Akhir-akhir ini di media masa sering diberitakan tentang banjir, longsor di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat dengan geomorfologinya pergunungan dan perbukitan dengan kemiringan diatas 40% meliputi 39% dari wilayahnya, secara alami retan kepada bencana alam.
Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam mesti dikedepankan. Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan serta tahap opersional aktifitas pembangunan harus sudah berwawasan lingkungan.
Hal ini disampaikan Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit pada pembukaan acara Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat, di Tri Arga Bukitinggi, Selasa (3 / 3/2020)
Hadir dalam kesempatan tersebut Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan dan Sektor Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK (Bpk. Erik Teguh Primiantoro, S.Hut, MES), Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, Limbah Non B3 Ditjen Pengelolaan Sampah, limbah dan B3 (Bpk. Ir. Ahmad Gunawan Widjaksono, MAS),
Kepala Dinas LH, Bappeda dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, Kepala Dinas LH, Bappeda dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota se Sumatera Barat . Dan narasumber kita dari KLHK yaitu (Bpk. Erik dan Bpk Gunawan yang berkenan hadir untuk memberikan materi sekaligus pencerahan terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup di Sumatera Barat.
Wagub Sumbar lebih lanjut sampaikan, selain faktor alami geomorfologi Sumatera Barat yang menyebabkan daerah kita retan terhadap banjir dan longsor, terdapat beberapa persoalan lingkungan yang kita hadapi.
“Secara terus menerus kita berupaya bersamasama mencarikan solusinya. Salah satu persoalan yang Alhamdulillah akan segera teratasi adalah masalah pengelolaan limbah B3 medis. Sejumlah 5,2 ton/hari atau 1.900 ton/tahun timbulan limbah B3 medis yang pengelolaannya dibawa ke pulau Jawa.
Apabila semuanya dikelola sesuai Permen LHK 56 tahun 2015 tentang Tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan Limbah B3 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FASYANKES) maka senilai Rp 42,75 Milyar/tahun pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk mengangkut dan memusnahkan limbah B3 tersebut di Pulau Jawa”, ujar Nasrul Abit.
Nasrul Abit juga sampaikan, persoalan lain yang juga menjadi perhatian kita bersama adalah masalah persampahan dan illegal mining serta illegal logging. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan meningkatnya timbulan sampah.
Di sisi lain tingkat layanan penanganan sampah di Kab/Kota tidak jauh berubah. Hal ini dipahami karena keterbatasan anggaran untuk urusan lingkungan hidup di Kabupaten/Kota hanya 0,01 sampai 0,1% dari APBD kab/kota. Dengan anggaran tersebut kemampuan daerah untuk melakukan pengawasan terhadap izin lingkungan yang diterbitkannya tidak lebih dari 25%. Oleh karena itu maka perlu terobosan yang harus dilakukan selain berupaya memperbesar alokasi anggaran.
“Banyak penghargaan lingkungan diperoleh oleh Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat baik itu penghargaan Adipura, Adiwiyata, kampung iklim sampai green leadership menunjukkan pengelolaan lingkungan tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya anggaran tetapi justru bagaimana fungsi koordinasi dan sinergitas antar sektor diciptakan, sehingga lingkungan menjadi mainstream yang diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan sektor terkait.
Disamping itu kemampuan untuk meningkatkan kelompok-kelompok masyarakat termasuk petugas penyuluh yang ada (seperti penyuluh pertanian, kesehatan, peternakan dsb) sebagai agent of environment juga sangat berarti dalam perbaikan lingkungan”, ungkapnya.
Nasrul Abit juga sebutkan, selain itu saat ini adanya semangat omnibus low yang akan meniadakan AMDAL pada kawasan yang RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) telah dilengkapi dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), secara aturan hal ini dimungkinkan karena termuat pada pasal 13 PP no 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
“Satu sisi kita menyambut baik karena hal tersebut dapat mempercepat perizinan dalam berinvestasi tetapi di sisi lain berkonsekwensi semakin besarnya peluang terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu kehadiran narasumber dari KLHK saat ini perlu kita optimalkan untuk menggali tentang mekanisme dan hal-hal apa saja yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan KLHS sehingga kita tidak salah langkah”, ingatnya.
Wagub Sumbar juga katakana, tidak satupun fasilitas incenerator di Rumah Sakit dan Peskusmas yang memiliki izin karena rata-rata FASYANKES di Sumatera Barat berada pada dekat pemukiman sehingga tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Selain hal tersebut menyebabkan pembiayaan yang tinggi, juga beresiko terhadap lingkungan karena tidak tertup kemungkinan sebagian limbah B3 medis tersebut dibuang tengah jalan, di laut dan di hutan atau bercampur dengan limbah domestik.
“Oleh karena itu adanya rencana pembangunan fasilitas Incenerator oleh KLHK yang akan dihibahkan ke Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2020 sangat kita sambut baik. Untuk itu baik Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas Kesehatan Kab/kota se Sumatera Barat dapat menyikapi dengan meningkatkan pembinaan agar FANYANKES di daerahnya memperbaiki manajemen-nya dalam mengelola limbah medis.
Untuk puskesmaspuskemas yang lokasinya tersebar dan jauh untuk dilakukan pengangkutan maka kiranya dapat difasilitasi membangun sistim transfer Depo (Depo Pemindahan/Penyimpan Sementara Bersama) sehingga seluruh limbah B3 medis ini dapat dikelola dengan baik”, ajak Nasrul Abit.
Nasrul Abit mengharapkan, manfaatkan rapat koordinasi ini untuk, meningkatkan kesinergian dan sinkronisasi perencanaan program dan kegiatan antara kabupaten/kota dengan provinsi serta Pusat terutama dalam kaitanya pengelolaan persampahan dan penanganan limbah B3 medis serta KLHS sesuai tema rapat koordinasi ini. Dan melahirkan kesepakatan dan kerjasama yang saling memperkuat pengelolaan lingkungan hidup antara Pemerintah Pusat, Dinas LH Provinsi, dan Dinas LH Kab/Kota. (zs).
#tafch
0 Comments