Kondisi Rumah Erma Tenti (foto by covesia.com) |
Terkait adanya pemberitaan sebelumnya dari covesia.com, https://www.covesia.com/archipelago/baca/85994/buk-tin-si-pemulung-nan-berderai-harap-dari-mungo-limapuluh-kota pada Selasa (05/11/2019) kami pun mencoba mendalami informasi terkait kehidupan keluarga miskin di Jorong Pincuran Tinggi Kenagarian Mungo Kecamatan Lareh Sago Halaban kabupaten Limapuluh Kota.
Kontributor impiannews.com mencoba mewawacarai walijorong Pincuran Tinggi Kenagarian Mungo, Rabu (06/11/2019) pagi.
Berawal dari wawancara kami dengan Pj. Walinagari Mungo Laswarti melalui Kasi Pemerintahan, Dodi ya g menghubungkan kontak seluler kami dengan walijorong Pincuran Tinggi, Jufri.
Diterangkan Jufri, "Benar. Ada warga kami yang bernama Erna Teti yang akrab disapa Buk Tin. Dulu mereka marantau ke Dumai. Suami Buk Tin Si Jon adalah warga Mungo. Mereka memang termasuk keluarga kurang mampu diantara warga kurang mampu lain,"sebut Jufri.
"Kita sudah usulkan bantuan rehab kepada Pemkab Limapuluh Kota, namun belum ada realisasi. Disamping itu keluarga Si Jon juga tidak termasuk penerima PKH, padahal sudah kami usulkan. Menurut keterangan Dinsos, kuota sudah penuh. Adapun upaya yang bisa kami berikan adalah penggalangan bantuan agar mereka bisa mendapatkan bantuan dari warga, ala kadarnya. Belum lama ini ada Babinsa yang ingin memperjuangkan rehab ke Dinas LH, "terang Jufri di selulernya.
Sementara, Kasi Pemerintahan Dodi juga menerangkan bahwasanya pihak Kenagarian sudah melakukan upaya, namun belum ada terrealisasi.
"Ya, kita sudah berupaya Pak. Terkait realisasi bukan wewenang kita, "singkat Dodi.
Kontributor impiannews.com mencoba mewawacarai walijorong Pincuran Tinggi Kenagarian Mungo, Rabu (06/11/2019) pagi.
Berawal dari wawancara kami dengan Pj. Walinagari Mungo Laswarti melalui Kasi Pemerintahan, Dodi ya g menghubungkan kontak seluler kami dengan walijorong Pincuran Tinggi, Jufri.
Diterangkan Jufri, "Benar. Ada warga kami yang bernama Erna Teti yang akrab disapa Buk Tin. Dulu mereka marantau ke Dumai. Suami Buk Tin Si Jon adalah warga Mungo. Mereka memang termasuk keluarga kurang mampu diantara warga kurang mampu lain,"sebut Jufri.
"Kita sudah usulkan bantuan rehab kepada Pemkab Limapuluh Kota, namun belum ada realisasi. Disamping itu keluarga Si Jon juga tidak termasuk penerima PKH, padahal sudah kami usulkan. Menurut keterangan Dinsos, kuota sudah penuh. Adapun upaya yang bisa kami berikan adalah penggalangan bantuan agar mereka bisa mendapatkan bantuan dari warga, ala kadarnya. Belum lama ini ada Babinsa yang ingin memperjuangkan rehab ke Dinas LH, "terang Jufri di selulernya.
Sementara, Kasi Pemerintahan Dodi juga menerangkan bahwasanya pihak Kenagarian sudah melakukan upaya, namun belum ada terrealisasi.
"Ya, kita sudah berupaya Pak. Terkait realisasi bukan wewenang kita, "singkat Dodi.
Dialah Erna Tenti (41) biasa di panggil Buk Tin, seorang pemulung yang memiliki badan yang tinggal di sebuah gubuk lusuh ukuran 3x4 meter dengan atap seadanya, bermukim di balik semak belukar dan ladang jagung di Jorong Pincuran
Tinggi, Kenagarian Mungo, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota.Kesehariannya berprofesi sebagai pemulung, guna menopang keluarganya dikarenakan suaminya Jon Subrata (50 tahun seorang buruh tani) sudah sakit-sakitan.
