Dasarnya, antara lain, rokok tembakau telah terbukti merusak kantong udara di paru-paru di mana oksigen dipertukarkan ke dalam darah. Para perokok juga biasa mengalami flu dan demam yang lebih parah.
Selain kebiasaan merokok menahun yang juga bisa mengantar kepada emphysema, sebuah penyakit paru obstruktif kronis.
Tapi, data yang muncul dari negara-negara yang pertama dilanda epidemi Covid-19 membuat para dokter tertegun. Data yang ada menunjukkan proporsi para perokok di antara pasien yang dirawat intensif di rumah sakit lebih rendah daripada proporsi perokok di antara masyarakat umum.
Di Cina, misalnya, hanya sekitar delapan persen pasien Covid-19 di rumah sakit yang perokok. Padahal di dalam masyarakatnya, jumlah perokok mencapai 26 persen. Angka atau proporsi di Italia serupa dengan di Cina, yakni 8 berbanding 19 persen.
Para peneliti Cina mengembangkan sistem kecerdasan buatan artificial intelligence atau AI untuk mempercepat diagnosis COVID-19 dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai dampaknya terhadap paru-paru.
“Datanya seperti berulang di negara yang berbeda,” kata Alberto Nájera di University of Castilla-La Mancha, Spanyol. Dia dan timnya menganalisis angka-angka dari 18 laporan pertama tentang para perokok di antara pasien Covid-19.
Menurut Alberto, nikotin menekan kecenderungan sistem imun tubuh bereaksi berlebih atas kehadiran virus hingga menyebabkan badai sitokin, sebuah respons peradangan yang malah bisa mematikan.
Teori berbeda disampaikan Jean-Pierre Changeux di Pasteur Institute, Paris, Prancis. Dia menduga, nikotin berperan menurunkan kadar molekul protein ACE2 di sel paru-paru. Protein itu yang dicari virus corona untuk menambatkan diri lalu menginfeksi sel.
Tapi, studi-studi yang sama juga melaporkan kalau jumlah pasien perokok lebih banyak di antara mereka yang sudah telanjur parah dan meninggal. Ini menambah keraguan kalau nikotin benar-benar bisa melindungi perokok dari penyakit virus corona 2019 tersebut.
Beberapa kalangan juga menyuarakan keraguannya terhadap akurasi dari laporan-laporan studi yang sama.
“Beberapa orang bisa saja berhenti merokok sejak terjadi pandemi lalu dicatat sebagai bukan perokok dalam studi itu,” kata Nick Hopkinson dari Imperial College London, Inggris.
Menurutnya, spekulasi berkembang di negara seperti Italia, di mana kapasitas tempat tidur pasien perawatan intensif selalu kurang, kalau beberapa pasien berbohong tentang kebiasaan merokok.
Eleanor Murray dari Boston University, Amerika Serikat, lebih mempertanyakan validitas perbandingan yang digunakan antara para perokok di antara pasien dengan proporsinya di tengah masyarakat umum.
Pasalnya, kebanyakan pasien Covid-19 yang tergolong parah dan harus dirawat intensif di rumah sakit adalah orang tua. “Dan orang tua memang banyak yang tak merokok lagi,” katanya.
Ketimbang metode data perbandingan itu, Eleanor menggunakan sebuah aplikasi yang diunduh 1,5 juta orang di Inggris untuk melacak jawaban pertanyaan yang sama.
Temuannya belum dipublikasikan, tapi menduga kalau para perokok 25 persen lebih berisiko terinfeksi virus corona Covid-19. Tapi metode ini pun hanya berdasarkan pengakuan, bukan hasil tes medis.
Sebuah studi terbaru lalu menelisik catatan medis dari 17 juta orang dewasa di Inggris untuk mencari faktor risiko terkait peristiwa pasien sekarat karena Covid-19. Hasilnya, untuk para perokok, faktor itu berubah bergantung faktor risiko lain yang menyertai.
“Klaim kalau merokok bisa melindungi dari Covid-19 sangat menarik, tapi masih teka teki,” kata Eleanor. ***