Hj. Syaflinda |
IMPIANNEWS.COM
Kendatipun sudah mulai berkurang, pemahaman tidak elok melangsungkan pernikahan dalam rentang waktu pasca Idul Fitri sampai Idul Adha masih mengakar kuat dalam masyarakat. Di Minang Kabau dikenal dengan sebutan Nikah diapik duo katubah ( diapit dua khutbah).
Kenyataannya angka peristiwa nikah naik secara signifikan setelah Idul Adha hampir di seluruh kecamatan. Waktu ini dipandang sangat bagus untuk melangsungkan pernikahan. Sehingga masih ada orang tua yang menolak keinginan anaknya untuk menikah di bulan Syawal, Zulkaedah dan 10 hari pertama bulan Zulhijjah. Walaupun segala persiapan telah disiapkan si anak secara matang.
Sebaliknya, ada pula orang tua yang memilih menyegerakan akad nikah anaknya di bulan Ramadhan untuk menghindari waktu diapik duo katubah tersebut. Meskipun menurut segelintir orang menikahkan anak di bulan Ramadhan punya resiko tersendiri.
Begitulah upaya menghindari waktu diapik duo katubah. Meskipun anak berpendidikan tinggi namun tak mampu berargumentasi di depan orang tua dan keluarga besarnya. "Dari pada bertengkar buk" begitu jawaban calon pengantin ketika ditanya kenapa harus menunda pernikahan mereka hingga selesai Idul Adha.
Rumah tangga tidak akan bahagia, tidak bertahan lama, bahkan pasangan pengantin cepat meninggal dunia. Itulah keyakinan di antara akibat buruk jika seseorang tetap menikah di antara dua hari Raya tersebut.
Padahal, keyakinan itu tidaklah benar, bahkan bisa termasuk bid’ah dan kesesatan yang tidak ada landasannya dalam syariat dan tidak ditunjukkan dalam Kitab dan Sunah.
Karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits muttafaq alaih dari Abu Hurairah radhiallahu anhu menyebutkan dalam haidts Jibril yang panjang, beliau bersabda, “Ada lima perkara yang tidak diketahui selain Allah, kemudian beliau membaca ayat;
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (رواه البخاري، رقم 48 ومسلم، رقم 10)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” SQ. Luqman: 34. HR. Bukhori, no. 48 dan Muslim, no. 10.
Keyakinan bahwa pernikahan pada masa tersebut menyebabkan kematian merupakan pengakuan terhadap perkara gaib. Siapa yang mengaku-ngaku mengetahui perkara gaib adalah pendusta. Karena itu di antara tokoh thagut adalah mereka yang mengaku mengetahui perkara gaib.
Selain itu, perkara ini dapat membuat cacat pada keimanan, karena di dalamnya tidak meyakini adanya qadha dan qadar. Karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas yang saat itu masih kecil, beliau bersabda,
وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الأَقْلامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ (رواه الترمذي ، صفة القيامة ، رقم 2440)
“Ketahuilah, jika umat ini berkumpul untuk mendatangkan suatu manfaat bagi dirimu, niscaya mereka tidak dapat mendatangkan manfaat bagi dirimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mendatangkan suatu keburukan bagimu, niscaya mereka tidak dapat mendatangkan keburukan bagimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu.” (HR. Tirmizi, Sifatul Qiyamah/2440, dishahihkan oleh Al-Albany dalam sunan Tirmizi, no. 2043)
وجاء في الحديث عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ...(رواه مسلم ، باب القدر، رقم 4797)
Disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah mencatat ketentuan para makhluk limapuluh tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.” (HR. Muslim, no. 4797)
Selanjutnya, dalam keyakinan tersebut terdapat cacat bagi tauhid dan kesempurnaannya, karena di dalamnya ada keyakinan sial. Telah diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لا عَدْوَى وَلا طِيَرَةَ وَلا هَامَةَ وَلا صَفَرَ (رواه البخاري ، الطب / 5316)
“Tidak ada penyakit menular (yang menular dengan sendirinya), tidak ada keyakinan sial tidak ada burung hantu dan tidak ada bulan safar (yang dianggap membawa kesialan).” (HR. Bukhori, At-Tibb/ 5316).
Dari sisi realitas praktis, kita dapatkan bahwa keyakinan khurafat ini terbantahkan oleh sunah nabi yang shahih. Yaitu dengan pernikahan makhluk Allah paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dengan isterinya yang paling dia cintai, yaitu sayyidah Aisyah radhiallahu anha. Pernikahan mereka terjadi di antara dua Id, dan Aisyah merupakan isteri beliau yang paling mendapatkan kebaikan dari Rasulullah SAW. bahkan dia sendiri (Aisyah) yang membantah keyakinan jahiliyah tersebut dengan berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan menggauliku di bulan Syawal, tidak ada isteri Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang lebih berutung dariku.”
Urwah bin Zubair berkata, “Aisyah berpendapat disunahkan seorang suami menemui isterinya di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423)
An-Nawawi berkata, “Di dalamnya terdapat kesimpulan disunahkannya menikah dan menggauli isteri di bulan Syawal. Ulama dari kalangan kami telah menyatakan kesunahannya dan berdalil dengan hadits ini. Aisyah bermaksud dengan ucapannya sebagai bantahan terhadap keyakinan masyarakat jahiliah dan sikap sebagian masyarakat awam yang enggan melakukan pernikahan atau menggauli isterinya di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan batil dan merupakan keyakinan peninggalan jahiliah. Mereka merasa Syawal mendatangkan kesialan karena di antara makna Syawal adalah ‘al-isyalah’ dan ‘ar-rafa’ (Syarah Muslim, 9/209)
Dapat disimpulkan bahwasannya tidak ada larangan menikah apabila dilaksanakan di antara dua hari raya dalam ajaran Islam. Jika itu menyangkut adat istiadat, hendaknya ditinjau kembali, apakah adat tersebut sudah selaras atau bertentangan dengan ajaran syariat. Sebab, adat yang tidak senafas dengan Islam, janganlah dipelihara. Wallahu a'lam bishshawab. (014)