Jakarta, Pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang menegaskan, siapapun yang melakukan tindakan anarkis, inkonstitusional, dan tidak baik, termasuk berupaya menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu akan berhadapan dengan TNI, dinilai sebagai menalut-nakuti rakyat dan TNI condong menjadi alat kekuasaan.
“Pernyataan Panglima TNI bisa dimaknai sebagai bentuk intimidasi kepada rakyat. Padahal rakyat hanya ingin menyampaikan sikap politiknya, menuntut keadilan dalam banyak isu atau kasus," kata Pengamat Terorisme dan Intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya seperti dilansir harian terbit, Jumat (27/9/2019).
Harits menilai, yang dilakukan rakyat juga bukan inkonstitusional. Karena jika wakil rakyat tidak lagi bisa mewakili aspirasi rakyat, disaat rezim dikendalikan oleh segelintir orang (oligarki kekuasaan) dan rakyat hanya menjadi tumbal syahwat kekuasaan mereka, maka apa salahnya jika rakyat menggugat.
Oleh karena itu, lanjutnya, pernyataan Panglima TNI maka memunculkan kesan TNI tidak murni sebagai alat negara tapi condong menjadi alat kekuasaan. "Setia pada rezim yang problematik maka akan berhadapan dengan rakyat," tegasnya.
Harits memaparkan, doktrin 8 wajib TNI harusnya kembali diingat bahwa TNI sejatinya tidak akan pernah menakut-nakuti rakyat, apalagi menyakiti hati rakyat. Tapi sebaliknya TNI harus ramah kepada rakyat. Oleh karenanya TNI harus berdiri disisi rakyat.
Sangat tidak pantas TNI memusuhi rakyat jika realitas politik rakyat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada rezim Jokowi.
"Sejatinya rakyat sangat rindu TNI hadir menjadi mediator untuk mencari formula baru kekuasaan. Rakyat merasakan negara sedang tidak baik-baik saja. Dan rakyat sangat berharap TNI tidak hanya menjadi "penyimak" setia atas gonjang ganjing politik saat ini, atau bahkan justru menjadi tukang menakut-nakuti rakyat," jelasnya.
Wajar
Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, yang disampaikan Panglima TNI yang siap menghadap pihak yang menggagalkan pelantikan Presiden bukan galak. Yang dilakukan Panglima TNI adalah wajar agar pelantikan kepala negara berjalan lancar.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar ada pihak yang ingin menggagalkan pelantikan Presiden. "Jangan mengancam-ancam untuk sesuatu yang gak ada," paparnya.
Khairul menilai, Pilpres 2019 sudah selesai. Para pihak yang berkompetisi juga sudah berjumpa untuk saling komunikasi. Oleh karena itu ada apa dengan aksi untuk menggagalkan pelantikan Presiden.
Khairul mengkhawatirkan ada yang menarik-narik rakyat dalam pusaran konflik antar elit terkait pembagian kue kekuasaan menjelang pelantikan Presiden.
"Jangan ditarik rakyat merasakan ada keadilan. Karena malah kesannya jadi rakyat yang ingin menggagalkan dan ditunggangi," jelasnya.
Garis Terdepan
Seperti diberitakan, di Skuadron 17 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (27/9/2019), Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto memastikan TNI berada di garis terdepan apabila ada yang ingin menjegal pelantikan presiden-wakil presiden terpilih. Hadi menyampaikan presiden-wakil presiden terpilih telah sah melalui proses pemilu.
"Siapa pun yang melakukan tindakan anarkis, inkonstitusional, cara-cara yang kurang baik, termasuk ingin menggagalkan pelantikan presiden dan wapres terpilih hasil pemilu, akan berhadapan dengan TNI," tegasnya.
Hadi memaparkan, siapa pun dapat menyampaikan aspirasi di negara demokrasi ini. Namun penyampaian aspirasi itu disebut harus sesuai dengan konstitusi.
Hadi juga menegaskan bahwa tugas TNI adalah menjaga keutuhan dan keselamatan bangsa sehingga demokrasi dan konstitusi dapat ditegakkan.
0 Comments