Bangsa Indonesia tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa potensi gempa di wilayah Indonesia memang begitu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah gempa yang pernah melanda wilayah Nusantara sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 hingga zaman Kolonial Hindia Belanda pada abad ke-19.
Fakta tersebut hendaknya menjadi kesadaran bersama untuk disikapi, sehingga mampu melahirkan budaya baru. Contoh budaya baru adalah bagaimana merumuskan model perumahan yang ramah terhadap gempa. Juga, bagaimana melahirkan budaya tanggap tsunami. Hal ini penting untuk menekan dampak buruk yang ditimbulkan.
Berkaca pada catatan dan peringatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tingginya korban jiwa pascagempa ternyata bukan karena gempa. Kebanyakan korban meninggal karena tertimpa bangunan dan akibat hanyut atau tenggelam saat tsunami.
Salah satu catatan penting mengenai sejarah gempa beserta dampak susulannya pernah dipaparkan pada 2015 oleh para peneliti Australia yaitu Ngoc Nguyen, Jonathan Griffin, Athanasius Cipta, dan Phil R Cummins. Kajian mereka tersebut dipublikasikan dengan judul Indonesia's Historical Earthquakes.
Sayangnya, kajian tersebut justru banyak disalahgunakan oleh orang-orang tak bertanggung-jawab. Alih-alih disikapi secara bijak, kajian tersebut malah dijadikan sebagai sumber berita untuk menebar kepanikan (hoaks) tentang ramalan akan datangnya gempa megathrust.
Sudah berulangkali diingatkan bahwa para ahli geologi belum mampu memprediksi kapan akan terjadi gempa. Namun, para ahli geologi mampu menganalisa setiap gempa yang sudah terjadi dan memperkirakan dampak yang akan ditimbulkan.
Letak manfaat dari kajian itu bukan berada pada ramalan akan terjadinya gempa di masa mendatang. Kajian itu sangat berguna untuk melahirkan suatu budaya baru, baik menyangut cara berpikir, perilaku, kesadaran, hingga teknologi seperti apa yang dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya gempa.
Maka, dalam konteks tersebut, berikut ini catatan sejarah terkait megathrust atau gempa besar (antara 6,5 sampai 9 SR atau sekitar skala intensitas VIII MMI) yang pernah terjadi di era VOC hingga era Hindia-Belanda. Memang, berdasarkan berita koran maupun laporan resmi pemerintah kolonial, gempa besar tersebut menimbulkan dampak yang mengerikan.
1. Gempa pada 5 Januari 1699
Dalam laporan Coolhaas, Phoonsen, dan beberapa sumber lain seperti dikutip Ngoc Nguyen dan kawan-kawan, pada 5 Januari 1699 gempa besar melanda Batavia (sekarang Jakarta). Disebutkan, “Gempa bumi begitu besar dan kuat yang tidak diketahui apakah sebelumnya pernah terjadi di sini... Goncangan berlangsung selama sekitar tiga seperempat jam.”
Gempa diperkirakan mencapai lebih dari 8 SR dan menghancurkan 21 rumah, 29 lumbung, dan setidaknya 28 jiwa hilang. Sejumlah bangunan runtuh juga terjadi di Lampong (Lampung).
Disebutkan pula adanya gempa susulan yang berlangsung selama beberapa hari. Daerah di sekitar Gunung Salak, dekat Buitenzorg (Bogor) mengalami longsor yang mengakibatkan sungai tidak bisa digunakan sebagai jalur transportasi.
2. Gempa pada 22 Januari 1780
Gempa sekitar 7-8 SR yang terjadi pada 22 Januari 1780 dicatat dalam laporan Wichmann, Musson, dan Albini. Getaran gempa terasa di seluruh Jawa dan Sumatra. Di Batavia, getaran mengakibatan 27 gudang dan puluhan rumah runtuh.
Dilaporkan juga bahwa terjadi “letusan besar” di Gunung Gede yang terdengar dua menit setelah gempa. Gunung Gede kemudian disebutkan “merokok”. Getaran kuat juga terasa di Banten dan Cirebon.
3. Gempa dan tsunami pada 22 November 1815
Gempa lebih dari 7 SR pada 22 November 1815 melanda Pulau Bali. Dalam catatan Wichmann dan Java Government Gazette, di Boleliang (Buleleng) gempa terjadi sekitar pukul 22.00 waktu setempat dan berlangsung selama hampir satu jam. Getaran gempa juga dirasakan di Surabaya dan Lombok.
