Dalam teori perang Sun Tzu, ada 3 hal yang harus kita kenali dan kuasai sebelum melakukan peperangan, yaitu kenali diri sendiri, kenali lawan dan kenali kondisi wilayah atau arena perang (wilayah). Setelah mengenali 3 hal tersebut, hal selanjutnya yang mesti dilakukan adalah bagaimana mengemas sebuah situasi agar kelemahan kita tertutupi dengan mendongkrak sisi baik (kekuatan) yang kita miliki, sebaliknya juga menguatkan sisi lemah lawan dengan menutupi sisi – sisi baiknya. Selanjutnya, mengemas situasi arena perang agar lebih menguntungkan kita secara politik.
Mengenai bagaimana cara dan taktis yang harus dilakukan guna menyusun strategi tersebut, Sun Tzu kemudian mengemasnya melalui buku 36 Strategi yang dikarangnya beberapa abad yang lalu, yang kemudian memaparkan secara lebih detail bagaimana cara dan taktik yang harus dilakukan guna mewujudkan kemenangan dalam peperangan.
Hal menarik yang diajarkan oleh Sun Tzu melalui buku 36 Strategi tersebut adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah Playing Victim, yaitu teknik memposisikan diri sebagai korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan. Taktik tersebut ditulis tepatnya pada strategi nomor 34, yang berbunyi “Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman”. Dengan membuat musuh terkelabui, otomatis kita jadi lebih leluasa untuk menyerang musuh disaat kondisi mereka sedang lalai. Dalam peperangan, menyerang musuh dalam keadaan santai akan terasa jauh lebih mudah, karena musuh berada dalam posisi belum mempersiapkan strategi apapun untuk melawan kita yang dipandang sedang dalam kondisi lemah oleh lawan.
Didalam novel Angel and Demons karya Dan Brown, bermain taktik politik melalui Playing Victim juga ditunjukkan oleh salah satu tokoh antagonis didalam novel tersebut. Dalam salah satu bagian novel diceritakan bahwa menjelang pemilihan Paus yang baru, salah satu Pastor Muda yang memiliki ambisi politik untuk merebut kursi kekuasaan
Paus, diceritakan tengah melukai dirinya sendiri dengan besi panas bersimbol illuminati saat tertangkap basah oleh salah satu polisi Vatican yang lebih dahulu mengetahui niat jahatnya. Namun, saat polisi lainnya datang, sang pastor langsung memfitnah polisi tersebut dengan menuduhnya sebagai antek – antek Illuminati (pengkhianat gereja) dan telah melukainya dengan besi panas, yang akhirnya berujung pada penembakan polisi tersebut oleh beberapa polisi yang belakangan datang. Lalu diakhir cerita, niat jahat pastor muda yang ambisius itu akhirnya terkuak melalui rekaman CCTV yang ditemukan oleh sang tokoh utama di novel tersebut.
Jika kita mengacu pada situasi politik dunia dan khususnya di Indonesia saat ini, tak bisa kita pungkiri, bahwa strategi ini sebenarnya kerap dilakukan. Dalam sejarah politik dunia, kita bisa melihat beberapa konspirasi politik dibangun melalui peristiwa – peristiwa yang sebenarnya sudah dirancang dan di propagandakan secara massif guna mencapai tujuan politik tertentu.
Misalkan seperti kejadian Pearl Harbour yang diduga sengaja dilakukan oleh USA sebagai dalih untuk melakukan pelemparan Bom Nuklir di Kota Nagasaki dan Hiroshima. Atau teknik Playing Victim yang dilakukan oleh bangsa Yahudi yang dulu memposisikan diri sebagai bangsa terjajah, bangsa terlantar dan tak memiliki Negara, sehingga memancing simpatik Negara – Negara lain untuk mendukung langkah Yahudi untuk menduduki wilayah Palestina dan akhirnya berujung pada didirikannya Negara Israel di wilayah tersebut di tahun 1947.
Jika kita jeli melihat situasi politik saat ini, bermainvictim dalam berpolitik ternyata masih cukup ampuh untuk dilakukan, baik oleh politisi dunia maupun di Indonesia. Kita bisa melihatnya dari beberapa peristiwa, isu serta wacana – wacana yang beredar di masyarakat, dan bagaimana framing wacana itu dilakukan guna mengemas opini masyarakat menuju sebuah pemahaman tertentu. Dalam ilmu politik, setiap wacana dan peristiwa itu ibaratkan sebuah potongan puzzle yang bisa memiliki keterkaitan dengan beberapa potongan puzzle lainnya, sehingga jika potongan – potongan puzzle itu disatukan maka akan terbentuk sebuah gambar yang utuh.
Satu hal penting yang harus kita sadari adalah tidak ada yang kebetulan dalam dunia politik. Bisa jadi, beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, merupakan hasil rancangan atau design politik guna menggiring opini masyarakat.
Mengenai kita menyadarinya atau tidak, semua itu tergantung pada daya kritis kita sebagai masyarakat, yang kerap dijadikan objek permainan wacana. Apakah kita mampu membacanya sebagai bagian dari skenario penggiringan opini, atau kita mampu melawannya dengan melakukan counter issue dan tidak terjebak pada framing wacana tersebut.
Dalam sebuah pepatah disebutkan bahwa siapapun yang berhasil menguasai informasi, maka dia akan menguasai dunia. Maka dari itulah, kesadaran kolektif dalam menyikapi setiap informasi sangatlah dibutuhkan khususnya bagi kita masyarakat awam yang selalu menjadi objek penggiringan opini oleh elit – elit politik yang memiliki ambisi kekuasaan.***