Alfred Tuname
(Esais)
Suatu ketika ada kegiatan kemanusiaan di sebuah Sekolah Dasar. Nama sekolahnya, SDI Warat di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Manggarai Timur. Sekolah itu dekat tak jauh dari “Lehong”, Pusat Pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur (Matim). Tampak luar, sekolah itu pasti mendapatkan perhatian yang baik dari Pemda Matim.
Saat masuk ke salah satu ruangan kelas, ada hal yang menarik, selain ruangannya yang bersih serta kursi dan meja yang bagus. Di ruang kelas itu, ada semacam Mading yang tertempel berbagai jenis karya imajinatif para murid. Ada puisi, pantun, cerpen, dan ilustrasi. Semua tertulis secara rapi dan menarik. Di bagian dinding, juga terdapat gambar detail organ biologi ternak.
Menarik. Atas semua itu pasti ada guru yang menarik. Guru itu menarik para murid untuk masuk dalam ruang imajinasi mereka sendiri. Lalu ia mendorong para murid itu mengekspresikannya dalam tulisan. Tidak hanya itu, ia mencari wadah agar karya imajinatif itu dibaca oleh semua orang yang masuk dalam ruangan kelas itu.
Kelas memang harusnya demikian. Ruangan itu berisi imajinasi, bukan hanya hafalan pengetahuan. Sesuatu yang didaktif akan terjadi apabila imajinasi murid ditangkap oleh guru, begitu pun ilmu sang guru diserap secara baik oleh para murid.
Murid pasti akan lelah jika kelas hanya berlansung secara monologis. Kelas akan mandul apabila murid dilarang untuk bermain di taman imajinasi mereka sendiri.
Mari kita intip salah satu yang mekar di taman imajinasi murid SDI Warat, “Alkisah Sebatang Bambu”:
“Alkisah sebatang bambu
yang inda tumbu di halaman Rumah
seorang petani. batang bambu ini
tumbu tinggi menjulang
di antara batang bambu lainnya.
Suatu hari datanglah sang petani
yang mempunyai pohon bambu itu.
dia berkata kepada batang bambu
wahai bambu maukah engkau
kupakai untuk menjadi pipa saluran
air yang sangat berguna untuk
mengiring sawahku”
Itu sebuah cerpen singkat dari seorang anak murid Sekolah Dasar. Secara gramatik, cerpen itu nyaris sempurna. Alur ceritanya singkat. Pembaca pasti dipenuhi rasa penasaran sebab bagian akhir ceritanya masing gantung.
Tetapi dari cerita itu, kita masuk pada hal yang lebih mendalam (duc in altum) dari cerita imajinatif itu, yakni etika. Tanpa belajar teori-teori etika, anak itu menulis cara hidup manusia dengan alamnya. Seorang petani menghargai bambu. Ia harus meminta “izin” kepada bambu sebelum memotongnya. Keseimbangan ekologis dimulai dari situ: sense of assurance. Bahwa jaminan akan kelangsungan hidup masa depan dimulai dari tindakan saat ini.
Singkatnya, sang penulis pemula itu sedang mendikte pembacanya tentang etika lingkungan. Menghargai lingkungan sama artinya dengan menghargai hidup manusia itu sendiri. Menebang dan membakar hutan di musim kemarau adalah sikap tidak menghargai hidup itu sendiri. Kira-kira demikian pesan filosofisnya.
Itu satu dari sekian pesan filosofis bisa dicerna dari tulisan-tulisan murid sekolah dasar. Mereka menulis karena ada guru yang mendorong; mereka berkreasi karena ada guru yang kreatif; mereka berimajinasi karena ada guru yang mencintai ide. Semua itu adalah kultur literasi yang baik di ruang kelas.
Yang jelas, kultur literasi bukan hanya berkenaan dengan budaya baca dan tulis. Kultur literasi juga berkaitan dengan kebiasan untuk berekspresi. Dalam kebiasaan berekspresi itu, setiap orang menggunakan perangkat kreasi tulisan, gambar, video, dll. Semua itu baik apabila dimulai dari pendidikan dasar. Bukan dengan hafalan, tetapi dengan “hayalan” pelajaran itu dimulai.
Suasana ruang belajar di SDI Warat benar-benar membangkitkan mood literasi bagi anak-anak. Mereka tidak didikte tetapi dibiarkan untuk bebas bersastra. Mungkin mereka baru belajar membaca dan menulis, tetapi imajinasi menuntun mereka bersastra. Keterbatasan diksi tak membatasi mereka bergaul dengan fiksi.
Harapannya, kultur literasi tidak hanya ada di satu ruangn kelas, tetapi di semua ruangan kelas sekolah. Tidak hanya itu, semua sekolah di Matim mestinya dikembangkan kultur literasi. Dengan begitu, Indeks Pembangunan Manusia Matim (IPM) juga terdongkrak membaik.
Kalau IPM membaik, akan muncul manusia-manusia yang sejahtera. Mereka yang sejahtera mampu berpikir secara baik karena bisa membaca secara tenang dan mendalam. Saat ini, kayaknya, kita surplus pemikir tetapi minim pembaca. Mereka lebih banyak melihat dengan telinga. Mungkin karena kurang melihat, kurang membaca.
0 Comments