Seorang pengendara motor berhenti di dekat sebuah lukisan dinding yang dilukis sebagai penghormatan kepada para pekerja medis di Depok, pinggiran Jakarta, Indonesia | The Diplomat
IMPIANNEWS.COM (Indonesia).
Sempat bersikukuh absen dari virus corona hingga Februari lalu, jumlah penyebaran kasus COVID-19 di Indonesia ternyata justru kian brutal. Pasalnya, sejak pertama dilaporkan pada sekitar awal Maret lalu, jumlah kasus infeksi dilaporkan terus merangkak hingga kini disebutkan sudah menjangkiti lebih dari 8 ribu orang.
Dalam pantauannya terkini, Worldometer pun mencatat bagaimana hanya dalam waktu hampir dua bulan, jumlah kasus infeksi di Indonesia telah mencapai sebanyak 8.882 orang.
Sementara, jumlah kasus meninggal telah menyentuh angka hingga 743 jiwa.
Namun, selama menghadapi wabah ini, Indonesia tidak hanya mendapatkan sorotan karena peningkatan kasus yang naik secara drastis, tetapi juga dalam hal fasilitas kesehatan, tingkat pengujian, hingga kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai memprihatinkan.
Kondisi kasus COVID-19 di Indonesia ini tidak lepas dari perhatian salah satu media liputan Asia Pasific ternama, The Diplomat. Bertajuk 'Indonesia dan COVID-19: Apa yang Hilang dari Dunia,' jurnalis The Diplomat, Shane Preuss, lantas memberikan analisis mendalamnya terhadap kasus COVID-19 di Indonesia.
Menghimpun sejumlah laporan dari berbagai sumber, Preuss pada dasarnya terkesan ingin mengabarkan bagaimana pemerintahan Indonesia sebenarnya tengah pontang-panting dalam menangani wabah COVID-19, tetapi justru 'terselamatkan' gara-gara masyarakatnya yang dinilai sangat solidaritas.
Dalam berbagai awalan tulisan misalnya, Preuss terlihat ingin menggambarkan betapa mengerikan hingga hancurnya situasi kasus COVID-19 di Indonesia karena perpaduan fasilitas kesehatan hingga respon wabah yang buruk dari pemerintahan.
"Laporan tersebut (ABC News) berfokus pada 'adegan mengerikan' dari meningkatnya jumlah orang yang mengalami kegagalan pernapasan dan menyoroti masalah kemiskinan dan tekanan yang ditimbulkan oleh virus akibat sistem kesehatan di negara itu (Indonesia).
"Kesan keseluruhan adalah bahwa negara (Indonesia) yang hancur," tulis Preuss sesaat setelah mengutip laporan ABC News terkait dengan bagaimana para wisatawan asing sangat beruntung karena telah meninggalkan Indonesia.
Setelah menggambarkan fasilitas kesehatan yang buruk, Preuss lantas melanjutkan tulisannya dengan menyebut rendahnya tingkat pengujian Indonesia hingga kesalahan langkah pemerintah dalam memberikan respon awal terhadap krisis.
Selanjutnya, Preuss terlihat juga ikut menyoroti bagaimana wilayah Jakarta menghadapi begitu banyak tantangan hingga tekanan ekonomi untuk menghadapi wabah COVID-19.
"Indonesia, negara dengan populasi terpadat keempat di dunia dan rumah bagi wilayah perkotaan terbesar kedua di dunia, Jabodetabek, tentu saja menghadapi tantangan yang sangat besar.
"Pentingnya menyeimbangkan ekonomi dan kesehatan masyarakat juga merupakan ketegangan yang terasa lebih akut di negara-negara berkembang, di mana penurunan ekonomi dirasakan lebih kuat," lanjut Preuss.
Namun, menariknya, setelah membeberkan berbagai laporan negatif dari ABC News, Preuss justru mengingatkan pembacanya bagaimana di tengah kekacauan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi, masyarakatnya tetap 'tahan banting.'
Terkesan memuji ketahanan rakyat, Preuss bahkan menyebut dengan jelas bagaimana sebelum dilanda wabah pun, masyarakat Indonesia telah sukses menghadapi berbagai cobaan berat seperti penjajahan kolonial, bencana alam, konflik sipil, hingga reformasi 1998.
