Mahasiswa : Universitas Islam Malang
Fakultas : Ilmu Administrasi
Prodi : Administrasi Publik
Sangatlah menarik analisis Marinus Waruwu menguraikan gagasan disceo ergo sum: saya belajar maka saya ada. Bagi Marinus, peserta didik merasa dirinya ada, dan ber-ada hanya ketika mereka belajar dan mengalami secara langsung proses belajar itu. Hanya melalui belajarlah mereka bisa meraih cita-cita setinggi langit .
Akan tetapi, apakah para teroris tidak sungguh-sungguh mempraktekkan slogan disceo ergo sum itu? Apakah penganut radikalisme tidak mempelajari sungguh-sungguh ilmu-ilmu yang radikal? Ada banyak teroris belajar secara tekun bagaimana merakit bom.
Informasi merakit bom mereka cari di internet secara tekun untuk dipelajari sungguh-sungguh. Mereka membaca dan mempelajari berbagai buku yang membekali mereka merakit bom dan semakin radikal menjadi teroris.
Jadi, teroris dan penganut radikalisme sungguh mempraktekkan disceo ergo sum itu. Bagi teroris, belajar merakit bom membuat mereka semakin eksis sebagai teroris yang handal. Dengan demikian, ilmu yang mereka pelajari bukan untuk kehidupan melainkan untuk kebencian dan kematian.
Sebenarnya, peserta didik tidak hanya kita dorong untuk mempraktekkan disceo ergo sum, tetapi kita juga mengajak mereka untuk menyadari kalimat bijak filsuf Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 SM): “Non scholae, sed vitae discimus”.
Kalimat itu berarti kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup. Di balik kalimat bijak Seneca itu, peserta didik belajar bukan hanya mengejar nilai, melainkan belajar untuk hidup. Jadi Seneca hendak mengatakan (bukan saya hidup untuk belajar, melainkan saya belajar untuk hidup).
Dalam konteks ini sangat benar pendapat Marinus, “belajar bukan lagi soal mendapatkan nilai dengan angka-angka yang besar, sebaliknya belajar adalah bagaimana peserta didik dibentuk menjadi manusia seutuhnya, menjadi pribadi yang jujur, dan berkarakter serta beriman kepada Yang Maha Kuasa.”
REPORT THIS AD
Di dalam kalimat bijak Seneca itu termaktub makna terdalam dari pendidikan, yakni agar peserta didik tidak hanya mengetahui ilmu, tetapi mampu membangun dirinya menggapai kehidupan yang luhur. Dengan demikian, pengetahuan mereka gunakan untuk memelihara kehidupan, bukan kematian seperti aksi para teroris itu; tidak juga untuk semakin radikal dan membenci pihak-pihak yang berbeda dengan mereka.
Persoalannya, bagaimana agar peserta didik menghayati dan mempraktekkan “non scholae, sed vitae discimus” itu dalam hidup mereka? Ada beberapa tawaran pemikiran.
Pertama, para guru mendidik siswa-siswinya sesuai makna pendidikan. Pendidik berusaha mengontrol dirinya agar yang dia ajarkan bukan ambisi dirinya sendiri melainkan ilmu-ilmu yang membuat peserta didik menghayati makna pendidikan itu sendiri. Seperti kita ketahui, istilah pendidikan berasal dari bahasa Latin, yakni educare. Istilah tersebut terdiri dari dua kata, e(x) berarti keluar dan ducere adalah memimpin.
Pendidikan adalah suatu proses belajar-mengajar agar seseorang mampu memimpin diri sendiri untuk semakin mencintai yang lain, keluar dari dirinya sendiri, tidak terpaku pada diri sendiri, tidak memelihara ego dan kesenangan dirinya sendiri. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya mengejar nilai, melainkan demi kehidupan yang lebih luhur.
Berdasarkan makna educare itu, proses pendidikan semestinya menuntun seseorang untuk memandang lebih luas sekitarnya, itulah sikap demokratis dan toleransi. Orang terdidik berarti pribadi yang tidak hanya percaya pada pengetahuannya, tetapi melihat ada kebenaran dalam pemikiran orang lain.
Orang terdidik semakin luas horizon pemikirannya, tidak terkurung dalam pemikiran fanatik. Orang terdidik mampu menggunakan akal budinya secara baik-benar, sekaligus memiliki kekuatan logika hati yang mudah memaafkan, melihat yang lain sebagai pribadi yang layak mencinta dan dicintai.
Bagi orang terdidik, pengetahuan adalah kekuatan untuk melihat lebih luas dunia sekitar, bukan menjadi sarana membenci yang lain.
Kedua, guru membiasakan siswa-siswa tidak hanya mengetahui ilmu, tetapi mengalami dan merasakan kehidupan. Selain peserta didik dibekali dengan ilmu pasti dan matematis, pendidik perlu mendidik muridnya agar lebih positif melihat perbedaan.
Guru perlu mengajak para muridnya hidup bergaul dengan komunitas yang berbeda dengan komunitas, kelompok dan agamanya. Program live in atau hidup beberapa hari atau beberapa minggu di suatu komunitas berbeda menjadi salah satu pilihan. Selain itu, program silaturahmi antarsekolah, belajar bersama lintas sekolah dan universitas menjadi sarana untuk saling mengenal dan membina relasi persaudaraan.
Ketiga, peserta didik sebaiknya mempelajari ilmu lain, selain yang diajarkan guru atau mentornya. Tujuannya, agar peserta didik semakin luas pengetahuannya sehingga mampu menyeleksi ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dari sang guru di sekolah atau di bangku kuliah. Dalam konteks ini, kerjasa sama dari orangtua diperlukan. Orangtua mesti lebih tekun dan bijak mendampingin anak-anaknya, agar lebih selektif terhadap ilmu yang mereka dapatkan. Sebab sesungguhnya, pendidik yang pertama dan utama adalah orangtua.
Kita yakin, jika para pendidik dan peserta didik sungguh membatinkan slogan Sineca dan ketiga tawaran pemikiran ini, maka kecerungan fanatisme akan terkikis, tawuran dan kekerasan tidak menjadi pilihan menyelesaikan masalah. Proses pendidikan sudah berada di jalur yang baik dan benar, jika bertujuan memanusiakan peserta didik. Apabila terjadi hal ini, maka telah terwujud “non scholae, sed vitae discimus” itu.
0 Comments