Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di Koto Nan
Ampek, Payakumbuh. Ayahnya adalah Abdul Hamid yang dikenal sebagai
“orang bagak,” yakni julukan yang diberikan kepada pemuda Minangkabau
yang disegani karena keberanian dan ilmu beladirinya. Dan Ibunya
bernama Halimah.
Putra kedua dari dua orang bersaudara, Kakaknya bemama Nahrawi, istri
dari Imam Mukhtasar, seorang ulama terpandang didaerahnya. Masa kecil
dihabiskan Zainuddin Hamidy di kampung halamannya. la tumbuh dari
keluarga yang tidak begitu religius. Tapi faktor lingkungan dan
keuletannya dalam menuntut ilmu, membuat Zainuddin Hamidy kelak dikenal
sebagai seorang ulama yang cukup berpengaruh. Disamping melewati
pendidikan non-formal tradisional yakni surau, Zainuddin Hamidy juga
menempuh pendidikan formal. Selama lima tahun, ia sekolah di sekolah
Gouvernement di Payakumbuh.
Kecintaan pada Ilmu Pengetahuan
Setelah menamatkan Gouvernement di Payakumbuh, Zainuddin melanjutkan
pendidikannya ke Madarasah Thawalib Darul Funun el Abbassiyah di Padang
Japang.
Kecintaan Zainuddin muda kepada ilmu pengetahuan tampak pada
kegiatannya untuk senantiasa menuntut ilmu kapan dan di mana saja. Jika
pulang kampung dalam masa libur di darul Funun, misalnya, Zainuddin
mendatangi Tuangku Karuang di Batang Tabik untuk mengaji.
Di Batang Tabik ini Zainuddin berkenalan dengan H Fachruddin HS, yang kemudian menjadi kawan yang akarab dalam perjuangannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Darul Funun, Zainuddin langsung diminta Syekh Abbas Abdullah mengajar di madrasah itu.
Namun tak lama kemudian, karena merasa ilmunya belum cukup, Zainuddin
memilih melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1927 Zainuddin berangkat
ke Mekah dan belajar di Ma’had Islamy. Di perguruan yang terkenal itu
Zainuddin belajar selama lima tahun.
Kembali ke Tanah Air pada 1932, Zainuddin diminta mengajar di Diniyah
School. Pada masa itu Diniyah School adalah perguruan Islam terkemuka
di Payakumbuh yang didirikan Engku Mudo Hamzah dan Engku Mudo Muhammad.
Kiprah di Dunia Pendidikan
Karena prestasi dan kepercayaan para pendiri Diniyah School pada
Syekh Zainuddin, kepemimpinan perguruan itu kemudian diamanahkan
kepadanya. Sejalan dengan idealisme keilmuan yang dituntutnya di Ma’had
Islamy Mekah, nama perguruan Diniyah School diganti dengan Ma’had Islamy
Payakumbuh.
Di bawah kepemimpinan Syekh Zainuddin Hamidy, Ma’had Islamy
Payakumbuh berkembang dengan sangat pesat. Pada 1936 jumlah pelajar
Ma’had lebih 700 orang.
Melihat perkembangan murid yang menggembirakan itu, Zainuddin
mengambil inisiatif untuk membangun gedung belajar yang lebih besar. Di
atas tanah wakaf keluarga Dt Rajo Basa dan pembelian Zainuddin sendiri,
di Koto Nan Ampek Payakumbuh, dibangunlah gedung Ma’had Islamy yang
tergolong megah untuk saat itu. Malang tak dapat ditolak, begitu gedung
hampir rampung, angin topan yang sangat kencang merobohkan gedung itu.
“Asa Rabbuna an-yubdilana khairan minha,” ucap Syekh Zainuddin Hamidy
dengan ikhlas, semoga Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik.
Meski gedung porak-poranda namun pendidikan jalan terus.
Dalam masa yang sulit itu tekanan dari pihak kolonial datang pula. Belanda memasukkan coro (kakitangan) dengan menyamar menjadi murid di
Ma’had Islamy untuk memata-matai guru-guru yang berbicara menentang
kolonial. Semua cobaan itu dihadapi Zainuddin Hamidy dengan sabar dan tawakal.
Beliau mencoba terus berbuat. Bersama Nashruddin Thaha dan kawan
lainnya, Zainuddin ikut mempelopori berdirinya Training College
Payakumbuh.