Rumahnya berdinding kayu layang telah lapuk, beratap rumbio dan
berlantai tanah. Didalam rumah, hanya ada satu kamar tidur yang terbuka
menganga dan terlihat jelas dari ruang tamu. Di sana tergolek lah si
bungsu, Fitri Nur Asyifa (5) yang tengah sakit. Kakinya dipenuhi Tukak
dan campak. Tak bisa berdiri, apalagi berjalan. Sebulan lebih Fitri
didera penyakit ini tanpa ada harap untuk ke medis. M. Defan Saputra (8) dan Fauza Guslani (12) bersekolah di SD Negeri 01 Mungo.
Hari inilah, pertama kalinya Suami Buk Tin (Jon Subrata-red) pergi bekerja. Penyakit paru yang dideritanya memaksanya untuk tergeletak selama 2,5 bulan. Jikalau dipaksakan bekerja, sesak nafas pun datang. Tiada pilihan bagi suami Buk Tin selain memaksakan diri. Jika tidak, apa yang hendak dimakan oleh anak-anak di rumah nanti.
Sedangkan Buk Tin memang tidak memulung hari ini karena ia harus menjaga Fitri yang tengah sakit. Biasanya, Fitri akan dijaga oleh sang suami yang juga sakit. Jika ia berangkat memulung, pukul 07.00 WIB ia telah mendorong gerobak. Pukul 17.00 WIB barulah pulang. Diarungi desa-desa di sekitar nagari Mungo dan Andaleh. Mencari karton, gelas plastik dan kaleng bekas. Fauza dan Defan akan menyusul ibunya selepas sekolah. Sehari, bisa dapat 3 goni. Jika diuangkan, tak lebih dari Rp 15-20 ribu.
“Kalau mulung, biasanya dibantu Defan dan Fauza. Lepas sekolah mereka mulai mencari-cari saya di sekitar nagari. Hasilnya sekitar 15-20 ribu. Cuma hari ini saya gantian sama suami. Ia kerja di ladang orang sekarang. Upahnya ada 70 ribu sehari. Ini hari pertama ia bekerja setelah tidur selama 2,5 bulan karena sakit,” sebut Buk Tin
Saat menceritakan suaminya ini, Buk Tin tergagap. Ia dirundung cemas. Sang suami yang mengidap penyakit paru yang cukup kronis harus memaksakan diri untuk bekerja berat. Takut suaminya kenapa-kenapa. Karena akan mencangkul-cangkul sawah dan bertantang terik matahari.
“Sekarang mau menyusul suami. Takut ia kenapa-kenapa. Soalnya kalau dipaksakan kerja, bisa-bisa sakit lagi. Sesak nafas lagi,” Sebut Buk Tin.
Buk Tin memang mengaku ia sudah terbiasa hidup susah sedari kecil. Tak berduit dan makan tiga kali sehari adalah sebuah hal yang terbilang jarang. Ibunya juga hidup susah seperti ini di kampung halaman di Kenagarian Suayan, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota. Karena itulah ia sudah bebal akan hidup seperti ini. Tak ingin bermimpi lagi untuk hidup ceria seperti orang berkecukupan.
“Mau bermimpi apalagi. Sejak kecil ibuk hidup susah seperti ini. Mungkin harus hidup susah sampai mati. Yang mau bantu juga tidak ada. Pemerintah juga tidak mau bantu ibuk. Bantuan-bantuan pemerintah yang dari PKH, Raskin, BPJS dan atau apalah, tidak ada satu pun ibuk terima. Beasiswa untuk sekolah anak-anak juga tidak ada,” katanya.
Ia mengaku pasrah akan hidup saat ini. Tak ada lagi harapan dan keinginan yang lebih selain mendapatkan nasi untuk dimakan setiap hari. Diharapkan suami, juga telah payah bekerja. Waktu-waktunya hanya akan dihabiskan untuk memulung dan akan bersyukur jikalau mendapatkan uang Rp 20 ribu di sore harinya.
Pjs Walinagari Mungo, Laswarni memang mengakui Buk Tin adalah warganya yang masuk dalam kategori miskin. Bahkan hidupnya sangat susah.
