Oleh : Wahyu Uliadi Putra |
"Dikala Guru Mampu Perankan Fungsi"
CATATAN, --- Berbagai sistem telah digagas dan dilahirkan di Indonesia, berjutaan hingga triliunan dana telah dialokasikan demi terwujudnya sistem tersebut. Lahirnya inovasi dan sistem terbaru tersebut tiada lain untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang beriman, berilmu dan berakhlak mulia dalam rangka menyonsong era industry 4.0.
Namun, apakah sistem terbaru tersebut sudah bergerak secara optimal. Disebagian besar daerah di Indonesia sudah berjalan optimal, namun azas keadilan dan pemerataan pembangunan pendidikan belum dirasa penuh warga indonesia. Kemajuan zaman yang serba aplikasi dan IT salah satu contohnya. Meskipun solusi lain telah disiapkan, namun proses penyempurnaan sistem masih jauh. UNBK salah satu sampel. Jangankan untuk daerah terpencil dan pedesaan, di perkotaan saja masih ada peserta didik yang belum bisa mengoperasikan IT dan perangkatnya.
Kemajuan zaman juga membuat luntur dan terjadinya penurunan nilai nilai dan norma, sebagian oknum mengaplikasikan salah kemajuan zaman. Sifat egois dan berkompetisi pun tampak lahir pada peserta didik yang terindikasi melahirkan komunal.
Setiap komunal saling bersaing satu sama lainnya. Akankah pendidikan sekarang mampu melahirkan generasi berakhlakul karimah?. Semua bisa terwujud dikala warga tidak melupakan sejarah kedaerahan di tengah kemajuan zaman.
Inilah yang sedang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI bersama Kementerian Agama, saat ini guna mewujudkan UU No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional serta Tugas guru dalam sebuah pendidikan sudah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat 1 : guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Aspek yang dibangun guru dalam pembelajaran dikelas tidak akan pernah terlepas dari aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan, dan ini akan terus menjadi patokan dalam dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Berbalik ke sejarah pendidikan Indonesia, Tokoh pendidikan sekaligus pahlawan nasional Indonesia, Kihajar Dewantara telah melahirkan pola asuh oleh guru selaku orang tua pertama di sekolah / madrasah. Ataukah guru hanya sekedar mengajar untuk pemenuhan tanggung jawab mereka?. Ataukah guru muda yang masih honor lebih pandai menyesuaikan program pembelajaran dengan kemajuan zaman dibanding guru pembina?
Guru memiliki peranan penting dalam mendidik siswa di sekolah, lalu bagaimana seharusnya guru dalam mendidik siswa.Pahlawan nasional Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita sebuah arti dari pendidikan yang humanis, beliau juga mampu menciptakan konsep Sistem Among sebagi patokan guru dalam mendidik siswa, “Ing ngarso Sung Tolodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani” memiliki arti di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat dan di belakang memberi dorongan.
Dari kalimat tersebut bahwa guru sepatutnya: Ing Ngarso Sung Tulodo, Memberi contoh yang baik kepada siswa, kita sering mendengar pepatah bahwa GURU adalah di gugu dan di tiru.
Hal ini memang benar, bahwa setiap sikap yang dilakukan oleh guru akan dilihat, di contoh dan di aplikasikan oleh siswa dalam dirinya, bahkan dalam kurikulum 2013 guru wajib menjadi teladan bagi peserta didik dalam menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia, salah satu yang bisa guru lakukan adalah menjadi role model dalam pembelajaran, dan peran ini tidak akan bisa digantikan oleh siapapun.
Ing Madyo Mangun Karso, Guru mempengaruhi dan mengendalikan siswanya, maka guru haruslah bisa sedekat mungkin atau bisa menjadi “teman” dengan siswa tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru, dengan begini suasana belajar akan terbangun dengan kondusif, dan
Tut Wuri Handayani, Guru menghargai dan mendorong potensi yang dimiliki siswa, maka guru harus bisa melihat keberagaman (tingkat intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik) yang dimiliki siswa.
