Catatan, --- Pada bulan sya’ban tahun 804 H (Maret tahun 1403 M) Yang Dipertuan Maharaja Diraja Minangkabau Tuangku Maharajo Sakti keturunan keempat Adityawarman bersama Pamuncak adat Dt Bandaro Putiah di Sungai Tarab mengundang seluruh pemuka agama, pemuka adat dan ilmuwan umum di seluruh wilayah Dataran tinggi tiga gunung Merapi Singgalang dan Sago yang juga disebut wilayah luak nan tigo mengadakan pertemuan permusyawaratan menyatukan pendapat mengatur masyarakat di wilayah Kerajaan Minangkabau ini diatas bukit Marapalam
Dalam pembukaan Tuangku Maharajo Sakti menyampaikan, “sudah waktunya kita sebagai pemuka wilayah inti kerajaan Minangkabau memikirkan kesatuan dan kemajuan kerajaan Minangkabau.. Marilah kita bersama-sama memikirkan hal itu..”. Semua yang hadir bersepakat.
Tuangku Maharajo Sakti melemparkan pertanyaan mengenai pedoman apa yang dapat menjadi dasar hukum Kerajaan Minangkabau.
Dari Kelompok adat, dan dari Kaum Tua mengusulkan agar tetap berpedoman pada adat yang telah lama diterapkan, yaitu Adat basandi alua jo patuik alam takambang jadi guru..
Dari Kelompok Penguasa Militer yang kebanyakan berasal dari Jawa menyampaikan bahwa mereka mengikuti suara yang terbanyak
Dari Kelompok Umat Islam mengusulkankan agar diterapkan Adat Basandi sarak, sarak basandi kitabullah, sarak mangato adat mamakai, sarak nan kawi adat nan ladzim. Selanjutnya dari kelompok umat Islam juga mengusulkan agar sistem pemerintahan berdaulat umat (demokrasi) systemtigaisme (trilogy).
Minangkabau diperintah oleh 3 (tiga) Lembaga Raja yang terhormat (Rajo Nan Tigo Selo), yaitu Limbago Rajo Alam di Pagaruyuang, Limbago (Lembaga) Rajo Ibadat di Sumpur kudus dan Limbago Rajo Adat di Buo. Masing-masing Limbago Rajo merupakan limbago Ilmuwan (tenaga ahli) dipimpin oleh seorang rajo.. Pimpinan umum disebut Rajo Alam dipanggilkan Sulthan.. Tugas rajo nan tigo selo ialah menjelaskan dan menyempurnakan keputusan Marapalam.. Keputusan Marapalam dengan penyempurnaan dan penjelasannya disebut Undang Adat Minangkabau.
Selain itu rajo nan tigo selo menetapkan aturan pelaksanaan dan aturan yang belum ada dan diperlukan oleh masyarakat Minangkabau..
Sebagaimana telah diberlakukan lama, Minangkabau itu dibagi atas Minangkabau inti (al Biththah) dan Minangkabau rantau (Minangkabau az Zawahir).. Minangkabau al Biththah meliputi wilayah Dataran tiga gunung (tria arga), gunung Singgalang, gunung Marapi dan gunung Sago yang disebut Luak Nan Tigo, yaitu luak Tanah Data, Luak Agam, Luak 50 Koto.. Daerah di luar itu disebut Minangkabau rantau (az zawahir).
Di Minangkabau inti (Luak Nan Tigo) raja-raja Minangkabau tidak memerintah langsung (tidak memungut pajak), tapi hanya mengatur dan menjaga tidak ada peperangan di dalamnya.. Raja Minangkabau memerintah di rantau dengan mengirimkan perwakilan-perwakilan. Minangkabau inti menjadi pendukung Sulthan memerintah ke rantau..