“Memang ibuk ini sangat susah hidupnya,” sebut Laswarni saat ditemui di Kantor Walinagari Mungo.
Pernah sekali waktu Laswarni dikunjungi oleh Buk Tin beserta ketiga anaknya ke kantor Walinagari dan meminta makan. Terlihat saat itu, anak-anak buk Tin memang seperti orang yang telah lama tidak makan.
“Pas dikasih makan, anak-anak lahap sekali makannya. Hati saya tersayat mlihat mereka. Kasihan,” sebut Laswarni.
Mengenai tidak adanya satu pun bantuan pemerintah yang didapat oleh Buk Tin, Laswarni mengatakan bahwa Buk Tin baru mengurus administrasi kependudukan selepas pindah dari Suayan.
“Ibuk ini dan keluarganya baru pindah sekitar 4 tahun yang lalu ke sini. Baru setahun kemarin mengurus adminstrasi kependudukan seperti KTP, KK dan lainnya. Jadi nama Buk Tin dan keluarganya baru dimasukkan ke data base usulan untuk bantuan ke dinas Sosial tahun 2020,” sebut Laswarni.
Sepertiga Warga Mungo Miskin
Sementara itu ketua Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Kenagarian Mungo, Asrul Dt Marajo Nan Panjang menyebutkan kehidupan ekonomi masyarakat di Mungo masih sangat memprihatinkan. Banyak masyarakat yang masih dalam kategori miskin. “Sepertiga masyarakat Mungo ini miskin. Bukan hanya Buk Tin saja. Yang seperti Buk Tin ini banyak di Mungo.Cuma bisa mendapatkan Rp 20 ribu sehari. Itupun jika sedang sehat atau bersemangat. Bagaimana jika sedang sakit atau ada masalah. Mungkin penghasilannya lebih kecil dari ini,” sebut Asrul.
Faktor kemiskinan di kenagarian Mungo ini bagi Asrul karena faktor pendidikan yang rendah dan sudah termanjakan oleh bantuan pemerintah. Akhirnya susah beradaptasi dengan perkembangan zaman.
“Karena pendidikan rendah seperti buk Tin ini. Akhirnya susah mengikuti perkembangan zaman. Tap yang lebih banyak karena sudah termanjakan oleh bantuan pemerintah, akhirnya jadi pemalas. Saat ada pergantian data, masyarakat yang pemalas ini jadi bingung mau bagaimana lagi. Tidak jarang ngamuk-ngamuk ke kantor Walinagari,” katanya.
Asrul mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan Kenagarian Mungo baik dari sektor pendidikan maupun pembangunan. Pasalnya, saat ini Mungo sudah menjadi nagari terbelakang dari nagari yang lain. Fenomena kemiskinan yang sangat banyak pada hari ini menjadi bukti Mungo sudah menjadi nagari yang tertinggal.
Hidup Buk Tin sudah menjadi bukti dan realita adanya kemiskinan berkembang biak di Kabupaten Limapuluh Kta. Memvalidkan data Badan Pusat Statistik terbaru di akhir 2018 silam. Masih ada 26.930 penduduk Limapuluh Kota masuk dalam kategori miskin. Mereka memiliki pendapatan perkapita dibawah Rp 370 ribu per bulan.
Walaupun Buk Tin bisa mendapatka Rp 20 Ribu perhari, bukan berarti ia berpendapatan Rp 600 ribu perbulan. Tetapi Rp 600 ribu ini harus dibagi lima. Untuk Suami dan ketiga anaknya. Tak pelak, Buk Tin adalah salah satu dari sekian puluh ribu orang miskin yang terdata oleh BPS Limapuluh Kota tahun lalu. Ia hanya berpenghasilan Rp 125 ribu perbulan, bersama anggota keluarga yang lain.
Hari inilah, pertama kalinya Suami Buk Tin (Jon Subrata-red) pergi bekerja. Penyakit paru yang dideritanya memaksanya untuk tergeletak selama 2,5 bulan. Jikalau dipaksakan bekerja, sesak nafas pun datang. Tiada pilihan bagi suami Buk Tin selain memaksakan diri. Jika tidak, apa yang hendak dimakan oleh anak-anak di rumah nanti.
