Laut China Selatan kembali memanas, kini Indonesia dan China terseret dalam pusaran konflik. Jika tak segera temukan solusi yang komprehensif, konflik ini akan tereskalasi menjadi sebuah konfrontasi fisik.
Gesekan antara Indonesia dengan China soal perairan Natuna terjadi setelah . China mengklaim wilayah tersebut sebagai teritori mereka. Hal tersebut membuat pemerintah Indonesia meradang.
Klaim China bahwa perairan Natuna merupakan wilayah mereka menggunakan pembenaran dari peta Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line). Menurut peta tersebut, China menguasai 90% atau hampir seluruh wilayah perairan Natuna.
Sebenarnya konflik soal Natuna antara Indonesia dengan China tidak baru-baru ini saja terjadi. Pada 2016, kapal penangkap ikan asal China ditembak dan ditangkap TNI AL karena memasuki wilayah kedaulatan NKRI.
Saat itu Beijing membuat nota protes atas sikap penembakan dan penangkapan RI atas nelayan China yang mengklaim sudah mencari ikan sejak lama di daerah tersebut.
Namun Indonesia bersikukuh bahwa tindakan yang diambil sudah sesuai dengan prosedur yang benar karena China telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI.
Tidak dapat dipungkiri, perairan Natuna terletak di lokasi yang strategis menghubungkan 10 negara yaitu, China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei dan Filipina.
Tidak hanya lokasinya yang strategis, Laut China Selatan juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari migas hingga hasil perikanan.
Menurut kajian dari berbagai sumber EIA, WWF, UNEP, CFR, Laut China Selatan memiliki potensi cadangan minyak hingga 11 miliar barel, gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan menyumbang hampir 10% kebutuhan ikan global.
Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).
Apabila konflik di Natuna terus berlarut-larut, maka bukan konfrontasi fisik tak terjadi. Jika (amit-amit) konfrontasi fisik antara Indonesia dan China tak terelakkan siapakah yang lebih unggul? China atau Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu ada dimensi ukuran kekuatan yang jelas, dalam hal ini tentu kekuatan militer.
Apabila ditinjau dari segi anggaran untuk pertahanan, jelas China jauh lebih unggul. Pada 2019 anggaran untuk pertahanan China mencapai US$ 224 miliar atau setara dengan Rp 3.136 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$. Jumlah tersebut setara dengan 1,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda.
Sementara menurut kajian Global Fire Power (GFP), anggaran pertahanan Indonesia pada 2019 mencapai US$ 6,9 miliar atau hampir setara dengan Rp 99,5 triliun. Anggaran tersebut setara dengan 0,68% dari PDB.
Kemudian kalau ditinjau dari segi jumlah personel militer, jelas Indonesia kalah jauh. Menurut GFP total personil militer China mencapai 2,7 juta orang. Sementara jumlah tentara di Indonesia ditaksir mencapai 800 ribu. Artinya jumlah personil militer Indonesia hanya 30% dari China.
Jika menilik alutsista, China juga lebih unggul. China memiliki 3.187 pesawat militer untuk pertempuran dan transport. Sementara Indonesia hanya punya 451 unit pesawat militer. Untuk alutsista angkatan lautnya, China juga jauh lebih unggul karena total aset untuk angkatan lautnya mencapai 714 unit saat Indonesia hanya memiliki 221 unit saja.
Tabel berikut menggambarkan fakta kekuatan militer Indonesia dengan China :
China memang lebih unggul. Namun kalau sudah menyangkut harkat, martabat dan kedaulatan negara harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Karena NKRI harga mati!
0 Comments