Undang adat Minangkabau ditulis dalam rangkap delapan yang sama.. 3 rangkap masing-masing dipegang oleh Rajo Nan Tigo Selo, serta 4 rangkap dipegang masing-masing oleh Basa 4 balai, dan 1 rangkap dipegang oleh Tuan Gadang.
Barang siapa yang ingin menyalin dapat menyalinnya dari salah satu yang delapan itu. Dalam salinan itu disebutkan siapa yang menyalinnya dan dari undang adat yang mana dia salin.. Begitulah buku undang adat itu sampai ke nagari-nagari.
Hasil kesepakatan di bukit Marapalam tersebut disebut "Bai'ah Marapalam".
BAI’AH MARAPALAM/ UNDANG ADAT MINANGKABAU
(UNDANG UNDANG DASAR (UUD) KESULTHANAN MINANGKABAU DARUL QUORAR)
Bagian pertama
Pembukaan
Pasal 1
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah..
Pasal 2.
Syara’ mangato, Adat mamakai, Syara’ nan Kawi, Adat nan ladzim.
Bagian kedua
Isi baiah
Pasal 3
- Sumber hukum di Minangkabau ialah Al Qur’an, Hadits, Qiyas dan Ijma’..
- Qiyas diambil dari zaman Khalifah Rasyidin.
- Ijma’ adalah hasil kesepatan Limbago Rajo Nan Tigo Selo..
- Ijmak pada tingkat Nagari atau dibawah Minangkabau ialah hasil kesepakatan Tungku Tigo Sajarangan..
- Kesepakatan ditetapkan secara musyawarah, bebas, tanpa adanya "manarah malantuang batu”..
- Semua kesepakatan, peraturan dan keuangan harus ditulis..
Pasal 4
- Pemerintahan Minangkabau terdiri dari Rajo Nan Tigo Selo, Basa IV Balai dan Tuan Gadang..
- Rajo Nan Tigo Selo terdiri dari Rajo Alam di Pagaruyuang, Rajo Ibadat di Sumpur Kudus dan Rajo Adat di Buo..
- Rajo Alam adalah pimpinan Limbago Ilmuwan umum, dan pimpinan Rajo nan tigo selo dipanggilkan Daulat Yang Dipertuan Sulthan..
- Rajo Ibadat adalah pimpinan Limbago ilmuwan agama Islam..
- Rajo Adat adalah pimpinan limbago ilmuwan adat..
- Basa Ampek Balai (para menteri) terdiri dari Titah di Sungai Tarab, Kadhi di Padang Gantiang, Indomo di Saruaso, Makhudum di Sumaniak..
- Titah merupakan pimpinan basa ampek balai..
- Tuan Gadang di Batipuah merupakan penegak hukum (Kepala Polisi Negara), langsung dibawah Rajo Alam tidak berada dibawah Basa Ampek Balai.
- Minangkabau memakai tulisan Arab dengan sistem khusus untuk bahasa Melayu/Minangkabau
Pasal 5
- Minangkabau terdiri atas Nagari-Nagari nan mandiri..
- Nagari mempunyai Pemerintahan dan kekayaan, dapat memungut bunga (pajak) dan membentuk badan usaha..
- Nagari dan rakyat bapacik kapado Tali Tigo Sapilin.. Tali tigo sapilin ialah Syarak, Undang Adat Minangkabau dan Aturan.. Aturan ditetapkan dengan keputusan Rajo Nan Tigo Selo..
- Pemerintahan Nagari terdiri dari Karapatan Nagari, Pamarintah Nagari dan Peradilan Nagari..
- Karapatan Nagari terdiri dari orang orang yang mewakili Tungku Tigo Sajarangan, yaitu Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai..
- Peradilan Nagari terdiri dari pandai hukum yang dipilih dari dan mewakili Tungku Tigo Sajarangan.
Pasal 6.
- Nagari mulo dibuek, dari taratak menjadi dusun, dusun manjadi koto, koto bagabuang jadi Nagari..
- Koto sekurangnya mempunyai empat suku..