"Video laporan ABC News tersebut diedarkan di grup WhatsApp oleh banyak orang Indonesia yang bingung karena direndahkan oleh orang-orang di negara lain.
Namun, apa yang telah dilewatkan media Australia adalah ketahanan masyarakat Indonesia.
"Walaupun negara ini jelas menghadapi tantangan penting, orang Indonesia telah mengatasi banyak cobaan besar sebelumnya (yaitu) bencana alam yang menghancurkan, pemerintahan kolonial selama berabad-abad, perjuangan untuk kemerdekaan, konflik sipil, dan kekacauan yang terjadi setelah krisis keuangan Asia 1998, yang menyebabkan kejatuhan kediktatoran serta reformasi sistem politik dan ekonomi negara," tulis Preuss.
Untuk membuktikan ketahanan hingga rasa solidaritas masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai krisis, Preuss pun memberikan berbagai data pendukung dari laporan asing serta dalam negeri.
"Dalam Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia berada di peringkat kelima di dunia untuk modal sosial dan (peringkat) pertama untuk partisipasi sipil serta sosial, dengan tingkat relawan tertinggi dari negara mana pun.
"Dalam Indeks Pemberian Dunia Yayasan Amal (CAF) tahun 2018, Indonesia juga menduduki peringkat teratas dalam frekuensi sumbangan dan kesukarelaan.
"Karena itu tidak mengherankan melihat banyak kampanye crowdfunding yang telah diluncurkan pada platform lokal seperti kitabisa.com untuk membantu mereka yang membutuhkan.
"Ini termasuk mengumpulkan dana untuk mendukung pekerja sektor informal, seperti penjual jajanan, pemulung, dan pengemudi ojek, dan untuk membeli alat pelindung diri (APD) untuk petugas kesehatan.
Pada akhir Maret, 15 ribu mahasiswa kedokteran dari 158 universitas juga telah mendaftar untuk menjadi sukarelawan," tulis Preuss.
Makin memuji rakyat, Preuss juga tampak 'menampar' berbagai laporan negatif media asing dengan menyebut bahwa mereka lupa dengan fakta bahwa tingkat inovasi masyarakat Indonesia juga sangat tinggi.
Dalam hal ini, Preuss lantas memberikan deretan contoh bagaimana berbagai universitas hingga perusahaan manufaktur Indonesia yang mencoba berinovasi menciptakan berbagai alat untuk menangkal virus corona.
"Sebagai contoh, Universitas Indonesia telah mengembangkan stan desinfeksi berbasis ultraviolet untuk peralatan medis, dan sedang melanjutkan penelitian dan pengembangan menjadi APD, instrumen pengujian serta perawatan cepat COVID-19.
"Institut Teknologi Surabaya (ITS) telah bekerja sama dengan Rumah Sakit Universitas Airlangga untuk mengembangkan ruang desinfektan yang menggunakan ozon (O3) daripada disinfektan kimia yang tidak aman, serta robot yang dapat digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh dengan pasien,"
"Indonesia juga merupakan rumah bagi startup dan sektor digital yang berkembang pesat. E-commerce, pendidikan, kesehatan, dan perusahaan perjalanan lokal telah memungkinkan orang untuk mempertahankan kehidupan normal," lanjut Preuss.
Setelah menulis panjang lebar terkait dengan contoh berbagai bantuan hingga inovasi yang dilakukan oleh rakyat, Preuss pun menyimpulkan bagaimana alih-alih terus menyoroti kejelekan pemerintah, media asing seharusnya juga tidak lupa memperhatikan kekuatan dan ketahanan masyarakat Indonesia.
"Sementara pemerintah Indonesia, seperti juga semua pemerintah (lainnya), terus berjuang dengan besarnya tantangan, inisiatif dari bawah ke atas ini menunjukkan sisi lain dari tanggapan COVID-19 di negara tersebut.
"Orang Indonesia akan menghadapi krisis COVID-19 dengan rasa percaya diri bersama, dan itu adalah sesuatu yang patut disoroti," tutup Preuss dalam artikelnya yang dirilis pada Jumat (24/4) pekan lalu. (***
0 Comments