Analis politik senior DR. Rahman Sabon Nama (RSN) meminta agar pemerintah dan elit bangsa, baik yang ada di pemerintahan maupun di partai politik agar mencermati tuntutan referendum dari Raja Yogyakarta serta Kesultanan dan Kerajaan Nusantara.
Rahman mengingatkan agar jangan hanya bisa teriak “NKRI harga mati, Indonesia adalah kita dan Aku Pancasila” jawab ancaman tersebut jangan jadi pecundang dan pengecut.
Menurut Rahman munculnya tuntutan referendum akibat dari kekecewaan mereka atas carut marutnya penyelenggaraan Pemilu 2019 hingga penetapan pemenang pilpres oleh KPU hanya dari Real Count Situng KPU yang dianggap tidak lazim dan penuh misteri pada 21 Mei 2019 lalu.
“Kecewa rakyat tergambar dari unjuk rasa di berbagai daerah mendatangi KPU, Bawaslu, bahkan DPRD menuntut agar mendiskualifikasi pasangan 01. Oleh karenanya para Sultan dan Raja Nusantara semakin tidak percaya bahwa cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945 akan tercapai. Malahan semakin jauh dari harapan di bawah mandat pemimpin Republik Indonesia,” ungkap Rahman melalui keterangan tertulis, Kamis (30/5).
Padahal menurut sejarah, lanjut Rahman, bahwa sebelum 17 Agustus 1945 seluruh tanah dan air nusantara adalah hak milik 140 lebih Raja dan Sultan di seluruh Nusantara.
“Sekarang ketika nusantara menjadi Republik NKRI, siapa pemegang saham Indonesia secara konstitusional pemilik tanah, air, lautan dan daratan beserta isinya? Karena haknya sebagai pemilik awal dan memberikan mandat kepada Soekarno. Tetapi malahan kini, oleh pemimpin Republik NKRI dengan mudahnya melepas SDA untuk dikuasai aseng dan asing. Untuk menyikapi hal itu para Sultan dan Raja berencana akan bertemu di Gedung Proklamasi Jakarta, Kamis hari ini, 30 Mei 2019,” papar Rahman.
Menurut Rahman, mereka para Sultan dan Raja Nusantara telah berangsur menyadari akan menarik kembali mandat atas kekuasaan di masing-masing wilayah kedaulataannya. Karena mandat itu dahulu diserahkan para Kesultanan dan Kerajaan itu kepada Soekarno sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Itulah sikap kekecewaan dan penyesalan paling dalam dari Kesultanan dan Kerajaan Nusantara terhadap moralitas dan perilaku pemerintahan Joko Widodo yang dianggap benar-benar telah mengangkangi tegaknya demokrasi, memperkosa nilai universal kebenaran, kejujuran dan keadilan mendasar dalam Pancasila atas penyelenggaraan pemilu 2019 yang bisa berdampak pada perang saudara,” tegasnya.
“Maka para Sultan dan Raja akan menarik mandat pemimpin Republik NKRI melalui referendum dalam menyikapi situasi politik nasional saat ini. Para Sultan dan Raja pun tidak mau bangsa ini dibebani dengan semakin menumpuknya hutang yang dibuat oleh pemimpin Republik NKRI hingga mencapai angka hampir 5000 triliun Rupiah. Maka dari itu Kesultanan dan Kerajaan Nusantara menarik mandatnya,” Rahman menambahkan.
Terkait tuntutan Referendum Sultan Yogyakarta Sri Sultan
Hamengkubowono X, Rahman menghimbau Presiden Joko Widodo agar sebaiknya cepat direspon dengan memerintahkan Menteri Dalam Negeri segera menyelesaikan status Keistimewaan Yogtakarta sebelum Oktober 2019.
“Dengan mengembalikan statusnya sesuai UU No. 5 tahun 1974 tentang Keistimewaan Yogyakarta dan penetapan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta,” pinta Rahman.
“Agar kedepan syarat mutlak yang dimiliki seorang Presiden Indonesia tidak cukup pintar saja. Tetapi yang terpenting disamping punya kapabalitas kepemimpinan juga harus punya wawasan kebangsaan dan harus tahu akan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia ini sangat penting,” pungkas pria asal NTT ini. (Jft/Gelora)