Kesepakatan nuklir Iran semakin berada di ujung tanduk, setelah Inggris mengeluarkan ancaman bahwa Iran akan menghadapi konsekuensi serius jika tidak mengembalikan kapal minyak Inggris yang mereka sita di Selat Hormuz.
Saat ini, Inggris dan kekuatan Eropa lainnya masih berusaha untuk menyelamatkan perjanjian itu, dan London juga masih berusaha meredam responsnya terhadap Iran.
Jika Inggris bergabung dengan Amerika Serikat dalam menjatuhkan kembali sanksi terhadap Iran, itu semua akan menghilangkan harapan untuk menyelamatkan perjanjian nuklir tahun 2015.
Oleh: David D. Kirkpatrick dan Stephen Castle (The New York Times)
Inggris hari Sabtu (20/7) mengancam Iran dengan “konsekuensi serius” karena telah menyita sebuah kapal tanker minyak milik Inggris pada malam sebelumnya, ketika pemerintah Inggris memperingatkan kapal-kapal untuk menghindari jalur pelayaran yang penting di Selat Hormuz.
Pemerintah Inggris mengatakan dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan darurat bahwa pihaknya telah “menyarankan pengiriman Inggris agar tetap berada di luar kawasan itu untuk jangka waktu sementara.”
Krisis itu telah menyeret Inggris pada saat yang sangat rentan. Perdana Menteri Inggris Theresa May diperkirakan akan mengundurkan diri hari Rabu, 24 Juli 2019. Kontes kepemimpinan dalam Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris untuk menentukan penggantinya telah melumpuhkan pemerintah.
Sekarang ketidakpastian tentang arah internal Inggris semakin menambah masalah dalam menghadirkan respons terhadap perampasan kapal tanker oleh Iran.
Menteri Pertahanan Inggris Penny Mordaunt mengatakan dalam sebuah wawancara televisi hari Sabtu (20/7) bahwa kapal tersebut telah dicegat di perairan Oman, bukan Iran, dan menyebut penyitaan itu sebagai “tindakan bermusuhan.” Hari Sabtu (20/7) sore, Inggris telah memanggil duta besar Iran untuk menyampaikan protesnya, dan pertemuan kabinet darurat kedua akan dimulai.
Penangkapan kapal tanker itu, dua minggu setelah pasukan Inggris menahan sebuah kapal tanker Iran di dekat Gibraltar, meningkatkan krisis antara Iran dan Barat secara tajam setelah tiga bulan meningkatnya ketegangan yang bulan Juni 2019 menyebabkan Amerika Serikat hampir melakukan serangan militer terhadap sasaran di Iran.
Seperlima dari pasokan minyak mentah dunia dikirim dari Teluk Persia melalui Selat Hormuz yang sempit di lepas pantai Iran, dan harga minyak melonjak tajam hari Jumat (19/7) bahkan sebelum peringatan dari Inggris.
Tetapi langkah selanjutnya dalam pertikaian mengenai kapal tanker itu kemungkinan akan berpengaruh pada hasil kontes kepemimpinan Inggris, sementara kandidat favorit pengganti May, Boris Johnson, mantan walikota flamboyan London dan mantan menteri luar negeri Inggris, terkenal tidak dapat diprediksi.
Johnson telah mengatakan selama kampanyenya bahwa dia mendukung negara-negara kekuatan Eropa lainnya dalam keinginan mereka untuk menghindari konfrontasi dengan Iran.
Tetapi Johnson juga telah bangkit melalui partainya untuk menentang Eropa dan telah mencari hubungan yang lebih dekat dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menggerakkan siklus konfrontasi saat ini dengan mencoba untuk menekan Iran agar menegosiasikan kembali perjanjian nuklir tahun 2015 dengan negara-negara kekuatan dunia.
Langkah itu telah meningkatkan spekulasi bahwa bentrokan mengenai kapal tanker itu dapat membuat Inggris keluar dari penentangannya terhadap Trump atas permusuhannya dengan Iran. Inggris sejauh ini mendukung kekuatan Eropa lainnya yang berusaha untuk menentang Trump dan mempertahankan kesepakatan nuklir Iran.