Bidang pendidikan memang telah menjadi fokus perhatian utama Syekh
Zainuddin Hamidy dalam perjuangannya. Selain mengajar dan memimpin
Ma’had Islamy, Syekh Zainuddin juga mengajar di SMI, PGA dan SGHA
Bukittinggi. Beliau juga ikut mengasuh Training College. Untuk meningkatkan pengetahuan agama murid-muridnya, Syekh Zainuddin
Hamidy membuka pengajian halakah. Pengajian secara berkala itu diikuti
guru-guru dan murid-murid kelas terakhir Ma’had Islamy. Pengajian ini
terutama berorientasi pada rangsangan dan gairah berpikir.
Syekh Zainuddin Hamidy dikenal luas sebagai ahli agama, hafidz, ahli
hadits, pengarang di samping sebagai tokoh pendidikan. Sering pula
beliau disebut sebagai politikus, organisator, pemikir yang berpandangan
jauh ke depan dan berpikir jernih. Beliau orang yang konsekuen, tegas dan ramah. Sebagai pengarang
beliau menerjemahkan dan menulis beberapa buku, antara lain, terjemahan
Al Quran Kariem, terjemahan Shahih Bukhari, terjemahan Hadits Arbain,
Musthalah Hadits dan Kitab At Tauhid.
Lima Sekawan
Pada tahun 1930-an di Payakumbuh muncul Kelompok Lima Serangkai.
Kelompok ini terdiri dari tokoh - tokoh terkemuka yang secara rutin
bertemu dan berdiskusi tentang masalah-masalah umat dan langkah-langkah
perjuangan. Kelompok lima itu tediri dari Syekh Zainuddin Hamidy,
Fachruddin HS Dt Majo Indo (Ketua Dewan Dakwah Sumbar Periode II Tahun
1986 s.d 1990), Arisun St Alamsyah, H Nasruddin Thaha dan H Darwis Taram
Dt Tumanggung.
Lima sekawan inilah kekuatan yang mengerjakan perlawanan terhadap
kaum penjajah. Dari lima orang tokoh itu Syekh Zainuddin Hamidy lebih
dituakan dalam memutuskan masalah-masalah yang pelik, karena ilmu beliau
lebih dalam. Bersama teman-temannya, Syekh Zainuddin Hamidy mendirikan PERMI di
daerah 50 Kota. PERMI kemudian berubah menjadi MIT, dan akhirnya menjadi
MASYUMI hingga wafat beliau. Pada masa penjajahan Jepang, Syekh Zainuddin menjadi Gyu Gun Ko En
Bu. Di zaman awal kemerdekaan Syekh Zainuddin menjadi ketua Komite
Nasional Indonesia Kab. 50 Kota, di samping aktif dalam Panitia Dana
Emas Perjuangan.
Dalam perjuangan fisik, Syekh Zainuddin Hamidy juga mengambil peranan
penting. Beliau menggelorakan semangat jihad para lasykar pejuang yang
dikirim ke fron pertempuran. Ketika Agresi Belanda II Syekh Zainuddin
Hamidy ikut perang gerilya. Saat itu Ma’had Islamy ditutup.
Diutus Bertemu Soekarno
Pada tahun 1950, Syekh Zainuddin Hamidy kembali membuka Ma’had Islamy. Ketika itu terjadi ketegangan dan konflik antara pemerintah daerah dengan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Syekh Zainuddin berperan dalam upaya penyelesaian. Di sini tampaklah bahwa bahwa beliau orang yang moderat dan anti kekerasan.
Tahun 1957 Syekh Zainuddin Hamidy diutus Pemerintah Daerah untuk berunding dengan Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta. Kembali dari perundingan itu, suatu kali beliau berkata pada
isterinya: “Usul awak kurang dapat perhatian Presiden Soekarno,
barangkali akan terjadi perang saudara. Tapi awak jangan melihat
hendaknya.”
Pagi hari Jumat tanggal 29 Maret 1957, Syekh Haji Zainuddin Hamidy
meninggal dunia, berpulang ke Rahmatullah. Kepergian beliau begitu
tiba-tiba, tanpa menderita sakit. Bahkan pada malamnya beliau masih
menghadiri pertemuan bersama Kol M Simbolon dan tokoh-tokoh lain di
Gedung Pertemuan Payakumbuh.
Masyarakat kehilangan seorang ulama modern, pembaharu, serta seorang
idealis yang hidup sederhana. Hamka bertutur:”…Ustadz Syekh Haji
Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Percakapan dari mulutnya
hanya satu-satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak
berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum.
Senyum yang mengandung seribu satu arti…” (dari berbagai sumber/ul)