Pemerintahan Raja Salman Arab Saudi dengan tegas menolak mengikuti putusan Uni Emirat Arab (UEA) dan tetap mendukung kemerdekaan Palestina.
Sebelumnya, UEA telah membuat hubungan diplomatik dengan Israel karena adanya beberapa keuntungan yang bisa didapatkan oleh UEA.
Walau terus didesak oleh Amerika Serikat (AS) dan UEA, Pemerintahan Raja Salman masih keukeuh tak mau berkawan dengan Israel hingga kemerdekaan Palestina terealisasikan.
Arab Saudi menyatakan akan menormalisasikan hubungan diplomatiknya dengan Israel jika Tel Aviv telah menandatangani perjanjian perdamaian secara international dengan Palestina Merdeka.
Tapi tetap Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengesampingkan kemungkinan itu sampai masalah Palestina diselesaikan.
'Perdamaian harus dicapai dengan Palestina' berdasarkan perjanjian international menjadi prasyarat untuk normalisasi hubungan dengan Israel.
"Setelah itu tercapai, semuanya mungkin," ujar Pangeran Faisal, seperti dikutip impiannews.com lewat PortalSurabaya.com dari laman Al Jazeera dan Pikiran Rakyat.
Presiden AS Donald Trump, mengatakan dia sangat berharap Arab Saudi bergabung dengan perjanjian yang diumumkan minggu lalu oleh UEA dan Israel.
Trump sendiri menawarkan dirinya bersedia menjadi penengah.
Saat perjanjian dengan UEA, Israel setuju untuk menangguhkan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Ingat hanya menangguhkan bukan memberikan jaminan.
Perjanjian tersebut juga memperkuat penentangan terhadap kekuatan regional Iran, yang dipadang UEA, Israel dan AS sebagai ancaman utama di Timur Tengah.
Arab Saudi melalui Pangeran Faisal mengatakan jika kerajaannya tetap berkomitmen untuk perdamaian dengan Israel berdasarkan Prakarsa Perdamaian Arab 2002.
Dia mengulangi kritik terhadap 'kebijakan sepihak' Israel tentang aneksasi dan pembangunan permukiman di Tepi Barat yang diduduki sebagai 'tidak sah' dan 'merugikan' untuk solusi dua negara.
"Upaya apa pun yang dapat menahan ancaman aneksasi bisa dipandang positif," katanya.
Riyadh yang tidak mengakui Israel, membuat prakarsa tahun 2002 di mana negara-negara Arab menawarkan untuk menormalkan hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas kesepakatan kenegaraan dengan Palestina dan penarikan penuh Israel dari wilayah yang direbut pada tahun 1967.
Arab Saudi, ekonomi terbesar di dunia Arab dan rumah bagi situs-situs paling suci Islam, menghadapi perhitungan politik yang lebih sensitif daripada UEA.
"Gagasan bahwa Arab Saudi akan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel tidak masuk akal," kata Aziz Alghashian, seorang dosen di Universitas Essex yang mengkhususkan diri dalam kebijakan kerajaan terhadap Israel.
Pengakuan resmi Israel tidak hanya akan dilihat oleh warga Palestina dan pendukung mereka sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka, itu juga akan merusak citra kerajaan sebagai pemimpin dunia Islam.
"Kendala terbesar untuk normalisasi Saudi-Israel bukanlah ketakutan akan reaksi domestik dan regional.
Sebaliknya, Arab Saudi menganggap perlu untuk tidak menormalisasi hubungan di luar kerangka Inisiatif Perdamaian Arab yang menyerukan penyelesaian masalah Palestina, jika masih terjadi. ingin dilihat sebagai pemimpin dunia Muslim dan Arab, "kata Alghashian.***