“Akan tiba saatnya ketika pemerintah Inggris, dan mungkin Prancis dan Jerman akan bertanya, ‘Apakah benar-benar layak melawan Trump di semua lini ini?’” tutur Robin Niblett, direktur Chatham House, lembaga penelitian di London.
Menetapkan situasi untuk kebuntuan yang berkepanjangan, kantor berita Iran melaporkan hari Sabtu (20/7) bahwa seluruh 23 awak kapal berbendera Inggris akan ditahan di Pelabuhan Bandar Abbas di Iran selama investigasi kriminal atas tindakan kapal tersebut.
Tidak ada anggota kru yang berkebangsaan Inggris atau Amerika. Kantor-kantor berita Iran mengatakan bahwa kewarganegaraan mereka termasuk India, Rusia, Latvia, dan Filipina, tetapi 18 orang termasuk kapten kapal berkebangsaan India.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri India mengatakan telah menghubungi Iran “untuk menjamin pembebasan awal dan pemulangan warga negara India,” menurut laporan surat kabar India.
Stena Impero, kapal minyak berbendera Inggris yang dimiliki oleh Stena Bulk, terlihat di pelabuhan Bandar Abbas. (Foto: Kantor berita Tasnim/Diberikan via Reuters)
Dewan Wali Iran yang kuat, yang mengawasi keputusan kebijakan luar negeri utama, berusaha pada hari Sabtu (20/7) untuk menjustifikasi penyitaan kapal tanker itu sebagai “tindakan balasan” setelah Angkatan Laut Inggris menahan kapal tanker Iran di dekat Gibraltar.
“Aturan tindakan balasan dikenal dalam hukum internasional,” kata juru bicara Pasukan Garda Revolusi Islam Iran Abbas Ali Kadkhodaei, menurut kantor berita semi-resmi Fars.
Tetapi otoritas Iran lainnya hari Sabtu (20/7) menambahkan alasan baru yang berbeda untuk penyitaan kapal tersebut, mengatakan untuk pertama kalinya bahwa kapal itu terlibat dalam kecelakaan dengan kapal nelayan Iran dan bahwa kapal tanker itu telah mengabaikan panggilan darurat.
Korps Pasukan Garda Revolusi Islam Iran, yang bertanggung jawab atas kegiatan Angkatan Laut Iran di Teluk Persia, telah mengatakan hari Jumat (19/7) bahwa mereka telah merampas kapal karena menyimpang dari pola lalu lintas dan mencemari perairan. Garda Revolusi tidak menyebutkan adanya sebuah perahu nelayan.
Stena Bulk, pemilik kapal Stena Impero, mengatakan bahwa kapal tanker itu “telah sepenuhnya mematuhi semua navigasi dan peraturan internasional” ketika dicegat.
Di Washington hari Jumat (19/7), Trump menyebut Iran “hanya menjadi masalah.” Trump mengatakan kepada wartawan di South Lawn Gedung Putih bahwa, “Kami akan bekerja sama dengan Inggris,” mengacu dalam istilah yang samar-samar pada aliansi Amerika yang dekat dengan Inggris. Trump menambahkan,
“Kami tidak memiliki perjanjian tertulis, tetapi saya yakin kami memiliki perjanjian yang sudah ada sejak lama.”
Unjuk rasa anti-Amerika Serikat di Teheran untuk mendukung keputusan Iran untuk menarik diri dari beberapa bagian dari perjanjian nuklir 2015. (Foto: Shutterstock/EPA/Abedin Taherkenareh)
Komando Pusat Amerika Serikat, yang mengawasi operasi militer di Timur Tengah, menegaskan dalam sebuah pernyataan hari Jumat (19/7) malam bahwa mereka sedang mengerjakan “upaya multinasional” dengan nama Operasi Sentinel untuk mengawasi rute pengiriman.
Operasi itu “akan memungkinkan negara-negara untuk memberikan pengawalan atas kapal berbendera mereka sambil mengambil keuntungan dari kerja sama negara-negara yang berpartisipasi untuk koordinasi serta meningkatkan kesadaran dan pengawasan atas wilayah maritim,” menurut pernyataan itu.