Sedangkan Buk Tin memang tidak memulung hari ini karena ia harus menjaga Fitri yang tengah sakit. Biasanya, Fitri akan dijaga oleh sang suami yang juga sakit. Jika ia berangkat memulung, pukul 07.00 WIB ia telah mendorong gerobak. Pukul 17.00 WIB barulah pulang. Diarungi desa-desa di sekitar nagari Mungo dan Andaleh. Mencari karton, gelas plastik dan kaleng bekas. Fauza dan Defan akan menyusul ibunya selepas sekolah. Sehari, bisa dapat 3 goni. Jika diuangkan, tak lebih dari Rp 15-20 ribu.
“Kalau mulung, biasanya dibantu Defan dan Fauza. Lepas sekolah mereka mulai mencari-cari saya di sekitar nagari. Hasilnya sekitar 15-20 ribu. Cuma hari ini saya gantian sama suami. Ia kerja di ladang orang sekarang. Upahnya ada 70 ribu sehari. Ini hari pertama ia bekerja setelah tidur selama 2,5 bulan karena sakit,” sebut Buk Tin
Saat menceritakan suaminya ini, Buk Tin tergagap. Ia dirundung cemas. Sang suami yang mengidap penyakit paru yang cukup kronis harus memaksakan diri untuk bekerja berat. Takut suaminya kenapa-kenapa. Karena akan mencangkul-cangkul sawah dan bertantang terik matahari.
“Sekarang mau menyusul suami. Takut ia kenapa-kenapa. Soalnya kalau dipaksakan kerja, bisa-bisa sakit lagi. Sesak nafas lagi,” Sebut Buk Tin.
Buk Tin memang mengaku ia sudah terbiasa hidup susah sedari kecil. Tak berduit dan makan tiga kali sehari adalah sebuah hal yang terbilang jarang. Ibunya juga hidup susah seperti ini di kampung halaman di Kenagarian Suayan, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota. Karena itulah ia sudah bebal akan hidup seperti ini. Tak ingin bermimpi lagi untuk hidup ceria seperti orang berkecukupan.
“Mau bermimpi apalagi. Sejak kecil ibuk hidup susah seperti ini. Mungkin harus hidup susah sampai mati. Yang mau bantu juga tidak ada. Pemerintah juga tidak mau bantu ibuk. Bantuan-bantuan pemerintah yang dari PKH, Raskin, BPJS dan atau apalah, tidak ada satu pun ibuk terima. Beasiswa untuk sekolah anak-anak juga tidak ada,” katanya.
Ia mengaku pasrah akan hidup saat ini. Tak ada lagi harapan dan keinginan yang lebih selain mendapatkan nasi untuk dimakan setiap hari. Diharapkan suami, juga telah payah bekerja. Waktu-waktunya hanya akan dihabiskan untuk memulung dan akan bersyukur jikalau mendapatkan uang Rp 20 ribu di sore harinya.
Pjs Walinagari Mungo, Laswarni memang mengakui Buk Tin adalah warganya yang masuk dalam kategori miskin. Bahkan hidupnya sangat susah.
“Memang ibuk ini sangat susah hidupnya,” sebut Laswarni saat ditemui di Kantor Walinagari Mungo.
Pernah sekali waktu Laswarni dikunjungi oleh Buk Tin beserta ketiga anaknya ke kantor Walinagari dan meminta makan. Terlihat saat itu, anak-anak buk Tin memang seperti orang yang telah lama tidak makan.
“Pas dikasih makan, anak-anak lahap sekali makannya. Hati saya tersayat mlihat mereka. Kasihan,” sebut Laswarni.
Mengenai tidak adanya satu pun bantuan pemerintah yang didapat oleh Buk Tin, Laswarni mengatakan bahwa Buk Tin baru mengurus administrasi kependudukan selepas pindah dari Suayan.
“Ibuk ini dan keluarganya baru pindah sekitar 4 tahun yang lalu ke sini. Baru setahun kemarin mengurus adminstrasi kependudukan seperti KTP, KK dan lainnya. Jadi nama Buk Tin dan keluarganya baru dimasukkan ke data base usulan untuk bantuan ke dinas Sosial tahun 2020,” sebut Laswarni.
