Oleh: Awaluddin Kahar, S.IKom.
Wartawan dan Pemerhati Masalah Sosial
SETIAP daerah di dunia ini (termasuk Indonesia) memiliki ciri khas sendiri. Ciri khas tersebut kemudian menjadi jati diri atau identitas sebuah daerah.
Mulai dari makanan khas (kuliner), adat istiadat (rasem) sampai bahasa daerah (bahasa komunitas) daerah setempat.
Nah, tidak kecuali daearah Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Daerah kepulauan ini memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri.
Sementara di daerah lain, mungkin keunikan serta kelebihan dimaksud tidak ada. Namun sangat disesali, banyak warga Simeulue yang melupakan ciri khas daerahnya.
Salah satu contoh adalah persoalan bahasa. Sebagai bagian dari wilayah Aceh, mestinya masyarakat Simeulue (atau kita yang sekarang berada di Simeulue) harus belajar dan mengunakan bahasa Aceh sebab Simeulue bagian dari wilayah Propinsi Aceh.
Simeulue bukan bagian dari wilayah Sumatera Barat atau Sumatera Utara. Bahasa Aceh adalah identitas rakyat Aceh. Baik yang berdomisili di Aceh maupun di luar Aceh.
Kemudian, selain bahasa Aceh, Kepulauan Simeulue juga memiliki bahasa tersendiri atau yang lebih dikenal dengan Bahasa Ulau.
Setidaknya ada empat Bahasa Ulau yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu di Simeulue. Sebutlah Bahasa Sigulai (di Lamamek), Bahasa Leukon (Kecamatan Alafan dan Salang), Bahasa Simulol (Simeulue Tengah) dan Bahasa Alafan (Simeulue Timur, Teupah Selatan, Teupah Barat dan Kecamatan Teluk Dalam).
Akan tetapi, dari amatan di lapangan, makin banyak anak-anak Ulau yang tidak tahu bahasa Ulau. Padahal ayah, ibu, kakek dan nenek mereka adalah orang Ulau. Artinya, mereka lahir, besar dan bekerja di Simeulue.
Kenyataan tersebut kita rasakan di pusat Kota Sinabang. Mestinya warga Simeulue yang tinggal di Kota Sinabang-terlepas dari mana asal usulnya--mereka harus belajar bahasa Ulau dan menggunakannya dalam asimilasi (pembauran) sehari-hari.
Penulis tidak tahu, kenapa semakin banyak Anak Ulau yang tidak pandai berbahasa daerahnya sendiri? Kenapa kita mesti malu dengan identitas daerah kita?
Kita boleh belajar bahasa Jeme atau bahasa apa saja yang ada di dunia ini. Tujuannya untuk mempermudah kita dalam berkomunikasi sehari-hari. Tapi bahasa daerah sendiri (bahasa ibu) jangan kita lupakan. Sekali lagi, bahasa Ulau adalah identitas kita, anak Ulau.
Sejak Januari 2009, saya kembali ke kampung halaman atas permintaan Bupati Simeulue, Drs. H. Darmili untuk mengelola media massa lokal (Surat Kabar Simeulue/SKS).
Saya sungguh merasakan ada sesuatu yang hilang dari anak Ulau. Seharusnya dalam berdialog sesama anak Ulau kita memakai bahasa daerah saja (bahasa Aceh atau Bahasa Ulau).
Kecuali ketika kita melaksanakan seminar atau diskusi yang diikuti banyak peserta dengan latar belakang suku dan bahasa. Atau kita sedang menerima tamu dari luar Simeulue. Tidak apa kita menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa kita.
Suatu hari saya membeli anak bakdo (anak baju/singlet) di salah satu kios di Sinabang. Saya tahu pemilik kios itu orang pulau. Lalu saya berbahasa Ulau.
Tapi setiap saya bicara jawaban orang itu dengan bahasa Jame. Kemudian di lain waktu pulang dari shalat subuh di Mesjid Ar Raudha, saya mampir minum kopi di salah satu warung di Sukajaya.