Namun, dikutip dari The New York Times, Minggu (21/7), operasi itu menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan memikul beban sendirian.
“Sementara Amerika Serikat telah berkomitmen untuk mendukung inisiatif ini, kontribusi dan kepemimpinan dari mitra regional dan internasional akan diperlukan untuk mencapai keberhasilan.”
Prancis dalam sebuah pernyataan hari Sabtu (20/7) menyerukan Iran untuk menghormati “prinsip kebebasan pengiriman di Teluk.” Jerman mengecam keras tindakan Iran sebagai “tidak dapat dibenarkan.”
“Eskalasi regional lain akan sangat berbahaya dan merusak semua upaya yang sedang berlangsung untuk menemukan jalan keluar dari krisis saat ini,” menurut peringatan pemerintah Jerman dalam sebuah pernyataan.
Tindakan saling balas antara Iran dan Barat mencakup pemberlakuan sanksi ekonomi baru oleh Amerika Serikat.
Iran telah menanggapi dengan memulai kembali program energi nuklir yang dikalibrasi secara seksama, yang dikhawatirkan Barat mungkin akan mengarah pada pengembangan bom nuklir.
Kapal induk USS Boxer di Laut Arab di lepas pantai Oman hari Selasa, 16 Juli 2019. “Kami akan bekerja sama dengan Inggris,” tutur Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan kepada wartawan hari Jumat malam, merujuk pada aliansi Amerika dengan Inggris.
(Foto: Reuters/Ahmed Jadallah)
Amerika Serikat dan Inggris menuduh Iran telah menyabotase enam tanker dalam ancaman implisit untuk menutup jalur pengiriman.
Amerika dan Iran masing-masing mengatakan telah saling menembak jatuh pesawat pengintai tak berawak yang diterbangkan oleh masing-masing pihak.
Dalam sebuah pengingat bahwa setiap konflik kecil berisiko menyulut ledakan konfrontasi yang lebih besar, Trump bulan Juni 2019 memerintahkan serangan rudal sebagai pembalasan atas tindakan Iran menembak jatuh pesawat tak berawak Amerika. Trump akhirnya membatalkan serangan hanya beberapa menit sebelum peluncuran.
Trump mengatakan pada hari berikutnya bahwa ia telah menyimpulkan hilangnya nyawa dari serangan rudal tidak proporsional dengan penembakan sebuah pesawat nirawak. Namun dia kemudian mengancam akan “membumihanguskan” sebagian Iran jika Iran menargetkan “apa pun milik Amerika.”
Inti dari konfrontasi Iran dengan Barat adalah upaya pemerintahan Trump untuk meruntuhkan dan menegosiasikan kembali perjanjian nuklir tahun 2015, yang telah dicapai oleh Amerika Serikat dan negara-negara dunia lainnya dengan Iran untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan bantuan dari sanksi ekonomi.
Setelah menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan tahun 2018,
pemerintahan Trump menambahkan sanksi komprehensif bulan Mei 2019 yang dimaksudkan untuk memblokir semua ekspor minyak Iran, sumber kehidupan ekonominya. Para pejabat Iran mengecam hukuman baru itu sebagai “perang ekonomi.”
Iran telah berusaha untuk menekan kembali terhadap semua negara kekuatan utama dunia, memaksa mereka untuk menanggung beberapa dampak untuk kegagalan atas tanggung jawab efektif mereka pada perjanjian nuklir 2015 sebagai akibat dari sanksi Trump. Langkah itu menimbulkan bentrokan paralel dengan Inggris yang menyebabkan perampasan kapal tanker itu.
Grand Bazar tua di Teheran, Iran. Inti dari konfrontasi Iran dengan Barat adalah upaya pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk meruntuhkan dan menegosiasikan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang telah dicapai Amerika Serikat dan negara-negara dunia lainnya dengan Iran untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan bantuan dari sanksi ekonomi.
(Foto: Shutterstock/EPA/Abedin Taherkenareh)
Dua pekan lalu, militer Inggris membantu menahan kapal tanker Iran dari Gibraltar dengan dugaan bahwa ia mengirimkan minyak ke Suriah yang telah melanggar embargo Uni Eropa.
