya.
Manusia seringkali tersadar, setelah semuanya berlalu. Kemudian menjadi mahfum, ooo ini rupanya hikmah dibalik semua peristiwa yang berlalu.
Menjelang kita nanti tahu apa ujung dari semua ini, setidaknya, saya merasa bahwa ucapan mbak
Puan, telah memantik hati banyak orang untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah
Indonesia masa lalu, utamanya saat perjuangan menegakkan kemerdekaan, saat merumuskan
ideologi bangsa, yaitu Pancasila sebagai way of life, grund norm, sumber dari segala Sumber
Hukum.
Indonesia akan disegarkan kembali dengan sejarah yang mulai terlupakan setelah. puluhan tahun terlewati. Saya amat yakin, bahwa tak banyak manusia Indonesia yang memiliki buku sejarah lengkap tentang proses lahirnya Pancasila.
Tak banyak yang memiliki Naskah Konstitusi, apalagi pemahaman tentang bagaimana hangatnya diskusi para founding father
menjelang Indonesia menjadi sebuah bangsa Merdeka, bagaimana pemikiran pemikiran cerdas dan bernas yang muncul dari tokoh-tokoh bangsa sekelas Bung Karni, Hatta, Soepomo, Radjiman Widio Diningrat, St. Syahrir, Moh. Yamin, Natsir, dan lain-lainnya ketika sidang BPUPKI, PPKI sebelum hari Kemerdekaan dan rapat Panitia Sembilan 18 Agustus 1945.
Saya kebetulan mempunya naskah yang cukup lengkap, dan 3 jilid buku dengan judul "Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945", yang pernah saya baca 40 tahun lalu itu, kembali saya ulang membaca dan memahaminya.
Tak berhenti sampai di situ, reaksi yang muncul atas ucapan Mbak Puan, beberapa hari lalu
itu, memunculkan pula keingintahuan publik siapa sesungguhnya sosok mbak Puan, yang kini menjabat Ketua DPR RI itu lebih dalam, sampai kepada ayahnya, ibunya, bahkan kakek neneknya dari pihak ayah dan dari pihak ibu. Uni Puan.
Bila benar narasi yang saya baca, bahwa dalam perspektif Matrilineal yang dianut masyarakat
Minangkabau, sesungguhnya ibunya mbak Puan adalah anak dari seorang wanita yang bernama
Fatmawati yang dilahirkan dari rahim seorang wanita asal Nagari Indropuro Kabupaten Pesisir
Selatan Sumatera Barat yang bernama Siti Chadijah, dan ayahnya bernama Hasan Din, seorang
tokoh Muhamadiyah yang merantau ke Bengkulu dari Indropuro Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Maka, Puan sangat berhak untuk dikatakan sebagai orang Minang. Bertali darah dan bertali adat. Terlepas mbak Puan mau mengakui atau tidak.
Dari garis keturunan ayah/patrilineal, mbak Puan adalah anak dari Bapak Taufik Kiemas Datuak Batuah, yang ibunya berasal dari Nagari Sabuak Andaleh Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Dengan demikian, secara sah dan meyakinkan, sesungguhnya Mbak Puan adalah wanita Minang,
seorang Bundo Kanduang dan bisa bergabung dalam berbagai organisasi Minang seperti Gebu
Minang, Bundo Kanduang, Minang Saiyo, Indo Jalito dan banyak organiasi Minang lainnya, jika
beliau mau.
Maka panggilan Mbak di depan nama Puan itu, bisa kita geser sedikit dengan sebutan Uni.
Mana kita tahu rahasia Allah , kelak, entah kapanlah, tiba-tiba Uni Puan, begitu dekatnya jiwanya dengan Minang, setelah peristiwa ini.
Lalu tiba-tiba beliau menjadi ketua salah satu paguyuban
Minangkabau, aktif di situ, sering pulang kampung, paham seluk beluk adat dan budaya Minang,
lalu beliau seperti Limpapeh Runah Nan gadang, umbun puruik ceti bunian, yang bajalan siganjua
lalai, pado pai suruik nan labiah, alu tataruang patah tigo, samuik dipijak indak mati. Beliau juga di hormati dalam kaumnya sebagai seorang Bundo Kanduang.
Jadi, jika kita marah, maka marah sajalah sekedarnya kepada Uni Puan, jika kita sayang, maka sayangilah, jangan berlebihan. Allah tak suka sesuatu yang berlebih-lebihan.
Dan jika Allah mau merubah keadaan, tak seorangpun manusia bisa menghalangi. Bila Allah berkehendak, juga tak seorangpun dapat menghambatnya.
Kita amat tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Bisa saja apa yang terjadi di hari ini, adalah awal dari skenario Allah, agar Uni Puan kemudian
merasa badunsanak dengan orang Minang, bahkan lebih Minang dari Minang.
Pada saat itu, namanya akan disebut-sebut orang banyak, dirindukan oleh sanak, urang kampuang dan sahabatnya. Bilo Uni Puan pulang kampuang? Kami lah rindu.
Lalu Uni Puan menikmati hidup dalam suasana sosial budaya Minang, berhijab, bertadarus
dengan teman-teman, ikut bergotong royong, bertadarus di bulan Ramadhan dan aktif ikut
pengajian bersama-sama sahabat beliau se kampung.
Bila melihat perjalanan hidup manusia, banyak hal yang kadang tak terduga. Berapa banyak
di antara musuh-musuh Rasulullah dan yang sangat membenci beliau, di kemudian hari menjadi
sahabat beliau yang setia.
Dalam kehidupan politik juga demikian, bahkan tak jarang kelompok oposisi kemudian menjadi pendukung setia, bukan hanya di negeri ini, tapi juga di berbagai belahan dunia.
Dalam kisah romatis, dua orang anak manusia laki-laki dan perempuan yang saling membenci,
kemudian saling menyayangi sampai berlabuh di pelaminan, seringkali kita temukan dalam
kehidupan nyata.
Itulah yang menurut Bung Hasril Chaniago, berawal dari basilang kayu dalam tungku, kelak melahirkan harmoni.
Dalam persoalan Uni Puan, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Manusia bisa berubah kapan saja. Peristiwa seringkali membawa hikmah.
Meskipun mungkin selama ini seperti dikatakan Sutan Syahrir, seorang tokoh pendiri Republik Indonesia asal Minang juga, bahwa orang Minang punya sifat kosmopolitan yang mungkin juga berlaku bagi Uni Puan, tapi suatu saat beliau bisa saja merasa memerlukan identitas kedaerahan.
Bukankah makin mengglobal kehidupan manusia, maka mereka semakin memerlukan kampung halaman.
Kalau itu terjadi, maka mungkin Ibu Mega tak perlu lagi bertanya, kenapa rakyat Sumbar belum menerima PDI?
Saya teringat Alquran surat Al An'Am ayat 32 yang artinya, Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain main-main dan senda gurau belaka, dst...
Salam buat Uni Puan (*)