Setelah gempa, terjadi tanah longsor di pegunungan pesisir (nama gunung tidak disebutkan) dan mengubur seluruh desa di sekitarnya. Akibatnya, 10.253 orang meninggal di Singa Radja (Singaraja) dan Buleleng. Selanjutnya gelombang tsunami menerjang daerah pesisir dan menewaskan lebih dari 1.200 orang.
4. Gempa dan tsunami pada 29 Desember 1820
Gempa besar lebih dari 8 SR dan disusul gelombang tsunami kembali terjadi pada 29 Desember 1820. Dampak gempa dan tsunami mengakibatkan kerusakan dan jatuhnya banyak korban di sepanjang pesisir Selatan Sulawesi dan daerah Bima, Sumbawa.
Di Bima, gempa bumi berlangsung selama lebih dari dua menit. Disusul kemudian terjadinya tsunami yang melontarkan kapal-kapal yang berlabuh di teluk hingga masuk jauh ke pedalaman. Banyak rumah roboh dan pohon tumbang. Banyak orang tewas karena reruntuhan bangunan.
Dalam catatan Roorda van Eysinga, di Boelekomba (Bulukumba) gempa berlangsung sekitar empat sampai lima menit. Getaran sangat hebat sehingga sejumlah meriam melompat dari penyangganya. Air bah setinggi empat meter menerjang barak di sepanjang benteng. Sekitar 500 orang meninggal.
5. Gempa pada 10 Oktober 1834
Dalam catatan Javasche Courant (22/11/1834), diberitakan telah terjadi gempa dengan skala intensitas lebih dari VIII MMI pada 10 Oktober 1834. Gempa melanda kota Batavia, Buitenzorg (Bogor), Banten, Krawang (Karawang), dan Preanger (Priangan). Getaran juga dirasakan hingga daerah Tegal dan Lampung.
Gempa tersebut mengakibatkan sejumlah orang meninggal dan kerusakan bangunan. Di Batavia, istana di Weltevreden atau Paleis van Daendels (sekarang Gedung Kementerian Keuangan) mengalami kerusakan. Banyak rumah megah di Pondok Cina, Cimanggis, termasuk Istana Buitenzorg (Istana Bogor) dan rumah Tjitrap milik Major Jantje mengalami rusak berat.
6. Gempa pada 4 Januari 1840
Hampir enam tahun kemudian, pada 4 Januari 1840 gempa bumi besar terjadi lagi. Kali ini melanda Jawa Tengah. Berita gempa dimuat dalam Javasche Courant (15/01/1840).
Gempa terjadi pada pukul 1.15 dan dirasakan di Kota Semarang, Demak, Wonosobo, Purworejo, Banyumas, Salatiga, dan kota-kota lain. Gempa bumi dirasakan antara satu sampai dua menit yang mengakibatkan bangunan dan jembatan rusak.
7. Gempa pada 16 November 1847
Gempa besar yang terjadi pada 16 November 1847 dirasakan secara intens di sebagian besar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung. Wilayah yang paling parah terkena dampaknya adalah Indramajoe (Indramayu) dan Cheribon (Cirebon).
Dalam Javasche Courant edisi 20 November 1847, gempa bumi ini merupakan gempa terbesar dalam 30 tahun terakhir. Gempa mengakibatkan kerusakan besar pada gedung-gedung pemerintah, lebih dari 40 rumah rumah milik orang Tionghoa di Kabupaten Indramayu roboh dan sekitar 200 rumah di Cirebon rusak berat.
8. Gempa pada 10 Juni 1867
Gempa besar pada 10 Juni 1867 dirasakan di seluruh daerah mulai dari Jawa Barat hingga Bali. Gempa bumi berlangsung sekitar dua menit. Tanah retak banyak dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mulai dari Klaten hingga Trenggalek.
Di daerah Djokjakarta (Yogyakarta), lebih dari 500 orang, termasuk 12 orang Eropa, meninggal dunia. Gempa juga menghancurkan 305 rumah batu milik orang Eropa dan Tionghoa. Di Pasar Gede dilaporkan 236 orang meninggal. Sementara Keraton Djokjakarta juga rusak berat.
0 Comments