Penulis bicara dengan anak muda menggunakan Bahsa Ulau. Penulis tahu persis anak muda itu orang Ulau. Akhirnya, ‘mendadak' penulis kehilangan semangat dalam hati, karena jawaban anak muda itu dengan bahasa Jame.
Maaf, penulis bukan tidak pandai bahasa Jame (kamano kami kasitu munak). Penulis ingin mengetahui orang itu apa dia mencintai bahasa ayah, ibu, serta bahasa kampungnya? Ternyata, orang itu tidak suka dengan bahasa jati dirinya sendiri.
Persoalan mencintai bahasa daerah mestilah kita pahami dalam arti positif. Sebab dengan kita paham bahasa daerah, maka kecintaan kita terhadap daerah (Ulau Simulol) semakin kuat. Akhirnya, semakin sungguh-sungguh pula kita memperjuangkan perkembangan pembangunan daerah kita.
Belajarlah Bahasa Ulau
Bagi saudaraku yang lahir di luar Simeulue atau di luar Aceh, dihimbau mari belajar bahasa Ulau. Hitung-hitung, setelah saudaraku tidak tugas di Simeulue, tapi di hati tetap teringat Simeulue (Simeulue Ate Fulawan). Kita bisa saling SMS dalam bahasa Ulau sehingga saudaraku tetap dikenang jasa baiknya untuk Simeulue.
Khusus bagi saudaraku yang lahir dan sudah puluhan tahun berdagang (mencari nafkah) di Simeulue, tapi sampai hari ini belum juga bisa dengan baik berbahasa Ulau, bukalah hati untuk belajar bahasa Ulau.
Sebenarnya tidak sulit belajar bahasa Ulau. Kuncinya satu saja, yaitu mau belajar dan senangi bahasa Ulau. Insya Allah, saudaraku bisa. Karena bahasa Inggris dan bahasa Jepang saja, penulis dengar saudaraku mengerti (sangat mahir). Konon lagi bahasa Ulau.
Mutan Lokal
Menyikapi kondisi semakin banyak anak Ulau yang tidak mengerti bahasa Ulau, penulis mengusulkan kepada bupati, kepala dinas pendidikan serta para wakil rakyat di lembaga legislatif, bahwa sudah saatnya kita jadikan bahasa Ulau menjadi salah satu mata pelajaran (mutan lokal) mulai dari sekolah dasar (SD).
Dengan adanya bahasa Ulau sebagai salah satu materi ajar (pelajaran di SD), penulis yakin anak-anak kita semakin bersemangat berbahasa Ulau.
Masalah bahasa lokal, dijadikan mata pelajaran wajib di SD sudah duluan diterapkan beberapa daerah di Indonesia.
Seperti di Sumatera Barat (Sumbar) dan di Jawa. Di Sumbar, ada mata pelajaran SD namanya Budaya Alam Minangkabau (BAM). Semua materi pelajaran yang dijarkan dalam BAM dikemas dengan Bahasa Minang.
Selain menjadikan mata pelajaran wajib di SD, di Sunda, Jawa dan Minang ada majalah atau Surat Kabar (media) yang khusus berbahasa daerah.
Tujuan bahasa daerah dijadikan materi pelajaran, agar budaya dan bahasa bangsa kita yang beragam ini, dari Sabang sampai Merauke-tetap berkembang. Tidak hilang ditelan zaman.
Sebab inilah salah satu keistimewaan bangsa Indonsia memiliki banyak ragam budaya dan bahasa daerah. Oleh karena itu, sudah waktunya Dinas Pendidikan Simeulue membuat format materi bahasa daerah (bahasa Ulau).
Sampaikan gagasan tersebut ke bupati. Penulis yakin bupati akan setuju. Kemudian untuk disahkan menjadi salah satu Qanun atau Peraturan Daerah (Perda) melalui sidang anggota DPRD Kabupaten Simeulue. Semoga.
Wallahu'alam bis shawaf. (*)
* Penulis adalah anak ulau.
Berada di kebun kincung.