Jepang dan China telah lebih dekat ke ambang pertempuran daripada seratus tahun yang lalu. Pertempuran semacam itu juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar armada laut, termasuk kekuatan udara dan darat, rudal balistik, aset ruang angkasa, dan bahkan kekuatan siber.
Siapa yang akan memenangkan pertempuran itu?
Sampai baru-baru ini, perang laut antara Jepang dan China bukanlah wacana yang serius. Di 1980-an, China hanya memiliki angkatan laut “perairan hijau” (hanya mampu beroperasi di pesisir dan sekitar ZEE), yang hampir bahkan tidak mampu melindungi garis pantainya sendiri, apalagi memproyeksikan kekuatan angkatan laut beberapa ratus mil jauhnya.
Jepang, di sisi lain, memiliki pasukan penghancur modern yang bertugas melindungi jalur komunikasi laut hingga ribuan mil. Selama angkatan laut Jepang menjauhi rudal jelajah anti-kapal dan torpedo, mereka dapat dengan mudah mengalahkan apa pun yang dilemparkan oleh China.
Namun, itu sudah berubah. Lebih dari seperempat abad peningkatan pertahanan China mencapai peningkatan sepuluh kali lipat secara keseluruhan dalam pengeluaran militer.
Pengeluaran pertahanan China, baik resmi maupun tidak resmi, kemungkinan berjumlah lebih dari US$200 miliar, hampir lima kali lipat Jepang, sekitar US$43 miliar. Ini memiliki implikasi serius bagi angkatan laut Jepang, karena musuh-musuh China yang potensial sekarang dipersenjatai dan dilatih dengan lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Kyle Mizokami dalam tulisannya di The National Interest, dalam mempertimbangkan perang laut Jepang-China, kita harus memperhatikan doktrin angkatan laut masing-masing.
Pasukan Bela Diri Maritim Jepang adalah kekuatan yang hampir murni defensif, dilatih untuk mengawal konvoi ke dan dari Jepang.
Mereka melakukan perang anti-kapal selam, melindungi negara dari serangan rudal balistik, dan melakukan operasi kemanusiaan.
Operasi ofensif, dengan pengecualian pendaratan amfibi untuk merebut kembali wilayah nasional, tidak pernah terbentuk. Walaupun ini adalah pendekatan perang yang mulia, itu juga membuatnya sangat sulit untuk mengakhiri konflik.
Di sisi lain, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China, memiliki lebih banyak komponen ofensif, contohnya dengan membangun kapal induknya sendiri.
Selain meningkatnya jumlah kapal induk yang memiliki tujuan ofensif, kapal perang mereka dilengkapi dengan rudal anti-kapal YJ-18.
Mereka juga telah mengoperasikan rudal jelajah DH-10, memberikan kemampuan serangan darat yang tidak dimiliki angkatan laut Jepang.
Akibatnya, dalam pertempuran China-Jepang di masa depan, kita akan melihat pasukan China menyerang dan pasukan Jepang bertahan.
Siapa yang akan memenangkan pertempuran itu?
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kedua dari kiri), berbicara dengan Presiden China Xi Jinping (kedua dari kanan), selama pertemuan di Wisma Negara Diaoyutai di Beijing pada 26 Oktober 2018. (Foto: via AP)
Angkatan Laut China, dengan kemampuannya untuk membawa lebih banyak rudal, dapat membawa senjata ofensif yang lebih besar ke dalam pertempuran.
Para komandan Angkatan Laut China harus berpikir panjang apa ancaman yang lebih besar bagi kapal mereka, entah itu kapal permukaan, kapal selam, atau pesawat terbang Jepang.
Mereka juga perlu menyesuaikan dengan ruang yang terbatas di gudang rudal mereka.
Dalam hal ini, Mizokami berpendapat, para musuh Angkatan Laut China telah memilih untuk berhati-hati dan memutuskan untuk mengandalkan kapal induk dan kapal selam mereka untuk mendapatkan kekuatan yang lebih tangguh.
Dua gugus tugas kapal permukaan akan melakukan operasi pengalihan dan meluncurkan serangan sekunder.
Gugus tugas Angkatan Laut China masih memiliki sejumlah cara untuk menyerang Jepang. Pesawat tempur J-15 dapat menerbangkan misi pengintaian untuk menemukan gugus tugas Angkatan Laut Jepang.
Kapal induk China kemudian akan meluncurkan skuadron J-15, masing-masing dilengkapi dengan rudal, untuk menyerang pertahanan udara Angkatan Laut Jepang.
Idealnya, ini akan diatur dengan serangan oleh kapal selam Angkatan Laut China untuk menghantam armada Jepang dari berbagai vektor ancaman.
Angkatan Laut China bahkan dapat membombardir fasilitas pelabuhan Jepang dengan rudal jelajah DH-10, mencegah Jepang mengisi bahan bakar dan memuat ulang.
Untuk operasi ofensif, opsi Jepang terbatas. Sebagian besar kapal perusak Jepang memiliki muatan terbatas, yaitu delapan misil anti-kapal Tipe 90.
Gagasan serangan yang lebih baik untuk mereka adalah menyerang armada China, khususnya kapal induk 001A, dengan kapal selam diesel Soryu. Angkatan Laut China terkenal lemah dalam operasi anti-kapal selam, dan serangan kapal selam memiliki peluang keberhasilan terbaik.
Pertempuran laut Jepang-China bukan lagi urusan sepihak seperti dulu. Kedua belah pihak telah lebih dekat ke ambang pertempuran laut daripada di seratus tahun yang lalu.
Pertempuran semacam itu juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dua armada, termasuk kekuatan udara darat, rudal balistik, aset ruang angkasa, dan bahkan kekuatan siber.
Meski selalu ada Armada Ketujuh Angkatan Laut AS yang akan mendukung Jepang, China memiliki kemampuan yang terus menguat.
China masih terus menambah lebih banyak kapal induk, kapal selam, rudal jelajah, dan latihan militer yang lebih baik. Itu semua dapat menggeser keseimbangan kekuatan antara kedua negara.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Kapal milik Japan Maritime Self-Defense Force JS Izumo, berlayar di Laut China Selatan dengan kapal perusak rudal ASS Dewey yang dipandu AS. (Foto: US Navy/Petty Officer 3rd Class Kayzentia Weiermann). ***
0 Comments