Adel Wahidi, Asisten Ombudsman RI
Selasa, 21 Januari 2020
|
Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumatra Barat kembali merilis, bahwa pada tahun 2019, pengaduan masyarakat mengenai dugaan pungutan liar (pungli) pendanaan pendidikan masih mendominasi.
Dikutip penuh dari media langgam.id, bahwa ada 54 pengaduan masyarakat terkait pendidikan, 18 di antaranya mengenai dugaan permintaan dana pendidikan yang terjadi hampir pada semua level satuan pendidikan, SDN, SMPN dan SMAN, sederajat.
Anehnya, pungli terjadi disebabkan oleh rendahnya pemahaman kepala sekolah dan komite terhadap pendanaan pendidikan yang bersumber dari orangtua/komite sekolah. Kepala sekolah dan komite sulit membedakan antara sumbangan, pungutan, dan bantuan.
Selain itu, ada kecenderungan bahwa tiga sumber pendanaan pendidikan itu sengaja dikaburkan dalam menggalang dana dari orang tua/komite. Ibarat pepatah, kura kura dalam perahu, pura-pura tidak tau.
Sumbangan
Pasal 1 angka 3, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar menegaskan bahwa sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Senada dengan itu, Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menyebutkan bahwa sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Inti dari dua definisi di atas adalah sumbangan bersifat sukarela, tidak mengikat, tidak ditentukan jumlah dan waktu pembayarannya.
Pertanyaannya adalah, adakah sumbangan komite pada setiap satuan pendidikan SDN, SMPN dan SMAN menerapkan demikian? Sumbangan yang bersifat sukarela dan tidak mengikat? Atau malah sebaliknya? Sumbangan komite ditentukan jumlahnya, Rp.100.000,/bulan atau 200.000,- lebih/bulan? Jika tidak dibayarkan, maka siswa tidak bisa mengikuti ujian atau tidak dapat memperoleh layanan akademik lainnya?.
Pungutan
Pasal 1 angka 2, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar menjelaskan bahwa pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Definisi yang hampir sama, juga tertuang pada Pasal 1 ayat 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menjelaskan bahwa pungutan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib,mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Inti dari dua defenisi di atas sama, pungutan bersifat wajib, mengikat, jumlah dan waktu pembayarannya ditentukan.
Masalahnya adalah, apakah demikian yang diterapkan di sekolah? Penarikan dana dari orang tua/wali murid ditentukan jumlahnya melalui rapat paripurna komite? Kendati pada prakteknya tetap disebutkan bahwa penggalangan dana tersebut berbentuk sumbangan, bukan pungutan.
Bantuan
Satu-satunya defenisi tentang bantuan pendidikan, akan ditemukan pada Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menyebutkan bahwa bantuan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orangtua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak. Intinya, pemberian dana dari pihak luar, bukan orang tua/wali murid.
Ketentuan lain tentang bantuan terdapat pasal 11, yang pada intinya menyebutkan bahwa bantuan tidak boleh bersumber dari perusahaan rokok dan/atau lembaga yang menggunakan merek dagang, logo, semboyan dan/atau warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan rokok. Perusahaan minuman beralkohol dan/atau lembaga yang menggunakan merek dagang, logo, semboyan,dan/atau warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan minuman beralkohol, dan/atau partai politik.
Kewenangan Komite Sekolah
Bagaimana dengan komite sekolah? Apa bentuk sumber pendanaan yang dapat digalang oleh komite sekolah? Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menyatakan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Tapi penggalan dana tersebut dibatasi, pasal 10 ayat 2 menegaskan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Jadi, praktis melalui Peraturan Menteri dan Kebudayaan, Komite Sekolah hanya diberikan kewenangan menggalang dana hanya dalam bentuk sumbangan dan bantuan. Jika demikian pemahaman normatif tentang sumbangan, pungutan dan bantuan, maka wajar jika pengaduan masyarakat ke Ombudsman mengenai penggalangan dana oleh komite meningkat setiap tahun. Patut diduga yang terjadi tidak hanya sebatas maladministrasi, tapi telah berwujud menjadi tindak pidana korupsi, penggalangan dana pungutan berkedok sumbangan, sumbangan serasa pungutan. (rel/014)
0 Comments