- Nagari dapat membelah diri menjadi beberapa Nagari; atau menggabung dari beberapa Nagari menjadi satu..
Pasal 7.
- Peradilan Nagari bertugas menyelesaikan sengketa masyarakat dan memberi sangsi kepada anggota masyarakat yang melanggar Syarak, Adat Minangkabau dan Adat Salingka Nagari..
- Peradilan Nagari tak boleh ikut melaksanakan tugas Pemerintah Nagari dan Kerapatan Nagari..
- Hakim-hakim Peradilan Nagari tidak boleh merangkap jabatan menjadi anggota Kerapatan Nagari, Pemerintah Nagari dan atau Ketua, Manti (sekretaris), Bandaro (bendahara) Limbago Tungku Tigo Sajarangan..
- Hakim Peradilan Nagari harus memenuhi persyaratan; keilmuan, kepribadian, keadilan dan kebersihan ..
- Para hakim yang menyelesaikan sengketa, tidak boleh terlibat hubungan kekerabatan, hubungan ekonomi ataupun hubungan emosional lainnya dengan si mudai atau muda’alaih..
- Proses penyelesaian sengketa dilaksanakan oleh paling banyak lima orang hakim yang didalamnya ada Niniak mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai ..
Pasal 8.
- Kesalahan dikategorikan kepada salah ka Syarak, salah ka Undang Adat Minangkabau, salah ka Aturan, salah ka Adat Salingka Nagari dan salah ka Mamak..
- Salah ka Undang Adat Minangkabau ialah melanggar Undang Nan Salapan (UNS)..
- Ciri kesalahan dituangkan pada Undang nan Duo Baleh (UDB)..
- Proses penyelesaian sengketa ditetapkan dengan Undang Nan Tujuah yaitu susua, siasek, usuit, pareso undang nan dilangga, suri nan kadiuleh dan cupak nan kadiisi..
- Sengketa dapat berbentuk sengketa adat (sako jo pusako), sengketa syarak (faraidh dan munakahat), sengketa ekonomi, pidana dan atau pelanggaran ketertiban dan ketentaraman masyarakat..
Pasal 9.
- Tambang ameh, bungo barang masuk dan kalua Minangkabau adalah hak dan kewenangan ke Sulthanan Minangkabau..
- Kepemilikan tanah terdiri dari, Ulayat Nagari/Rajo, Ulayat Suku/Kaum/Penghulu, milik Pribadi/Faraidh, dan milik Wakaf.. Tidak setapakpun tanah yang tidak bermilik..
- Ulayat Nagari ialah bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya.. Ulayat Nagari dipakai guna untuk kepentingan bersama masyarakat dan sebagai kekayaan cadangan Nagari.. Diatur dengan aturan sendiri..
- Ulayat Rajo ialah Ulayat Nagari di perbatasan 2 atau 3 nagari yang kabur garis batasnya.. Ulayat Rajo diatur bersama oleh Nagari yang berbatasan..
- Ulayat kaum/suku ialah tanah milik bersama anggota kaum/suku, guna kepentingan anggota kaum/suku itu sendiri.. Pusako manuruit kapado sako.. Diatur dengan aturan sendiri..
- Tanah pribadi ialah tanah yang dibeli atau didapat atas pemberian orang atau didapat menurut hukum Faraidh.. Diatur dengan aturan sendiri..
- Tanah faraidh ialah tanah peninggalan seseorang pribadi yang wafat atau harta faraidh yang belum dibagi..
*Tanah wakaf ialah tanah yang diwakafkan untuk kepentingan agama Islam diatur dengan hukum agama Islam, diurus oleh Alim Ulama*.
Pasal 10.
- Kapalo Nagari bertugas memimpin dan mewakili Nagari..
- Karena adanya tugas Kapalo Nagari mempunyai Hak Penghasilan dan Hak Wewenang..
