Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)
|
Musim Politik itu seperti musim penghujan. Di saat musim hujan, semua yang tidak pernah tumbuh, muncul ke permukaan. Atau seperti jamur di musim hujan, ia tumbuh di mana-mana. Begitu juga di musim politik, yang tidak pernah (jarang) eksis, tiba-tiba muncul; semua jenis slogan tumbuh menjamur dan bertebaran di ruang publik.
Esais dan intelektual Christopher Hitchens (2008) juga pernah menulis tentang itu. Di musim politik Amerika, ia berkomentar soal kata-kata sloganistik yang bermunculan. “Pretty soon, we should be able to get electoral politics down to a basic newspeak that contains perhaps ten keywords: Dream, Fear, Hope, New People, We, Change, America, Future, Together”. Kita juga pasti pernah membaca (dan mendengar) slogan politik seperti: Orang Baru, Pemimpin Baru, Perubahan, Orang Muda, Maju, Jalan Baru, Bangkit, dll. Itu ada di seputar Politik kita.
Tahun 2007, Rizal Ramli pernah membuat slogan “Jalan Baru Kebangkitan Indonesia. Dibuatlah ulasannya berisi kritik kebijakan pemerintah (SBY-JK), lalu menyisipkan catatan megalomaniak tentang dirinya. Yang lain serba buruk, kecuali dirinya. Itu tertulis di buku mini “kampanye”politik berjudul “Jalan Baru, Pemimpin Baru”. Terbaca poinnya bukan gagasan political economy, tetapi ada niat maju Pilpres. Hasilnya, SBY (petahana) tetap saja melanjutkan kepemiminan. Itulah cara kerja slogan politik.
Seperti Hitchens, semua slogan politik itu hanya persoalan kata-kata. Words matters. Terdengar lebih sloganistik, klise. Kata-kata itu hanya melapangkan imajinasi. Publik diprovokasi untuk berpikir dan menaruh emosi pada slogan yang diucapkan. Sesuatu yang klise itu isinya kosong-melompong, hanya gagah-gagahan.
Slogan“Perubahan”tentu saja klise. Sama halnya dengan slogan Orang Baru, Jalan Baru. Tepatnya, itu klise politik. Ketika diucakan slogan Perubahan itu, persis seperti menyiram garam di laut. Perubahan itu selalu ada di tiap saat, di tiap rentang waktu, tanpa perlu dibuatkan slogan. Filosofisnya, the only constancy in life is change. Batu saja berubah tiap saat, karena selalu ada angin, gesekan lempeng bumi, perubahan cuaca, dll. Apalagi manusia, tiap saat bertumbuh dan berubah.
Tabiat kepemimpinan politik pasti berubah setiap hari. Persoalan-persoalan publik yang dihadapi setiap hari menjadi fundamen cara berpikir dan bertindak seorang pemimpin politik. Masalah limbah sampah, infastruktur, oligopsoni, daya beli, kepala dinas/aparat bandel, agraria, dll, adalah persoalan yang menjadi tanggung jawab pemimpin. Ia dituntut untuk berpikir keras dan mengambil kebijakan yang pas demi kebaikan bersama.
Proksi kebijakan publik pasti baru seturut porsi persoalan yang terus berubah dan bertambah. Persoalan publik pun ada karena setiap orang memiliki kepentingan dan cara berpikirnya masing-masing. Karenanya, pemimpin pun pasti berubah dalam cara melihat dan menyelesaikan soal yang dihadapi setiap hari. Setiap pemimpin punya perkakas pengetahuan, regulasi, dana dan SDM yang terus bertumpuk dan menjadi tumpuan untuk penyelesaian setiap soal yang baru.
Kampanye politik atau slogan “perubahan” di musim politik pun menjadi problematik, justru karena seorang yang sedang memimpin punya kebaruan dalam menyelesaikan persoalan publik.
Slogan perubahan kian problematik manakala tawarannya terkesan utopia. Bahkan terbaca sekadar ekspresi emosional semata. Itu berarti, penuturnya tidak merasakan perubahan manakala orang lain sedang menikmati perubahan.
Jika kita mengkuti doktrin Saul Alinsky (seorang pemikir radikal), perubahan (revolusioner) itu dimulai dari sikap pasif (bdk. Evan Thomas, 2009).
Orang yang menghendaki perubahan sebenarnya bermulai dari sikap pasifnya (dalam sebuah perubahan yang sedang terjadi). Seorang politisi yang menghendaki perubahan adalah politisi pasif selama proses politik perubahan. Ia tidak merasakan perbahan sosial, ekonomi, budaya dalam masyarakat karena ia benar-benar pasif: tidak berpartisipasi dalam proses mensejahterakan rakyat.
Politisi yang pasif adalah politisi yang tidak ada di masyarakat. Persisnya ia seorng elitis yang menakar perubahan tanpa melihat realitas. Politisi elitis biasanya hanya datang pada musim-musim kontestasi politik. Karena itulah, politisi itu pasti getol mengkampanyekan perubahan karena ia sendiri tidak mengerti perubahan yang sedang terjadi di masyarakat; ia tidak merasakan pembangunan yang terjadi di masyarakat.
Kalau seorang politisi pernah terlibat dalam penderitaan rakyat dan tidak membiarkan rakyat mengurus urusannya sendiri, ia pasti paham perubahan yang terjadi di masyrakat. Seorang politisi akan gagal total memahami perubahan di masyarakat apabila ia sesungguhnya seorang pengepul atau pedagang yang hanya sibuk mengumpulkan harta, lalu nyambi jadi politisi di musim kontestasi politik. Seorang politician-bureaucrat pasti rabun melihat perubahan bila selama masa jabatannya ia melihat rakyat sebagai obyek politik, bukan subyek yang mesti diabdi.
Dengan demikian, slogan Perubahan hanya maksim pragmatisme politik. Biangnya, hasrat untuk berkuasa. Maksudnya, perubahan kekuasaan. Tidak lebih-tidak kurang, ganti pemimpin politik. Perubahan equal dengan pemimpin baru. Kira-kira begitu yang dimaksudkan dengan kampanye Perubahan.
Di musim politik, setiap kampanye pasti ujung-ujungnya rebut kekuasaan. Kampanye/slogan Perubahan pun diarahkan untuk rebut kekuasaan. Jadi, kampanye itu sama sekali bukan berkaitan perubahan jitu“rumus-rumus” pembangunan, tetapi semata sebagai kiat liat-liut politik. Niatnya, rebut kekuasaan.
Sebuah perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sedang memiliki kekuasaan, bukan oleh orang yang haus kekuasaan. Sekian.
0 Comments