Sepertiga Warga Mungo Miskin
Sementara itu ketua Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Kenagarian Mungo, Asrul Dt Marajo Nan Panjang menyebutkan kehidupan ekonomi masyarakat di Mungo masih sangat memprihatinkan. Banyak masyarakat yang masih dalam kategori miskin. “Sepertiga masyarakat Mungo ini miskin. Bukan hanya Buk Tin saja. Yang seperti Buk Tin ini banyak di Mungo.Cuma bisa mendapatkan Rp 20 ribu sehari. Itupun jika sedang sehat atau bersemangat. Bagaimana jika sedang sakit atau ada masalah. Mungkin penghasilannya lebih kecil dari ini,” sebut Asrul.
Faktor kemiskinan di kenagarian Mungo ini bagi Asrul karena faktor pendidikan yang rendah dan sudah termanjakan oleh bantuan pemerintah. Akhirnya susah beradaptasi dengan perkembangan zaman.
“Karena pendidikan rendah seperti buk Tin ini. Akhirnya susah mengikuti perkembangan zaman. Tap yang lebih banyak karena sudah termanjakan oleh bantuan pemerintah, akhirnya jadi pemalas. Saat ada pergantian data, masyarakat yang pemalas ini jadi bingung mau bagaimana lagi. Tidak jarang ngamuk-ngamuk ke kantor Walinagari,” katanya.
Asrul mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan Kenagarian Mungo baik dari sektor pendidikan maupun pembangunan. Pasalnya, saat ini Mungo sudah menjadi nagari terbelakang dari nagari yang lain. Fenomena kemiskinan yang sangat banyak pada hari ini menjadi bukti Mungo sudah menjadi nagari yang tertinggal.
Hidup Buk Tin sudah menjadi bukti dan realita adanya kemiskinan berkembang biak di Kabupaten Limapuluh Kta. Memvalidkan data Badan Pusat Statistik terbaru di akhir 2018 silam. Masih ada 26.930 penduduk Limapuluh Kota masuk dalam kategori miskin. Mereka memiliki pendapatan perkapita dibawah Rp 370 ribu per bulan.
Walaupun Buk Tin bisa mendapatka Rp 20 Ribu perhari, bukan berarti ia berpendapatan Rp 600 ribu perbulan. Tetapi Rp 600 ribu ini harus dibagi lima. Untuk Suami dan ketiga anaknya. Tak pelak, Buk Tin adalah salah satu dari sekian puluh ribu orang miskin yang terdata oleh BPS Limapuluh Kota tahun lalu. Ia hanya berpenghasilan Rp 125 ribu perbulan, bersama anggota keluarga yang lain.
Hidup Buk Tin sudah menjadi bukti dan realita adanya kemiskinan berkembang biak di Kabupaten Limapuluh Kta. Memvalidkan data Badan Pusat Statistik terbaru di akhir 2018 silam. Masih ada 26.930 penduduk Limapuluh Kota masuk dalam kategori miskin. Mereka memiliki pendapatan perkapita dibawah Rp 370 ribu per bulan.
Walaupun Buk Tin bisa mendapatka Rp 20 Ribu perhari, bukan berarti ia berpendapatan Rp 600 ribu perbulan. Tetapi Rp 600 ribu ini harus dibagi lima. Untuk Suami dan ketiga anaknya. Tak pelak, Buk Tin adalah salah satu dari sekian puluh ribu orang miskin yang terdata oleh BPS Limapuluh Kota tahun lalu. Ia hanya berpenghasilan Rp 125 ribu perbulan, bersama anggota keluarga yang lain.(014)
Walaupun Buk Tin bisa mendapatka Rp 20 Ribu perhari, bukan berarti ia berpendapatan Rp 600 ribu perbulan. Tetapi Rp 600 ribu ini harus dibagi lima. Untuk Suami dan ketiga anaknya. Tak pelak, Buk Tin adalah salah satu dari sekian puluh ribu orang miskin yang terdata oleh BPS Limapuluh Kota tahun lalu. Ia hanya berpenghasilan Rp 125 ribu perbulan, bersama anggota keluarga yang lain.(014)
0 Comments