- Hak wewenang ialah mengurus keuangan dan mewakili serta menanda tangani surat-surat Nagari..
- Bersama Kerapatan Nagari, Kapalo Nagari menerbitkan Adat Salingka Nagari..
- Untuk pelaksanaan adat salingka nagari, Kapalo Nagari dapat menerbitkan Keputusan dan Peraturan Kapalo Nagari..
Pasal 11.
1). Pelaksana tugas dan kewenangan Kapalo Nagari ialah Perangkat Nagari yang terdiri dari Manti(Sekretaris), Bandaro (Bendahara), Paga Nagari(Keamanan), Cati (Pembangunan), Pendidikan, Kapalo Jorong /Korong/nama lain dan Kapalo Kaum sebagai pembantu Kapalo Jorong..
Pasal 12.
- Kapalo Nagari dan perangkatnya harus memenuhi persyaratan kemampuan keilmuan, kepemimpinan, bersih (muthaharah) dari pelanggaran syarak, adat Minangkabau dan aturan..
- Sehat jasmani, rohani, dan tidak cacat moral..
- Sehat rohani ialah tidak pernah mengidap penyakit jiwa atau pemabuk, penjudi atau dipenjara lebih dari 3 tahun karena melakukan tindak pidana..
- Cacat moral ialah pernah tertangkap basah melakukan perzinahan, mendekati zina dan berfahisah..
Pasal 13.
- Setiap anggota masyarakat harus mengenal Tuhannya Yang Esa, mengetahui apa itu Iman, apa itu Islam dan syariat-syariatnya..
- Untuk mencapai apa yang dimaksud pada ayat 1 pasal ini diadakan Surau Aso, Surau Kelarasan, Surau Nagari, Surau Jorong, Surau Kampuang dan Surau Kaum..
- Sandi pendidikan ialah memperbaiki nan ado dalam jiwa dengan kitabullah dijadikan guru ..
Bagian ke 3.
Penutup
Pasal 14
- Bai’ah Marapalam ini diwariskan kepada anak cucu..
- Barang siapa yang meragukan atau menolaknya akan terkutuk dimakan sumpah biso kawi, kaateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, ditangah digiriak kumbang, akan dapat bencana dari Allah..
- Undang adat sebelumnya yang tak sesuai dengan syara’ dinyatakan jahiliyah tak dipakai lagi.
Pasal 15.
Bai’ah Marapalam ini akan diperjelas dan disempurnakan dengan Keputusan Limbago Rajo Nan Tigo Selo.
*Catatan penulis*
Aslinya Baiah Marapalam ini hanya _mempunyai bahagian yaitu tiga mempunyai angka dan huruf dipinggir, tidak mempunyai fasal dan ayat._ .... Sesuai dengan angka dan huruf diubah menjadi fasal dan ayat oleh penulis _(H. Asbir Dt. Rajo Mangkuto)_
Demikian pernyataan H. Asbir Dt.Rajo Mangkuto dari Nagari Simarasok Baso.
Bagaimana kalau disambung dengan sejarah masuknya Islam ke pulau perca ini ?. Mungkin kita bertambah kagum dan mantap.
*ISLAM MASUK KE INDONESIA SAAT RASULULLAH MASIH HIDUP DAN KERAJAAN ISLAM PERTAMA DIDUNIA ADALAH _BARUS DARUSSALAM_ DI SUMATRA BARAT DILANJUT _KUNTU DARUSSALAM DI KAMPAR KIRI_, PEKANBARU RIAU*
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat.
Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, _“Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina._
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas.
Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi.
Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
*Temuan G. R Tibbets*
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
_“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,”_ tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah
*Arab-Nusantara-China.*
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
_Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA_ yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
*Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara*
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
*Gujarat Sekadar Tempat Singgah*
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab.
Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah. MASYA-ALLAH, WALLAAHU A'LAMU BIS-SHAWAAB.(014)
Wassalaam
Buya Masoed Abidin
0 Comments