Para pejabat Iran menyebut perampasan kapal mereka sebagai tindakan pembajakan dan menuduh Amerika Serikat sebagai otak penangkapan itu sebagai bagian dari kampanye tekanan AS.
Para petugas Pasukan Garda Revolusi Islam Iran mengancam pembalasan terhadap kapal Inggris. Kapal-kapal Iran berusaha dan gagal menghentikan upaya itu beberapa hari kemudian, tetapi kapal perang Inggris yang menyertainya telah mengusir mereka.
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt hari Sabtu (20/7) menuduh bahwa perampasan kapal oleh Iran telah melanggar hukum internasional, tetapi mengatakan bahwa Inggris telah mengikuti prosedur hukum yang tepat dalam menghentikan kapal tanker Iran, Grace 1, di dekat Gibraltar.
“Tindakan kemarin di Teluk menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa Iran mungkin memilih jalur berbahaya berupa perilaku ilegal dan tidak stabil setelah penahanan LEGAL di Gibraltar atas minyak yang menuju ke Suriah,” tulis Hunt di Twitter hari Sabtu (20/7) pagi.
“Seperti yang saya katakan kemarin, reaksi kita akan dipertimbangkan tetapi tetap kuat. Kami telah berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan masalah Grace1 tetapi AKAN memastikan keamanan pengiriman kami.”
Hunt menambahkan kemudian bahwa dia telah “menyatakan kekecewaan ekstrem” melalui panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif.
Menceritakan kembali percakapan yang mereka lakukan seminggu sebelumnya, Hunt mengaku bahwa Zarif mengatakan bahwa ia menginginkan deeskalasi tetapi “mereka justru berperilaku sebaliknya.”
“Ini tentang tindakan, bukan sekadar perkataan,” ujar Hunt di Twitter.
Hunt menantang Johnson dalam pemilihan di Partai Konservatif untuk menjadi perdana menteri Inggris berikutnya.
Jika Hunt kalah, perannya mengawasi kebuntuan dengan Iran mungkin akan mempertahankan jabatannya untuk jangka waktu singkat demi kepentingan kesinambungan.
Tetapi hasilnya juga akan menghasilkan tanda tanya atas kedudukannya dan kekuasaannya, yang semakin mempersulit respons Inggris.
Nasib kapal tanker Iran yang disita di dekat Gibraltar ada di tangan parlemen Inggris, dan pelepasan awal kapal untuk melunakkan Iran akan “terlihat sangat lemah,” kata Michael Stephens dari pusat penelitian independen Royal United Services Institute.
“Saya tidak yakin kita berada dalam posisi di mana kita memiliki kemewahan untuk mundur.
Hal itu pada gilirannya menambah tekanan pada perjanjian nuklir. Inggris telah berkolaborasi dengan negara-negara kekuatan Eropa lainnya dalam upaya untuk mempertahankan kesepakatan, bahkan bergabung dengan upaya-upaya untuk mendirikan platform perdagangan alternatif yang akan memungkinkan Iran untuk menghindari sanksi Amerika Serikat.
Jika Inggris bergabung dengan Amerika Serikat dalam menjatuhkan kembali sanksi terhadap Iran, itu semua akan menghilangkan harapan untuk menyelamatkan perjanjian nuklir tahun 2015.
Tom Tugendhat, ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris, menulis di Twitter bahwa “kekosongan kekuasaan” di Inggris telah berlangsung terlalu lama. “Kita sedang diuji oleh kawan dan musuh. Kita membutuhkan kepemimpinan,” tambahnya
Kontributor laporan: Palko Karasz.
Keterangan foto utama: Pasukan Garda Revolusi Islam Iran telah merilis rekaman yang menunjukkan pengambilalihan kapal tanker minyak berbendera Inggris di Selat Hormuz. Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan bahwa kapal itu harus dibebaskan. (Foto: Reuters)
Inggris Peringatkan Iran akan Risiko Serius Perampasan Tanker Minyak
Your email address will not be published. Required fields are marked *