Ketiga konsep ini saling mempunyai keterkaitan satu sama lain, jika ini diaplikasikan dalam mendidik siswa maka akan berdampak positif untuk generasi bangsa Indonesia mendatang.
terjalaninya ketiga konsep tersebut, bakal menimbulkan efek yang luar biasa. Tampaklah sebuah keadilan dan pemerataan penyebaran ilmu dari seorang tenaga pendidik sebagai sumber kepada siswa sebagai wadah penerima ilmu. Mesti pola Ki Hajar Dewantara sudah diremajakan sesuai zamannya, namun pola ini masih butuh untuk tetap diterapkan dan dijaga. Optimalnya pola ini bisa menimbulkan pemerataan kualitas dan prestasi.
Program Kurikulum 2013 adalah program yang bagus, dimana siswa diajarkan mandiri dalam mencari ilmu. Sementara guru mendampingi sebagai fasilisator. Kemajuan IT dan zaman saat ini membuat manusia hidup merdeka dan mengacuhkan nilai dan norma-norma. Akibatnya, terindikasi perilaku cuek bebek dan tak mau tau. Hilang dan lunturlah perilaku segan dan malu.
Pengaplikasian Kurtilas saat ini, terpantau siswa kelhilangan hak kemerdekaan bermain. Hak bermain yang mestinya dimanfaatkan selayaknya anak, seakan terampas dengan banyaknya tugas sekolah/madrasah. Bahkan setiap pulang ke rumah, tak jarang mereka (siswa) membawa sejumlah PR. Akibatnya mereka tak bisa bermain, mengaji di surau, berlarian, mandi di sungai serta kerap alfa dalam kegiatan keremajaan dan kemasyarakatan. Mereka sibuk dengan pengerjaan tugas. Kalau tidak dilaksanakan hasil evaluasi PBM meraih nilai " Tidak Tuntas"
Kemudian lahirlah pertanyaan dari wali murid yang masyarakat. "Anak saya rajin pergi sekolah dan membuat PR, bahkan anak saya tak bisa membantu saya menguci piring. Tapi hasil evaluasi, kok Tidak Tuntas ?. Anak saya yang tidak tuntas atau gurunya ?. Dulu, saat kami masih sekolah, hadir di sekolah saja (disiplin), nilai 6 sudah di tangan. Bisa kita tengok, orang hebat yang memimpin Indonesia kini adalah buah hasil kurikulum model lama. Mana yang orang dulu dibanding generasi sekarang,"ungkap walimurid kesal, saat diwawancarai usai menerima rapor anaknya.
Di sisi lain, tenaga pengajar juga tampak lelah dengan beban kerja ditambah berbagai kegiatan pendukung PKB dan PKGnya, Peningkatan kesejahteraan membuat tenaga pendidik mesti ekstra bekerja tiada henti. Kinerja dan perangkat pembelajaran mesti terukur dan serba online. Sebagian dari tenaga pendidik adalah tabu dengan IT. Mereka terjun dalam 2 pilihan, terima sertifikasi atau tidak ?.
Sementara kedisiplinan, jadwal wajib dipenuhi dan dilaksanakan. Akibatnya, waktu bersama keluarga semakin mengerucut, anak sibuk dengan kesibukan mereka sedang orangtua pun demikian. Bahkan ada yang lari sini lari sana guna pemenuhan jam. Namun bukan semuanya.
Tiada henti pemerintah pun mencari pola dan metode memajukan pendidikan selaras dengan tuntutan dan kemajuan zaman. Tapi, kita harus pahami dan yakini, guru adalh orangtua di sekolah atau madrasah atau ponpes. Bagaimana kita menyayangi anak di rumah kita, demikian juga di sekolah. Kalau itu diamalkan secara ikhlas, insyaallah bakal melahirkan pemerataan prestasi bagi semua siswa. Bakat dan potensi siswa terangkum dan tersalur.
Terakhir, Jadilah pendidik yang profesional ala Ki Hajar Dewantara. Bukan sekedar lepas makan dan membayar hutang pelengkap sertifikasi.(*)
0 Comments